Bab 38. Ancaman Berlian

68 11 0
                                    

"Mas harus jadiin aku pacar, dan kasih aku kesempatan untuk bisa deket sama Mas lagi."

Evans tersenyum miring mendengar ancaman tersebut. Dia belum segila itu untuk menjerumuskan diri pada gangguan yang lebih lagi. Meski juga sangat kesal karena apa yang dilakukannya dengan Adistia kemarin terasa percuma. Harusnya dia lebih mengenal Berlian, gadis ini sungguh sulit sekali untuk dikelabui. Banyak sekali caranya untuk tetap bisa mengejar apa yang tidak bisa digapai. Kenapa Berlian begitu kerasa kepala?

"Kamu itu cantik," ujar Evans mencoba menahan emosinya. Masih memilih cara pelan untuk berbicara dengan gadis ini. Siapa tahu akan berhasil, mengabaikan senyum bangga yang gadis itu tunjukkan karena pujiannya, Evans lalu melanjutkan, "Kamu bisa dapet yang lebih baik. Kenapa kamu harus terus ngejar orang yang nggak bisa kamu dapetin?"

"Karena aku nggak pernah ditolak, dan nggak terima penolakan," jawab Berlian seperti tanpa berpikir.

Sejak kecil dia selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Orang tua Berlian terlalu memanjakan anak kembarnya karena dulu anak pertama mereka meninggal dunia akibat sakit. Dan saat sepuluh tahun kemudian baru diberi kesempatan lagi oleh Tuhan mendapatkan keturunan, hal tersebut membuat kedua orang tua itu teramat bersyukur sehingga tanpa sadar selalu mewujudkan apa yang diinginkan anak-anaknya.

Apalagi sejak kecil kondisi Berlian lebih sering sakit-sakitan, sehingga kasih sayang itu tanpa sadar lebih condong diberikan untuk Berlian. Mungkin itu juga yang membuat sifat keduanya berbeda. Mutiara yang sabar dan sering mengalah, sementara Berlian yang egois dan seringnya mencurangi Mutiara. Dalam hal percintaan pun Berlian tidak pernah mendapat penolakan, dia selalu mendapatkan laki-laki yang diinginkannya untuk menjadi kekasih. Dan saat ini dia menginginkan Evans, maka dengan cara apa pun harus dilakukan untuk mendapatkan laki-laki ini.

"Terserah kamu kalau begitu." Evans kehabisan kata-kata, memilih untuk tidak memedulikan Berlian yang masih duduk tenang di kursinya.

"Jadi Mas beneran nggak takut Tante Witri tahu soal kebohongan yang Mas lakukan? Mas nggak takut liat wajah kecewanya?" Berlian tahu Evans sangat menyayangi mamanya. Melihat wanita yang telah melahirkannya kecewa tentu saja akan membuat Evans sedih. Hal yang diyakini Berlian akan meluluhkan hati Evans, sehingga meski dengan terpaksa laki-laki ini akan menerimanya. Namun, jawaban mengejutkan malah laki-laki itu lontarkan.

"Lebih baik kamu pergi Lian." Evans benar-benar lelah, menghadapi Berlian sungguh menguras tenaganya. "Kali ini memang kami hanya pura-pura, tapi nggak ada yang tahu ke depannya nanti seperti apa," imbuh Evans, bingung bagaimana cara membuat gadis di depannya ini mengerti jika mereka tidak mungkin bersama.

"Apa bagusnya dia dibanding aku?" tanya Berlian menahan geram. Adistia di matanya sungguh tidak menarik. Tubuhnya terlalu kerempeng dan tidak tahu cara berdandan. Wajah polosnya itu sangat tidak sedap dipandang. Tinggi mereka memang sama, tetapi dari bentuk tubuh tentu saja dia lebih menarik dengan lekukan yang sempurna.

Dia lebih pintar memulas make up serta memadu padankan pakaian. Dan yang paling menonjol adalah dia lebih seksi. Bukankah laki-laki menyukai gadis seksi seperti dirinya? Jika dibandingkan dengan Adistia, tentu saja mereka akan terlihat seperti langit dan bumi. Berlian merasa sedikit tersinggung karena saingan yang Evans hadirkan sungguh tidak berbobot sama sekali.

"Jangan paksa aku untuk bandingin dua orang yang jelas berbeda. Kamu nggak mau sakit hati, kan?" Evans merasakan denyut di kepalanya semakin bertambah.

"Jelas beda karena aku lebih cantik." Ucapan penuh percaya diri itu malah mendapat kekehan geli syarat akan ejekan. Membuat emosi Berlian semakin tersulut.

"Cantik bisa memudar seiring waktu. Nanti kalau sudah tua tetap akan keriput, kan?" Evans menggeleng geli, lama-lama dia malah merasa seperti berbicara dengan anak kecil.

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang