"Kamu kenapa?" tanya Evans bingung saat melihat Adistia tiba-tiba saja mengerut seperti orang ketakutan. Belum lagi keringat yang menitik di pelipis gadis itu. Evans tahu jika itu bukan muncul karena udara panas, juga bukan karena terkejut akibat ada sepeda motor yang melintas cepat di depan mereka tadi.
Tidak mendapat jawaban, maka Evans segera menyusuri arah pandang Adistia, dan saat menemukan seorang laki-laki dengan banyak tato di tubuhnya, Evans menerka itulah penyebab Adistia seperti ini.
"Kita cari tempat duduk dulu." Evans merangkul pundak Adistia, lalu menuntunnya lembut ke sebuah minimarket yang menyediakan bangku di depannya. "Tunggu sini sebentar!" ujarnya lagi setelah Adistia duduk, lalu dia pun masuk untuk membeli minuman dingin.
Sementara Adistia yang masih mencoba menenangkan diri hanya bisa mengembus dan mengeluarkan napasnya untuk mencari ketenangan. Ini memang selalu terjadi jika dirinya melihat laki-laki dengan banyak tato di tubuhnya. Bisa dikatakan dia memiliki trauma untuk hal tersebut. Dulu sekali, pernah dia nyaris diperkosa oleh preman yang memiliki tato di sekujur tubuhnya, dan Adistia tidak menyangka jika hal tersebut bisa menimbulkan trauma hingga sekarang.
"Ini, minum dulu." Evans duduk di bangku yang berseberangan dengan Adistia, ada meja bulat yang menjadi pemisah keduanya. Disorongkannya sebotol air mineral dingin, berharap Adistia bisa merasa lebih tenang setelah meminumnya.
"Makasih, Mas," ujar Adistia sembari mengambil alih botol dari tangan Evans. Berusaha membuka segel botolnya dengan tangan yang masih sedikit bergetar , tetapi tidak berhasil.
Evans yang menyadari kesulitan Adistia kembali mengambil alih botol dari tangan gadis itu, lalu menyorongkannya lagi setelah membantu membuka segelnya.
Sekali lagi Adistia mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya menenggak air mineral tersebut. Aliran dingin yang membasahi tenggorokannya membuat perasaan menjadi lebih tenang.
"Kamu punya trauma?" tanya Evans saat melihat Adistia mulai terlihat tenang.
Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. "Dulu pernah ada kejadian buruk sama laki-laki bertato," ujarnya.
"Kalau boleh tahu, apa itu?"
Adistia pun menceritakan sekilas peristiwa yang pernah dialaminya dulu. Saat dia sedang menunggu dijemput oleh Bisma. Biasanya tempat dia menunggu itu ramai oleh pedagang juga pembeli karena memang lokasinya berada di sebuah ruko yang berderet panjang. Namun hari itu, entah mengapa semua toko tutup dan kondisi sepi. Seorang preman muncul, lalu menganggunya.
"Waktu itu untung ada yang nolongin sebelum terjadi hal yang enggak diinginkan." Adistia terus mengucap beribu syukur setiap kali mengingat dirinya berhasil lolos dari bahaya yang mungkin akan menimbulkan trauma lebih jika tidak ada yang menolongnya.
Evans yang mendengar cerita itu langsung mengerutkan kening. Merasa familier dengan kondisi yang Adistia baru saja ceritakan. "Dulu aku juga pernah nolong seorang gadis yang sedang diganggu preman," katanya sembari memindai wajah Adistia.
"Oh, ya? Mas ingat wajah gadis itu?" tanya Adistia penuh harap. Apakah kira-kira Evans bisa mengingat wajahnya? Namun gelengan kepala yang laki-laki itu berikan membuat Adistia sedikit kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. COFFEE and Miss COOKIE
RomanceEvans membutuhkan pacar pura-pura untuk menyingkirkan satu pengacau di hidupnya dan fokus pada kedai kopinya. Adistia membutuhkan pacar pura-pura untuk membatalkan perjodohan yang ayahnya atur dan fokus pada bisnis kuenya. Keduanya saling tertarik...