Bab 5. Malaikat penolong

102 21 26
                                    

"Kamu nggak papa?" 

Di tengah kepanikan yang melandanya, Adistia menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala sebagai jawaban. Bibirnya masih kelu hanya untuk sekadar mengucapkan satu patah kata. Apalagi saat melihat preman yang tadi dihajar di depan matanya kini bangkit. Tangan Adistia tanpa sadar memegang lengan jaket laki-laki yang baru saja menjadi penolongnya. Takut preman dengan banyak tato di tangan dan juga tubuhnya itu kembali mendekatinya. Namun gadis dengan kulit kuning langsat itu langsung mengembus napas lega saat sang preman yang nyaris memperkosanya tadi berlari menjauh. 

"Kamu tenangin diri dulu," ujar laki-laki penolong itu sembari memapah Adistia untuk duduk di salah satu bangku. Setelah memastikan kondisi sekitar aman, laki-laki itu tampak berjalan ke arah mobilnya. Adistia sempat takut laki-laki dengan wajah bule ini akan meninggalkannya. Namun ternyata laki-laki dengan mata kebiruan itu mengambil air mineral botolan untuk diberikan padanya. 

"Minum!" katanya setelah membantu Adistia membuka segel botol. Adistia pun segera mengambil alih botol tersebut dan menenggak isinya hingga habis setengah. 

"Sudah lebih baik?" Adistia mengangguk, dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Tangannya masih sedikit bergetar karena ketakutan.

"Perlu lapor polisi?" Kali ini Adistia menggelengkan kepalanya, tidak mau urusan ini menjadi panjang. Yang terpenting dia sudah selamat dan tidak mau membuat ayah atau pun bundanya panik jika sampai tahu kejadian ini menimpanya. 

"Ya sudah kalau begitu. Saya antar pulang, ya."

Adistia kembali menggelengkan kepalanya. Entah mengapa ada rasa takut jika saja laki-laki ini nanti berniat buruk padanya. Rasa syok masih membuat Adistia tidak bisa berpikir jernih. 

"Saya pesen taksi saja." 

*

Itu adalah pertemuan pertama dan terakhir Adistia dengan malaikat penolongnya. Pertemuan yang terus Adistia ingat sepanjang waktu, hingga detik ini. Gadis itu sangat menyesal karena saat itu langsung pergi meninggalkan laki-laki yang wajahnya terus menemani hari-harinya. Itu juga hal yang akhirnya membuat Adistia memimpikan untuk memiliki suami bule. Dan kini dia tahu kenapa merasa familier saat Namira menunjukkan foto sahabat Arman ini. Adistia tidak terlalu mengenali karena berewok yang laki-laki ini tumbuhkan memang membuat penampilannya terlihat lain. Berbeda dengan kali ini, wajah Evans begitu bersih dan penampilannya juga rapi meski hanya mengenakan kaos hitam polos dipadu dengan celana jeans biru. 

"Hai, Adisti, ya? Udah nunggu lama?" Sapaan akrab itu diucapkan dengan senyuman hangat. Membuat siapa pun lawan bicaranya akan merasa nyaman. 

"Enggak kok, Pak, eh Kak, eh Mister." Adistia meringis bingung, juga malu dengan tingkahnya yang mendadak konyol. 

Evans malah tertawa kecil melihat sikap Adistia. Kerutan di ujung mata serta lekukan kecil di pipi yang terlihat setiap kali laki-laki itu menarik bibir, sungguh menambah pesonanya di mata Adistia. 

"Panggil Mas boleh, jangan liat wajah saya yang bule, saya ini *wong jowo loh." (orang jawa)

Adistia sempat terkejut dengan logat jawa yang baru saja Evans tunjukkan meski hanya singkat. Dirinya yang keturunan jawa tulen saja tidak bisa berbicara dengan aksen jawa medhok seperti itu. 

"Kita ngobrol di atas aja, yuk! Biar lebih santai." Evans tanpa menunggu persetujuan gadis di depannya langsung sigap membawakan lemon tea yang belum sempat Adistia minum, lalu lebih dulu meniti anak tangga untuk naik ke lantai atas.

*

Adistia pikir lantai atas yang Evans jadikan tempat untuk mereka mengobrol adalah ruangan pribadi, ternyata bukan. Di bagian atas juga tempat untuk pengunjung, hanya saja desainnya lebih menarik. Tidak ada kursi, yang ada adalah meja-meja pendek dikelilingi oleh empat bantal busa berwarna abu-abu. Sementara dinding yang mengelilingi ruangan ini terbuat dari kaca gelap yang sepertinya akan menyerap panas saat siang datang. Tanaman gantung menghias cantik atap yang dicat warna abu cerah. Adistia merasakan kenyamanan yang tidak bisa digambarkan dengan detail saat akhirnya duduk bersila di salah satu bantal busa di bagian ujung ruangan. 

"Arman sudah cerita sedikit tentang kamu dan kenapa kamu perlu 'pacar bohongan'." Evans membentuk tanda kutip dengan kedua jarinya saat mengatakan dua kata terakhir. 

Adistia mengangguk, "Saya juga sudah tahu sedikit soal Mas Evans," katanya masih berusaha menguasai gugup. 

"Santai saja, nggak usah gugup gitu." Evans tertawa kecil, berharap bisa mencairkan suasana. 

Adistia juga sebenarnya bukan orang yang tidak pandai bergaul, juga bukan orang yang susah akrab dengan orang baru. Hanya saja ini Evans, laki-laki yang gadis itu pikir tidak akan pernah ditemuinya lagi seumur hidup. Kejutan luar biasa ini tentu saja masih membuatnya syok. Apalagi penampilan Evans yang lebih matang dari beberapa tahun lalu, membuat pesona laki-laki ini makin menonjol. 

Rahang tegas, hidung mancung, bibir tebal di bagian bawah serta tipis di bagian atasnya, belum lagi alis tebal yang tampak bergitu pas menaungi mata dengan iris kebiruannya, bulu matanya juga sangat lentik. Belum lagi tinggi badannya yang begitu menjulang. Adistia yang hanya memiliki tinggi 160cm tampak kerdil jika berdiri bersisihan dengan Evans. Dengan bentuk fisik dan ketampanan di atas rata-rata seperti ini, kenapa Evans malah mencari pacar pura-pura? Padahal Adistia yakin jika laki-laki ini mau, tinggal menunjuk gadis mana pun untuk dijadikan pacar sungguhan juga bukan hal yang sulit. Salah satunya tentu saja dirinya, Adistia akan senang hati mengangguk jika Evans menawarkan untuk menjadi pacar sungguhan. 

"Jadi apa perlu kita buat perjanjian di atas kertas?" Kalimat tanya itu menyentak fokus Adistia. Gadis itu mencoba menguasai diri saat sadar jika sejak tadi terus mengamati wajah Evans. Jangan sampai perbuatannya ini tertangkap basah oleh si pemilik wajah. 

"Terserah Mas Evans aja, baiknya gimana?" 

"Kalau menurut aku, sih, kayaknya nggak perlu. Karena ini juga nggak terlalu besar risikonya, kan?"

"Ya udah, gitu juga nggak papa, Mas." Adistia tersenyum malu-malu, yakin jika Namira ada di sini sekarang sudah memberikan cibiran sinis juga tatapan jijik karena sikapnya ini.

"Ya sudah, disepakati kayak gitu, ya?" 

Adistia mengangguk, lalu mengedar pandang untuk mencari  topik pembicaraan yang kira-kira bisa dirinya bangun. Jangan sampai pertemuan ini hanya berakhir seperti ini saja. Sempat terpikir untuk menanyakan masa lalu, tetapi urung saat yakin Evans sama sekali tidak mengingatnya. 

"Udah lama buka kedai kopi ini, Mas?" tanya Adistia, berharap pembahasan yang dibangunnya tidak garing. 

"Udah lumayan lama," jawab Evans sembari menyimpan ponselnya setelah membalas pesan penting tentang pekerjaan. "Saya rintis kira-kira dari enam tahun lalu." 

Adistia mengerjab takjub. "Wah lama juga, ya, Mas? Saya juga sebenarnya lagi ngerintis usaha."

"Oh, ya? Usaha apa?" tanya Evans balik dengan antusias yang tidak dibuat-buat, maka Adistia pun menceritakan apa yang kini sedang dikerjakannya. 

Evans mendengarkan dengan baik setiap kalimat yang Adistia keluarkan dari bibirnya. Hal yang membuat Adistia merasa sangat dihargai, jarang sekali ada orang yang bisa menjadi pendengar yang baik seperti ini. Apalagi Evans tidak hanya mendengarkan, tetapi laki-laki itu juga memberikan respon baik dengan membagikan beberapa tips untuk membangun sebuah bisnis.

Penjelasan yang Adistia dengarkan dengan seksama. Karena saat Evans menjelaskan setiap point tentang kiat untuk menjadi sukses, di sanalah pesona laki-laki ini semakin terpancar. Evans benar-benar terlihat seperti masa depan cerah yang harus bisa Adistia gapai untuk saat ini. Mungkin sedikit berlebihan, tetapi benak Adistia mulai berharap jika pertemuan tidak terduganya dengan Evans kali ini adalah pertanda jika mereka adalah jodoh.

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang