CHAPTER 27

54 5 0
                                    

Tak ada percakapan apa pun. Hanya Tim yang sesekali mengajak Zander bicara. Simon terlihat agak canggung bercampur tegang, terus menatap ke depan. Luciana fokus memandang ke arah jendela di sampingnya.

Aku memutuskan memejamkan mata, berpura-pura tidur saja. Namun, entah kenapa bahkan saat terpejam pun bisa kurasakan sorotan dari tatapan Zander ke arahku.

Untuk apa dia ikut ke rumah danau? Mengikutiku?

Aku tak mungkin mengonfrontasinya dengan tuduhan itu, bukan? Ia pasti akan mengelak dan punya berbagai alasan untuk membalikkan situasi berubah jadi memalukan buatku.

Lebih baik kuabaikan dia. Lagi pula, aku harus memastikan dulu dan mengumpulkan bukti yang cukup untuk menuduhnya terkait dengan kecelakaan Zane.

Aku berhasil mempertahankan posisi pura-pura tidur selama perjalanan sampai kami tiba di rumah danau. Zander bahkan tak sekalipun mencoba mengusikku.

Begitu Simon memarkirkan mobil, kutunggu sampai ia dan Zander keluar lebih dulu bersama Tim. Seakan kompak, Luciana membangunkanku kemudian.

"Aku tahu kau pura-pura tidur, Lea."

Mataku mengerjap. Kutegakkan punggung. "Oke, apa yang terjadi? Kenapa ia ikut ke sini? Simon seharusnya tahu bahwa aku ingin menghindari Zander, bukan?"

Luciana mengangkat bahu. "Aku akan menginterogasinya nanti. Kau tenang saja. Kau tidur denganku saja. Biarkan Simon mendapat ganjarannya atas hal ini."

Mau tak mau bibirku menyeringai, membayangkan betapa kesalnya Simon nanti. "Itu bagus!" Kami segera tertawa berdua.

"Oke, ayo, kita siap-siap untuk makan malam. Oh, kita juga harus menyiapkan camilan untuk sesi girls talk kita nanti." Luciana mengedipkan mata. "Kita akan bersenang-senang. Biarkan para lelaki itu menderita malam ini tanpa kita."

Aku mengangguk setuju sambil tertawa kecil. 'Oh, aku sudah sangat merindukan malam girls talk kita."

Kami pun turun dari mobil dan melangkah menuju rumah. Tim tampak asyik di depan televisi. Ia menoleh saat melihatku dan Luciana memasuki ruang tamu.

"Simon bilang para gadis malam ini bebas dari tugas dapur," celetuknya. "Mereka yang akan memasak malam ini."

Aku dan Luciana saling pandang. Kami melangkah pelan, mengintip ke arah dapur. Benar saja. Zander serta Simon terlihat sudah sibuk di sana sambil saling berbicara dengan volume suara yang sangat rendah.

Apa yang mereka bicarakan dengan raut wajah sangat serius? Kenapa terkesan begitu rahasia?

Luciana menggamitku, memberi kode untuk naik ke atas. Aku mengangguk dan segera mengikutinya menaiki tangga, menuju kamar yang biasa ia tempati.

"Kukira kalian biasanya tidur berdua."

Luciana tertawa kecil. "Kami kadang saling mengunjungi saat malam hari usai Tim tidur." Ia mengedipkan mata. "Kami bahkan belum bertunangan, Lea. Kau sendiri, kenapa tak tinggal bersama Zane saja waktu itu setelah bertunangan?"

"Kau tahu mamaku bagaimana. Alasannya aku masih belum lulus. Namun, ia membebaskan Zane untuk datang kapan saja ke rumah." Aku mendudukkan diri di tepi ranjang Luciana. Wajahku berubah murung.

"Aku tak pernah mengira kemarin adalah hari terakhir bagiku bersamanya."

Luciana mengunci pintu sebelum menghampiri dan ikut duduk di sampingku. "Kau mau cerita soal itu sekarang? Maksudku, tak perlu menunggu malam jika kau mau. Aku yakin pasti ada kejadian menyenangkan antara kau dan Zane, bukan? Kau terlihat sangat bahagia kemarin."

Aku mengangguk. "Sangat." Mataku menatapnya beberapa saat, lalu tersenyum samar. "Kami bercinta untuk pertama kalinya."

Mata Luciana melebar. "Wah, akhirnya dia melepaskan keperjakaannya untukmu?"

Bibirku tersenyum beberapa saat, lalu berubah muram kembali. "Sayangnya, aku harus merusak momen itu dengan mengatakan padanya soal Zander."

Ia mengamatiku dengan serius. "Apa yang terjadi?"

Aku segera menceritakan yang terjadi saat itu, termasuk kedatangan Zander, pertengkaran mereka, dan kemarahan Zane saat tahu semua tentang aku dan adiknya. Kulihat Luciana tercengang tanpa mampu berkata-kata.

"Aku mungkin masih memiliki rasa dengan Zander, tetapi saat bersama Zane kemarin dan melihat caranya bersikap dan bereaksi terhadap semua kesalahan dan kekuranganku, aku merasa semakin memiliki perasaan khusus untuknya. Ia membuatku aman dan nyaman. Aku bisa merasakan cintanya begitu besar saat memperlakukanku begitu baik.

"Kau tahu, Lulu, keahlian Zane dalam bercinta memang tidak sehebat Zander, tetapi cara dia memperlakukanku, itu sangat istimewa. Kau tahu bagaimana dia bahkan bersedia membantuku, padahal aku telah mengkhianatinya. Jika dia meneleponku saat itu setelah ia membeli ponsel baru, aku sudah pasti akan memberinya jawaban bahwa aku ingin memilihnya."

Untuk beberapa lama suasana menjadi hening. Luciana terlihat masih mencoba memahami cerita. Aku pun sibuk mengingat kenangan terindahku bersama Zane.

"Kau yakin, perasaanmu terhadap Zane itu adalah cinta? Bagaimana jika itu sebenarnya disebabkan oleh perasaan bersalahmu padanya? Atau bisa juga karena kau merasa berutang budi dan simpati atas semua kebaikannya."

Aku tercenung. Ya, bagaimana jika itu sebenarnya bukan cinta?

"Tapi kau bilang dia tepat buatku, bukan? Zane adalah lelaki baik untukku. Bisa saja yang kurasakan pada Zander mungkin hanya nafsu. Cinta sebenarnya ada pada Zane."

"Siapa yang paling sering kau ingat sebelum tidur dan setelah bangun di pagi hari, Lea? Siapa yang kerap ada dan mengganggu di pikiranmu? Siapa yang mudah mempengaruhi emosimu? Zane atau Zander?" Luciana mengawasiku penuh selidik. "Jujurlah. Jangan pikirkan pendapatku, jangan pula memikirkan tentang utang budimu pada Zane. Pikirkan apa yang hatimu rasakan sebenarnya?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. "Zander. Aku bahkan mengingatnya saat bercinta dengan Zane." Suaraku hampir tak terdengar oleh telinga sendiri.

Luciana menjentikkan jari. "Aku tahu itu! Kau mungkin bisa berbohong dengan mencoba meyakinkan diri bahwa kau mencintai Zane, tetapi aku dan hatimu tahu persis, Zander lah yang kau inginkan. Kau hanya kasihan pada Zane karena semua kebaikannya itu yang membuatmu pun simpati dan merasa berutang budi. Lea, cinta dan kasihan itu tidak sama!"

Aku terdiam. Benarkah begitu? Bagaimana bisa diriku jadi begitu idiot yang tak bisa membedakan antara cinta dan kasihan?

"Tapi aku benci Zander! Dia merusak semuanya! Ia ... memanipulasi pikiranku!"

Luciana menghela napas. "Lea, kau yakin dengan kata-katamu saat ini bukan karena kau sedang marah karena perasaan bersalah atas apa yang terjadi pada Zane?"

Aku hanya bisa menatap Luciana tanpa sanggup berkata. Tak bisa kutemukan kata-kata apa pun untuk mendebat ucapannya.

Ia mengusap-usap punggungku. "Pikirkan saja dulu sebelum kau menjawab pertanyaan itu. Aku pun jujur tak suka atas sikap Z yang seenaknya dalam memperlakukanmu. Tapi, tak adil pula jika kau membencinya secara membabi buta.

"Jika Zane saja bahkan bisa memaafkan dan menerima semua kekurangan dan kesalahanmu, kenapa kau tak bisa melakukan hal sama pada adiknya? Aku tak tahu banyak soal cinta, Lea. Namun, yang kulihat di mata Z setiap kali ia memandangmu, itu adalah cinta. Kau pun sama. Kalian saling menginginkan. Jangan lupa pula kenyataan tentang usaha apa yang ia lakukan untuk melepaskan diri dari Nyonya Black itu demi kau."

Luciana beranjak. "Kita ngobrol lagi nanti malam. Aku harus bicara dulu dengan Simon."

Ia pun pergi tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya bisa memandangi punggungnya sampai ia membuka dan menutup pintu. Mataku memejam ketika Luciana tak lagi berada di ruangan. Kuembuskan napas panjang, lalu perlahan membaringkan tubuh ke pembaringan.

*** 

WILD AND CRAZY (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang