Bab 12. Permintaan Evans

80 18 22
                                    

Kegiatan yang Adistia lakukan setiap pagi adalah, mengecek notifikasi di ponselnya. Bukan untuk melihat apakah toko kuenya mendapat pesanan, melainkan apakah ada pesan atau panggilan masuk dari Evans yang dirinya lewatkan. Namun setelah beberapa hari berlalu, tidak satu pesan pun masuk. Apakah hubungan pura-pura yang baru akan dinikmatinya ini berakhir begitu saja?

Adistia sedang membuat konten promosi toko onlinenya kala siang itu ponselnya tiba-tiba saja mengalunkan satu lagu. Awalnya Adistia pikir itu hanya telepon tidak penting, dan mengangkatnya tanpa melihat pasti siapa si pemanggil. Namun saat suara berat itu terdengar, Adistia berpikir dirinya sedang bermimpi. 

"Halo, Adis!" 

Adistia tidak menjawab karena sedang memastikan penglihatannya, apakah benar nama Evans yang terpampang di layar? Bukan hanya sekadar halusinasinya saja karena terus memikirkan laki-laki itu. 

"Adis? Halo!" 

Adistia berdeham, jantungnya mendadak bertalu hebat saat yakin suara itu memang milik Evans, dan ini adalah kenyataan. "I-iya, Mas."

"Lagi repot, ya?"

"Oh enggak!" jawab Adistia mungkin terlalu cepat, atau terdengar terlalu semangat? Entahlah, yang jelas terdengar tawa kecil Evans dari seberang sana. 

"Kita perlu ketemu, kamu kira-kira ada waktu jam berapa?"

"Sekarang bisa!" Adistia bahkan sampai memukul bibirnya sendiri karena merasa terlalu antusias. Seharusnya dia menjaga image sedikit saja, jangan sampai Evans benar-benar mengangapnya gadis aneh. 

"Beneran?" Adistia mengangguk, lalu segera menjawab ya. 

"Ya udah aku jemput setengah jam lagi gimana?"

"Oke, Mas, aku siap-siap." Sambungan telepon terputus dan Adistia pun berlari ke lemari bajunya. Seperti yang terjadi kemarin-kemarin, baju yang baru saja dirapikan itu kembali diacak-acak hanya untuk memilah pakaian mana yang harus dikenakannya. 

*

Adistia pikir Evans akan mengajaknya berbicara di kedai seperti hari-hari kemarin, tetapi ternyata tidak. Laki-laki yang hari ini mengenakan kaos hitam polos itu membelokkan mobilnya ke sebuah taman. Kondisinya sepi karena bukan hari libur, tempat ini akan ramai saat malam menjelang. Banyak keluarga kecil yang mengajak anaknya duduk di rumput sintetis di tengah taman. 

"Jadi ada apa, Mas?" tanya Adistia memulai obrolan karena dilihatnya Evans malah hanya diam. Menatap ayunan kosong seperti tengah membayangkan sesuatu. 

Evans yang memang tengah membayangkan kebersamaannya dengan Mutia dulu sedikit tersentak, menoleh ke arah Adistia dengan senyuman tipis. 

"Ah sorry. Aku selalu inget istriku kalau liat ayunan. Dia paling seneng kalau naik ayunan gitu, kayak anak kecil." Evans tersenyum penuh rindu saat mengatakan kalimat itu. Hal yang membuat Adistia sadar jika Evans sangat mencintai mendiang istrinya. 

"Maaf, jadi ngelantur," kata Evans lagi saat sadar tidak seharusnya dia membahas perasaan rindunya kala sedang bersama orang lain. 

Adistia tersenyum sembari mengatakan tidak masalah, meskipun ada rasa iri yang tiba-tiba muncul. Adistia juga ingin dicintai setulus itu, dan terus diingat meski nanti sosoknya tidak lagi ada di dunia. 

"Ini soal Berlian," ujar Evans memulai topik yang memang seharusnya mereka bicarakan. 

"Dia nggak percaya?" tebak Adistia sembari menelisik wajah Evans yang tampak lelah setelah nama Berlian disebut. 

"Aku rasa seharusnya dia sudah mulai percaya, tapi sengaja nyari ulah biar aku kesel dan nyerah sama dia," jelas Evans yang tidak pernah membayangkan Berlian akan menjadi seperti ini selepas Mutiara meninggal. Sebenarnya Berlian sudah menunjukkan ketertarikan padanya sejak dulu, hanya saja semua itu Evans pikir sudah terkubur setelah dia memilih Mutia. Namun siapa sangka gadis itu menggila setelah Mutiara pergi. 

"Terus? Apa yang bisa aku bantu?" Adistia yakin kali ini mereka bertemu karena Evans sudah memiliki rencana. 

"Kamu keberatan, kalau sesekali datang ke kedai?" 

Adistia menjawab rasa sungkan yang terselip di kalimat Evans itu dengan senyuman lebar. Menunjukkan gigi gingsul yang tanpa sadar mulai disukai oleh lawan bicaranya. 

"Setiap hari juga boleh kok, Mas." Adistia tidak akan keberatan sama sekali untuk mengunjungi kedai kopi milik Evans setiap hari. Lokasinya juga tidak terlalu jauh dari rumah, dan waktu untuk mengunjungi kedai bisa disesuaikan dengan kesibukannya sebagai pengusaha kue pemula. Waktu fleksible seperti inilah yang Adistia sukai dari bisnis yang sedang digelutinya. 

Evans tertawa kecil, mendengar nada antusias yang sering Adistia tunjukkan membuatnya ikut bersemangat. "Nggak harus setiap hari juga. Kamu punya kesibukan, aku nggak mau waktu kamu jadi keteter nanti."

"Soal itu Mas tenang aja. Nanti setiap aku dateng bakalan bawa tester kue baru buat Mas icip. Jadi kedatanganku ke kedai Mas juga nggak sia-sia, gimana?" 

Evans langsung mengangguk setuju. "Nanti sebagai gantinya aku bantuin kamu buat promo juga. Kamu bisa taruh beberapa brosur di meja, kalau perlu ada yang ditempel di tembok juga nggak masalah."

"Wah beneran, Mas?" Adistia semakin bersemangat. Rupanya pertemuannya dengan Evans memang memiliki makna lebih. Banyak keuntungan yang sepertinya akan dirinya dapat selain tentang perasaan. 

"Oke, sepakat gitu aja, ya?" Adistia mengangguk dengan senyuman yang tidak juga luntur. 

"Sekarang kamu ada agenda apa?" tanya Evans sembari berdiri, dikuti Adistia yang ikut bangkit dari kursi taman sembari menyandang tas slempang kecilnya. 

"Aku mau ke grosir bahan kue, ada beberapa bahan yang harus dibeli."

"Kalau gitu aku antar." Evans lebih dulu berjalan tanpa menunggu persetujuan Adistia yang pastinya tidak akan menolak tawaran sebaik itu. 

*

Sepanjang perjalanan keduanya mengobrolkan banyak hal, terutama tentang bisnis yang tengah digeluti masing-masing. Banyak tips yang Evans bagi, dan banyak hal yang Adistia tanyakan. Adistia senang karena pembicaraan yang mereka bangun tidak ada habisnya. Entah karena Evans memang senang mengobrol atau karena mereka tengah berjalan di bidang yang sama jadi pembahasannya terasa cocok. 

"Yang di depan itu grosir bahannya?" Adistia menjawab pertanyaan Evans dengan anggukan kepala. Evans pun segera membelokkan mobilnya dan memarkir kendaraan roda empat yang dikendarainya di lahan parkir yang masih kosong. 

"Mas Evans kalau masih ada kerjaan bisa tinggalin aku sendiri nggak papa," ujar Adistia saat Evans seperti ingin ikut turun dari mobil. Walaupun sebenarnya menginginkan laki-laki ini menemaninya, tetapi dia tidak boleh egois. 

"Aku lagi nggak ada kerjaan. Pengin liat-liat juga, siapa tahu ada yang mau dibeli." Evans membuka pintu mobil begitu pun dengan Adistia. keduanya turun dan melangkah bersamaan menuju bangunan yang ada di seberang tempat parkir itu. 

Evans sempat memegang lengan Adistia saat sebuah sepeda motor tiba-tiba melaju kencang di depan mereka. Hal yang membuat Adistia merasa dilindungi, laki-laki seperti ini sungguh sangat diinginkannya menjadi pasangan. 

"Orang kalau naik kendaraan suka nggak mikir bahaya," gerutu Evans sembari menoleh ke arah Adistia untuk memastikan apakah gadis itu baik-baik saja. 

"Kamu kenapa?" Pertanyaan cemas itu muncul saat dilihatnya Adistia tampak ketakutan dengan mata terus mengarah ke satu arah. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang