▪︎chapter 17: husband's anxiety▪︎

14.7K 314 3
                                    

Sisa waktu yang Rana miliki sebelum ia berangkat ke Victoria, Australia, hari ini adalah sekitar 20 menit lagi. Untung saja mereka berdua sudah tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta meskipun sebelumnya mereka sempat ada 'kegiatan' lain lebih dulu. Begitu sampai pun mereka juga sudah memeriksa semua koper dan tas yang Rana bawa agar jangan sampai ada yang tertinggal. Sayangnya, saat ini yang bisa mengantar Rana ke bandara memang hanya Raka saja. Prof. Edi sedang kurang sehat sehingga Bu Hilda juga menjaga beliau di rumah dan Kak Naya sibuk mengurus Bian yang sakit demam tinggi sejak semalam. Kemal pun sedang ada kuliah yang tidak bisa ditinggalkan dan dr. Runi pun seperti biasa sibuk di rumah sakit. Meskipun sebagian besar keluarga mereka tidak bisa mengantarnya, mereka semua sudah menghubungi Rana dan tentunya memberi beberapa wejangan selama tinggal di Australia.

Sementara itu Raka juga sudah menghubungi Mira yang mengurus semua kebutuhan Rana di sana dan rencananya Mira pula yang akan menemani Rana untuk beradaptasi di tempat barunya sampai gadis itu mulai kuliah. Setidaknya ada sosok Mira di sana yang bisa Raka percaya sehingga ia tidak perlu merasa khawatir. Yah, sebenarnya tanpa bantuan Mira pun Raka juga merasa kalau Rana akan baik-baik saja. Ia pikir Rana memiliki insting seorang perempuan mandiri yang tidak akan merasa terganggu saat hidup sendirian di sebuah negara asing. Semacam insting untuk bertahan hidup tanpa mengandalkan siapapun. Meskipun begitu, Raka selaku suami tetap merasa perlu melakukan sesuatu sebagai bentuk tanggung jawabnya. Apalagi sebelumnya niat Rana untuk kuliah di Australia sempat tidak disetujui oleh Bu Hilda dan dr. Runi.

Setelah selesai memeriksa semua barang bawaannya, Rana menoleh ke arah Raka yang tengah duduk dengan pandangan kosong ke depan meskipun ada banyak orang yang mondar-mandir lewat di depannya. Sungguh tidak biasa melihat sang suami mendadak lebih banyak diam begini, padahal beberapa menit yang lalu di mobil mereka masih banyak bicara. Atau bisa dibilang justru Raka yang mendominasi obrolan tersebut dan membuat Rana terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, mengapa ia memutuskan untuk menikah dengan pria bawel semacam Raka?

"Mas," Rana memanggil pria itu sehingga Raka menoleh ke arahnya. Ia berjalan mendekat sebelum duduk tepat di sebelah suaminya itu. "Kamu dari tadi saya perhatiin diem aja. Sakit? Atau kecapekan?"

"Kamu ngeremehin saya cuma karena tadi kita abis quickie?" tanya Raka yang malah membuat Rana mendadak merasa malu karena teringat dengan aktivitas mereka sebelum berangkat ke bandara. "Saya nggak sakit. Saya juga nggak kecapekan. Kalo aja nggak dikejar waktu, malah saya mau ajakin kamu lagi. Saya baik-baik aja."

"Terus? Kenapa diem aja abis kita sampe di sini?" tanya lagi Rana.

Raka terdiam sebelum menjawab. "Saya ... saya cuma ngerasa ... hmm, apa, ya? Mungkin ini termasuk perasaan cemas. Yang jelas sebenernya saya udah ngerasa gelisah dari semalem, tapi mungkin baru keliatannya sekarang pas kita nyampe di bandara."

"Emangnya Mas Raka cemas kenapa?"

"Saya cemasin kamu, Rana."

"Saya?" Rana menunjuk dirinya sendiri. "Mas cemasin saya karena takut saya kenapa-napa di sana sendirian nanti?"

"Bukan soal itu," Raka mengelaknya. "Nggak cuma soal kamu yang bikin saya gelisah, tapi soal kita berdua. Maksud saya, selama ini saya nggak pernah kepikiran gimana rasanya kita jalanin LDM nanti setelah saya iyain kemauan kamu buat lanjut kuliah ditambah lagi saya pula yang saranin kamu buat lanjut di kampus lama saya dulu. Yang saya pikirin dulu adalah hal yang terbaik buat kamu. Tapi, setelah kita nikah sekarang, baru berasa ternyata waktu tuh cepet banget. Kita baru nikah sebulan lebih, tapi beberapa menit lagi kamu bakal ninggalin saya ke tempat yang jauh. Mendadak tuh kayak muncul rasa egois dengan dalih saya ini suami kamu, jadi saya pengen kamu nggak ninggalin saya."

Rana tersenyum penuh arti mendengar kejujuran dari mulut suaminya itu. Jujur, ia merasa begitu terharu mendengar kalimat demi kalimat yang baru saja ia dengar. Raka bukanlah tipe pria yang romantis, baik dari sikap maupun kata-kata. Tetapi, bagi Rana kejujurannya tersebut adalah hal paling romantis yang pernah ia dengar dari suaminya.

"Udah gitu saya nggak bisa lagi setiap hari ketemu kamu. Bisanya sebulan sekali," tambah Raka.

"Salah! Yang bener itu 3 bulan sekali aja," Rana langsung mengoreksi.

"3 bulan sekali?" Raka sedikit melotot mendengar permintaan istrinya. "Yang bener aja? 3 bulan tuh kelamaan."

"Tapi, sebulan sekali itu juga terlalu boros," ujar Rana. "Saya nggak peduli Mas Raka ada duit atau nggak buat bolak-balik ketemu saya, tapi Mas Raka juga perlu inget kalo kita nggak pernah tau masa depan itu gimana. Menurut saya uang yang Mas Raka punya buat sebulan sekali ketemu itu justru bisa dipake buat hal lain yang lebih penting. Yah, bukan berarti saya nggak penting, tapi Mas Raka harus tau sekarang ini mana yang perlu diprioritasin. Apalagi Papi lagi suka kumat."

"Kamu nggak usah khawatir soal itu. Di samping Papi sama Mami punya keuangan sendiri yang masih stabil untuk urusan kesehatan mereka, saya sama Kak Naya juga punya tabungan finansial khusus orang tua--"

"Astaga, kali ini bukan soal duit yang saya maksud," Rana menepuk keningnya setelah memotong ucapan Raka yang baginya tidak nyambung tersebut. "Maksud saya, your time for your parents. Papi sama Mami udah makin tua. Kematian itu hal yang pasti terjadi walaupun kita nggak pernah tau kapan. Di samping itu, pas Papi lagi lemah-lemahnya begini kan lebih baik Mas Raka banyakin waktu sama Papi dan Mami. Minimal ngunjungin tiap weekend kek atau apa. Saya kan udah sering cerita ke Mas Raka penyesalan saya karena kurangnya waktu yang saya punya buat main sama almarhumah Kak Dian dulu."

Raka menghela napas panjang. "Oke, oke, oke. Saya bakal ambil saran kamu itu."

Ia tersenyum mendengar Raka yang akhirnya memilih mengalah padahal biasanya mengalah menjadi tugas Rana selama mereka berdebat. Tapi, mungkin Raka merasa perlu mengalah karena mereka di tempat umum dan juga karena ini adalah terakhir kalinya mereka bertemu sebelum melakukan LDM. Lalu, Rana memeluk suaminya erat dan ia bisa merasakan Raka turut membalas pelukannya.

"Saya bakal kangen banget sama Mas Raka. Mas Raka jangan khawatir atau mikirin apapun selama saya di sana. Saya bakal baik-baik aja dan kalo ada sesuatu pasti saya bakal langsung kasih tau Mas Raka," gumam Rana tanpa melepaskan pelukan mereka. "Yang penting jaga komunikasi kita ya, Mas. Kalo ada apa-apa juga bilang langsung ke saya. Intinya Mas jangan khawatir lagi dan sedih kayak tadi."

"Iya, iya, iya. Saya nggak khawatir kalo kamu di sana. Saya yakin kamu bisa survive entah gimana caranya," balas Raka sebelum pria itu melemparkan celetukan yang menyebalkan di telinga Rana. "Justru saya lebih khawatir kamu selingkuh sama bule di sana."

"Enak aja! Saya nggak bakal selingkuh di sana. Lagian saya kurang tertarik sama cowok bule. Yang suka bule itu mah Sharon," elak Rana langsung sementara Raka hanya terkekeh mendengarnya. "Daripada saya yang selingkuh, kayaknya lebih masuk akal Mas Raka yang selingkuh deh. Apalagi mantan Mas Raka ada banyak."

Raka mendengkus lucu. "Mantan sedikit juga nggak bakal jadi jaminan laki-laki itu setia. Aneh banget. Intinya saya nggak bakal selingkuh. Kan kamu udah tau sendiri alasannya apa, nggak perlu lah saya menye-menye di sini."

Rana terkekeh mendengarnya. "Iya, iya, iya. Makasih ya, sayang."

"Hmm."

Setelah itu mereka saling melepaskan pelukan karena ini waktunya Rana untuk berangkat.

"Rana," Raka memanggil nama istrinya itu dan Rana bisa menemukan pandangan sang suami yang mendadak berubah sendu. "Apa nggak bisa kamu batalin kuliah di Aussie sekarang?"

"Yang bener aja? Aneh banget minta itu dadakan begini," protes Rana langsung. "Kan udah saya bilang kalo saya kuliah di Indonesia juga nggak masalah, tapi Mas Raka nyaranin mulu buat di Monash kayak Mas. Sekarang baru nyesel."

"Iya,  iya, iya," Raka menarik tubuh istrinya untuk mendekat sebelum mendaratkan kecupan mesra di kening Rana. Lalu, pria itu membuat jarak. "Ya udah sana berangkat."

Rana berdeham pelan untuk mengatasi kegugupannya. "Iya, saya pergi dulu."

"Hati-hati. Sampe di sana langsung kabarin saya."

"Iya."

Setelah mencium tangan suaminya, Rana langsung meninggalkan pria itu. Semakin jauh langkah yang Rana ambil hanya membuat gadis itu sadar akan seberapa besar rasa rindunya pada Raka nanti.

TBC
.
.
.
.
.
Adakah yang di sini pernah LDR atau LDM? Gimana rasanya? Wkwkwk. See you on the next chapter! ▪︎chapter 18: jerking off 🔞▪︎

SPOUSE 🔞 ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang