▪︎chapter 37: two sides▪︎

5.7K 177 0
                                    

Suasana berkabung masih begitu terasa dan satu per satu orang mulai hadir di sana setelah mendapatkan kabar yang cukup mengejutkan pagi ini. Tak ada satu pun orang di sana tersenyum meskipun ketika menyambut beberapa tamu yang hadir karena duka mendalam yang masih begitu terasa. Bahkan bendera kuning yang terpasang di depan pagar rumah di daerah Menteng, Jakarta Pusat, itu pun sudah cukup untuk menjelaskan tentang situasi yang sedang terjadi sekarang. Rana pun sama terkejutnya setelah mendapatkan kabar bahwa ayah mertuanya, Prof. Edi, meninggal dunia di usia 68 tahun karena penyakit jantung. Saat itu ia menemani Raka dan Bu Hilda di rumah sakit karena Prof. Edi memang sempat dirawat di rumah sakit.

Dokter yang menangani kali ini bukanlah dr. Runi, melainkan dokter lain. Dokter itu awalnya memberi tahu Raka lebih dulu tentang kondisi Prof. Edi yang tidak bisa diselamatkan lagi dan Rana memperhatikan keduanya dari kejauhan. Ia langsung mengerti hanya dengan melihat dari ekspresi di wajah suaminya sebelum kemudian Raka mendatangi ia beserta Bu Hilda dan kemudian menyampaikan apa yang dikatakan oleh dokter. Sudah pasti Bu Hilda langsung menangis tak karuan sebelum dipeluk oleh Raka dan beberapa menit setelahnya barulah pria itu menghubungi saudara-saudara perempuannya bahwa ayah mereka telah tiada.

Hanya dalam waktu singkat semua anak-anak Prof. Edi dan Bu Hilda sudah berkumpul di rumah beberapa menit setelah mereka kembali dari rumah sakit. Ia melihat bagaimana hancurnya para iparnya tersebut saat melihat jenazah Prof. Edi secara langsung, bahkan Naura dan Bian yang telah mengerti pun turut menangis setelah tahu Opa mereka meninggal dunia. Raka selaku satu-satunya anak lelaki di keluarga mereka merangkul erat Bu Hilda serta adiknya. Tidak lama dari itu pula Rana mengabari pihak keluarganya dan mereka pun turut datang sebelum tetangga serta kerabat keluarga besar Prof. Edi datang ke rumah tersebut. Bahkan dr. Runi dan dr. Hafidz pun datang selaku besan serta menantu dari Prof. Edi.

Rana memberikan beberapa minuman kepada anggota keluarganya yang hadir di rumah tersebut seperti Kemal, dr. Runi, Om Rudy, Pak Sony serta Tante Widya. Meskipun ia turut sedih dengan meninggalnya sang ayah mertua, tapi Rana tahu kalau pihak keluarga Raka jauh lebih sedih daripada dirinya dan Rana berusaha untuk tenang dalam menyambut kedatangan tamu lain di saat keluarga Raka mungkin tidak akan sanggup untuk melakukannya dalam keadaan seperti ini. Hingga kemudian Rana melihat suaminya itu menyambut tetangga serta sepupunya dengan santai dan tak lupa pria itu juga tersenyum seolah-olah tak ada yang terjadi. Mengapa Raka bisa bersikap seperti itu?

Ia ingat sekali semalam Raka mendapat telepon dari Bu Hilda pada pukul 1 dini hari kalau Prof. Edi mulai melemah meskipun beberapa jam sebelumnya beliau sempat kembali sehat seperti tidak memiliki penyakit. Tentu saja ia dan Raka terkejut dengan kabar tersebut sehingga tak butuh waktu lama sampai mereka berangkat ke rumah sakit sementara Raja mereka titipkan lebih dulu pada Bi Sri dan Pak Ujang di rumah. Tapi, dalam waktu singkat, Rana bisa melihat betapa mudahnya bagi Raka untuk menghalau semua perasaan kelabu tersebut seolah-olah pria itu sudah biasa bersikap demikian.

Hingga berikutnya rumah tersebut semakin penuh oleh kedatangan dosen-dosen kampus, lawyer-lawyer hingga beberapa teman dekat Raka pun hadir di sana. Bahkan teman-teman Rana seperti Sharon dan yang lainnya pun datang dan terlihat Sharon menitikan air mata sembari menemani Della yang menangis. Di sisi lain, kali ini Kak Naya yang memeluk Bu Hilda yang masih menangis sesenggukan sementara Mira menangis di pelukan dr. Hafidz. Dari semua kedatangan orang yang hadir di rumah ini, sekilas saja Rana sudah tahu bahwa bagi banyak orang Prof. Edi adalah sosok yang amat baik meskipun mungkin ada juga banyak orang yang hadir hanya sekadar mengenal mendiang secara singkat.

Bu Hilda dan anak-anaknya sempat menciumi wajah jenazah Prof. Edi sebelum beliau dimandikan hingga akhirnya disholatkan. Sekitar setengah jam setelah semua persiapan selesai, barulah jenazah itu dibawa ke dalam ambulans untuk diantar menuju ke Taman Pemakaman Umum Petamburan yang ada di daerah Jakarta Pusat. Raka mengarahkan Bu Hilda serta saudara-saudara perempuannya untuk menemani jenazah Prof. Edi di dalam ambulans tersebut sementara Raka berada di dalam mobilnya sendiri bersama dengan Rana, Naura dan Bian sementara yang menyetir kali ini adalah dr. Hafidz. Hingga ketika akhirnya mereka tiba di lokasi tujuan, jenazah Prof. Edi diantar menuju liang kubur oleh Raka, Mas Bayu, dr. Hafidz, Pak Sony dan yang lainnya.

Kemudian, jenazah Prof. Edi dikebumikan dan Raka kembali naik ke atas dengan dibantu oleh Kemal. Pria itu langsung merangkul Bu Hilda ketika liang kubur itu mulai tertutup lagi oleh tanah merah hingga mereka tak lagi bisa melihat jenazah Prof. Edi di sana. Selesainya membaca doa dan tentunya sedikit berbincang singkat dengan ustadz yang memimpin doa tadi, satu per satu orang mulai meninggalkan makam tersebut. Kini hanya ada pihak keluarga saja yang ada di sana sebelum akhirnya keluarga dari Rana pun juga mulai pergi dan awalnya Rana pikir Raka pun akan menemani keluarga pria itu di makam tersebut sampai tiba-tiba Raka mengatakan sesuatu kepadanya.

"Pulang, yuk," ajak Raka. "Urusan kita di sini udah selesai."

"Kamu beneran mau balik sekarang? Yakin?" tanya Rana heran. "Mami sama yang lainnya terus gimana? Masa kita balik ke rumah."

"Nggak, kita ke rumah yang di Menteng dulu. Biarin aja Mami sama yang lainnya di sini, biar puas-puasin dulu sampe mereka udah sanggup buat pergi," kemudian, Raka menoleh ke arah saudara iparnya. "Mas Bayu, Fidz, duluan ya. Nanti ketemu di rumah Mami aja. Titip Mami sama yang lainnya dulu."

Kedua iparnya itu hanya mengangguk dan kemudian Rana mengikuti Raka yang sudah lebih dulu berjalan menuju mobil. Begitu mereka sudah masuk ke dalam, barulah Raka mengemudikan mobil tersebut hingga sekitar setengah jam kemudian mereka sudah tiba lagi di rumah Menteng. Ketika mereka sudah memasuki rumah tersebut, Rana memperhatikan Raka yang langsung berjalan terburu-buru menuju kamar lama pria itu dan ia pikir mungkin Raka sedang butuh istirahat sejenak. Lantas Rana memutuskan untuk membuatkan teh sebelum menyusul pria itu ke kamar.

Tanpa mengetuk pintu, ia membuka pintunya secara perlahan-lahan dan menemukan sosok suaminya tengah duduk di pinggir tempat tidur menghadap ke arah meja belajarnya dulu. Kemudian, Rana dibuat bergeming begitu mendengar suara yang tak biasa berasal dari suaminya itu. Jelas sekali, saat ini Raka terisak tertahan hingga Rana memutuskan untuk tetap masuk ke dalam dan menghampiri suaminya. Diletakkannya cangkir teh itu di atas meja belajar sebelum Rana duduk tepat di sebelah pria itu hingga kemudian Raka menoleh ke arahnya sehingga ia bisa melihat kedua mata suaminya memerah dan basah oleh air mata.

"Kamu sibuk?" tanya pria itu dan Rana langsung menggeleng. "Saya boleh peluk kamu?"

Tepat setelah Rana mengangguk, pria itu langsung memeluknya erat dan kemudian meluapkan tangisannya di bahu Rana bersamaan dengan ia bisa merasakan pelukan Raka begitu kencang. Tapi, itu sama sekali tidak membuatnya kesulitan bernapas. Justru Rana membalas pelukan suaminya dan membiarkan Raka menangis sampai puas. Ia pernah di posisi pria itu ketika kehilangan kakaknya dulu dan tentu saja Rana sangat mengerti apa yang dirasakan oleh suaminya sekarang. Kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup adalah hal terberat yang suatu saat akan dirasakan oleh semua orang. Rana pernah melaluinya dan Raka sedang melaluinya sekarang.

Kini ia akhirnya mengerti tentang semua pertanyaannya atas sikap Raka sedari tadi. Pria itu bagaikan dua sisi sebuah koin. Perannya sebagai satu-satunya anak lelaki di dalam keluarga memaksa Raka untuk tidak cengeng meskipun sebenarnya sah-sah saja jika ia ingin menangis seperti yang lainnya. Bu Hilda dan saudara-saudara perempuannya sudah begitu rapuh karena kehilangan sosok suami dan ayah, lantas sudah seharusnya Raka menjadi orang yang menguatkan mereka sehingga pria itu tidak akan pernah menangisi kepergian Prof. Edi di depan mereka semua.

Hal yang sama juga untuk alasan mengapa Raka memutuskan pulang lebih dulu. Pria itu sudah tidak bisa menahan diri lagi dan tidak ingin memperburuk keadaan dengan ikut menangis di pemakaman tadi. Itulah mengapa Raka mengajak Rana kembali ke rumah Menteng hanya untuk meledakkan semuanya di kamar lamanya ini, kamar yang mungkin menyimpan banyak kenangannya sejak kecil hingga dewasa bersama sang ayah yang mana hal itu tidak akan pernah terulang lagi. Di saat seperti ini, Raka hanya bisa menunjukkan sisi lain yang tak pernah ia tunjukkan ke banyak orang kecuali kepada istrinya saja. Maka dari itu, jika memang Raka membutuhkan pelukan, maka Rana akan memberikannya sampai pria itu merasa jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

"Makasih, ya," gumam Raka setelah pelukan mereka terlepas dan Rana juga tidak melihat jejak air mata seperti tadi lagi di kedua mata suaminya.

"Sama-sama," Rana tersenyum sebelum mengecup kening suaminya itu. Lalu, Rana menyerahkan teh di meja belajar tadi kepada Raka. "Minum tehnya, ya. Tapi, udah agak dingin. Nggak apa-apa?"

Raka menggeleng sebelum balas tersenyum. "Nggak masalah. Asal kamu yang bikin."

Perlahan-lahan Raka mulai menyesap tehnya dengan tenang.

TBC
.
.
.
.
.
Mungkin ini satu-satunya chapter tersedih di cerita ini ya wkwkwk. See you on the next chapter! ▪︎chapter 38: massage 🔞▪︎

SPOUSE 🔞 ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang