Bab 20. Iya, saya duda

83 21 20
                                    

Adistia tanpa sadar meremas ujung kaos yang dikenakannya. Apalagi saat jawaban Evans tidak kunjung datang. Apakah kali ini laki-laki itu merasa gugup dengan pertanyaan yang ayahnya ajukan? Memang akan terdengar biasa di telinga orang sepertinya yang masih single, tetapi entah apakah itu akan menyinggung Evans yang menyandang status duda.

"Iya benar, Om. Saya memang duda."

Perasaan Adistia semakin waswas saat akhirnya jawaban itu meluncur dengan tenang. Gadis yang mengikat setengah rambutnya ke belakang itu tidak bisa membaca ekspresi dari Evans mau pun ayahnya karena kedua laki-laki itu duduk membelakanginya.

"Sejak kapan?" Adistia rasanya ingin menyudahi sesi tanya jawab ini. Mempertanyakan status duda Evans, serta waktu laki-laki itu menyandang status tersebut, sama saja mengorek luka masa lalu yang mungkin sedang Evans tutupi.

"Sejak tujuh tahun yang lalu, istri saya meninggal karena kecelakaan." Adistia memberanikan diri untuk mendekat, takut Evans merasa sedih saat ini. Mengenang kembali masa tragis yang pernah dialami tentu saja bukan hal yang menyenangkan.

"Mas Evans tadi katanya ada janji." Kedua laki-laki itu langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi yang berbeda. Evans yang bingung karena merasa tidak mengatakan hal tersebut, dan ayahnya yang langsung menggerakkan kepala ke arah Evans untuk mengkonfirmasi.

"Katanya dari sini tadi mau ketemu sama orang, kan? Buat bahas stok kopi." Adistia asal berbicara sembari memberi isyarat mata pada Evans agar mengikuti kebohongannya.

"Oh iya, hampir lupa. Untung kamu ingetin." Evans tersenyum saat sadar Adistia telah menyelamatkannya dari interogasi berlanjut yang ayah gadis ini ajukan. "Maaf, Om, saya masih ada janji, harus pamit sekarang."

Adistia mengembus napas lega saat pada akhirnya Evans berdiri.

"Ya sudah, nggak papa. Lain kali harus mampir lagi, Om mau rasain racikan kopi yang lain dari kedai kamu." Gunardi tidak curiga sama sekali dengan gerak-gerik dua anak muda di sekitarnya.

"Loh, udah mau pulang?" Bunda Adistia yang sedang berada di belakang rumah untuk menata pot seketika ikut bergabung saat mendengar Evans akan pamit.

"Iya, Tante. Saya permisi dulu, nanti kapan-kapan main lagi." Evans segera mencium punggung tangan ayah dan bunda Adistia, lalu melangkah keluar diantar oleh Adistia yang tanpa sadar mendorong bahu kekar Evans. Seolah-olah takut ayahnya akan kembali mengajukan pertanyaan lain yang pada akhirnya akan membuat kondisi terasa tidak nyaman.

*

"Maaf banget, ya, Mas," ujar Adistia saat keduanya sudah berada di luar. Evans memencet remote mobilnya sembari menoleh ke arah samping. Agak menunduk karena tinggi mereka yang terpaut begitu jauh.

"Maaf untuk?" Diangkatnya kedua alis karena Evans memang tidak paham dengan permintaan maaf yang Adistia lontarkan.

"Pertanyaan ayahku tadi." Adistia meringis tidak enak hati. "Aku nggak tahu kalau diam-diam ayah cari tahu soal Mas." Dalam hati kini gadis itu menebak-nebak ke mana ayahnya mencari informasi tentang Evans. Apakah ke Namira?

Evans tersenyum sembari membuka pintu mobilnya. "Nggak masalah, itu pertanyaan yang sangat umum. Dan wajar juga kalau ayah kamu nanyain soal itu."

"Tapi itu buat Mas jadi sedih?" Adistia menatap mata Evans yang seketika meredup dengan senyum tipis. Dari sini saja sudah tertebak apa jawaban dari pertanyaannya.

"Aku udah mulai terbiasa," jawab laki-laki itu. Sedih memang, setiap kali orang mempertanyakan soal statusnya. Bukan status duda yang membuatnya sedih, tetapi pertanyaan tersebut pasti akan berujung dengan pertanyaan lain yang pada akhirnya memaksa Evans untuk kembali mengenang kejadian pahit yang pernah terjadi dulu.

Menceritakan kronologi bagaimana kecelakaan itu terjadi tentu saja bukan hal yang mudah. Mengingat kembali kondisi Mutiara di akhir hidupnya, seperti sedang menyayat sedikit demi sedikit kulitnya. Apalagi wanita yang sangat dicintainya itu memejamkan mata terakhir kali di pangkuannya dengan wajah dan tubuh penuh darah.

Evans menghela napas, mencoba menghalau rasa kacau yang selalu hadir jika kenangan pahit itu kembali terulang. "Nggak usah dipikirkan, aku beneran nggak papa," katanya saat Adistia mulai menunjukkan wajah cemas.

"Beneran?" tanya Adistia tidak terlalu percaya karena mata Evans masih kehilangan binarnya walaupun berusaha ditutupi dengan senyuman.

Evans mengangguk yakin, berharap Adistia tidak lagi menunjukkan sorot iba itu. Jujur Evans kurang menyukai sorot kasihan yang selalu saja hadir jika sudah membahas tentang masa lalu.

"Ya udah aku pulang, kamu masuk gih!" Evans naik ke mobil, menutup pintunya.

"Mas Evans hati-hati." Adistia melambaikan tangan saat mobil yang Evans kendarai akhirnya melaju, meninggalkan dirinya yang masih mematung di tempat. Hingga mobil Evans sudah benar-benar menghilang, baru gadis itu masuk dan menutup pagar rumahnya.

*

Adistia segera melangkah ke ruang tengah rumahnya. Ruangan kecil yang hanya ada satu sofa panjang itu terlihat diduduki oleh ayah dan bundanya. Kedua orang tua itu kini tengah menikmati waktu menonton acara kuliner di televisi 32 in yang menempel di dinding. Adistia memilih duduk di atas karpet bulu yang membentang di depan sofa. Sengaj tidak diletakkan meja agar tempatnya lebih luas dan nyaman dipakai untuk rebahan sembari menikmati waktu berkumpul.

"Ayah tahu dari mana kalau Mas Evans itu duda?" Adistia menatap ayahnya yang kini menoleh ke arahnya sebelum kembali menatap layar besar di depan sana.

"Memangnya nggak boleh tahu? Ayah nggak bisa diem saja tanpa tahu seluk beluk calon mantu Ayah."

Adistia mengangguk paham, lalu masih menatap wajah sang ayah, gadis itu kembali bertanya, "Dari Namira?"

"Memangnya kenapa?" Kali ini bundanya yang bertanya.

"Nggak papa, cuman kalau nanya hal privasi gitu kenapa nggak ke aku aja, sih, Yah? Kan nggak enak sama Mas Evans," keluh Adistia masih mengingat aura sendu yang terpancar di wajah Evans tadi.

"Loh, kenapa nggak enak?" Gunardi merasa pertanyaannya tadi masih dalam batas wajar.

Adistia menghela napas panjang, lalu menceritakan tentang tragedi yang pernah Evans alami dulu. Kedua orang tuanya terlihat terkejut, tetapi Gunardi masih merasa pertanyaan yang diajukan tadi bukanlah hal salah.

"Sebenarnya mau dia duda atau bukan nggak masalah buat Ayah." Gunardi berujar tenang, dia memang tidak akan memandang sebelah mata atau malah memberikan stegma negatif untuk seorang duda.

"Tapi kalau dia duda, Ayah perlu tahu apakah dia duda karena ditinggal bercerai atau karena istrinya meninggal. Sudah punya anak atau belum. Karena kalau dia ssudah punya anak, itu artinya saat kamu menikah dengannya nanti kamu harus langsung jadi ibu sambung, dan itu bukan perkara yang mudah."

Adistia mengangguk paham, mencoba mengerti kekhawatiran yang ayahnya berikan. Beruntung Evans bukan duda yang sudah memiliki anak, jadi perkara anak sambung yang ayahnya khawatirkan tidak terjadi. Padahal selain perkara anak sambung, ada yang lebih berat dari pada itu. Yaitu perasaan Evans yang terlalu dalam untuk mendiang istrinya.

"Jadi Ayah nggak masalah, kan, dengan status Mas Evans ini?" tanya Adistia untuk memastikan, meski sebenarnya sudah bisa menebak jika hal itu tidak menjadi masalah.

"Tentu saja tidak," jawab Gunardi sembari mengganti saluran TV melalui remote.

"Tapi Dis." Mata Adistia beralih ke sang bunda saat wanita itu bersuara. "Untuk perasaan Evans ke istrinya, kamu sudah tahu sejauh mana? Soalnya yang Bunda tahu, kalau ditinggal meninggal itu perasaannya lebih kuat, dan susah lupa. Bunda hanya takut kalau dia—"

"Bunda tenang aja," potong Adistia cepat, tahu betul kekhawatiran baru yang kini muncul dari sisi bundanya. "Itu kejadian udah lama banget, dan Mas Evans udah nggak inget-inget lagi asal jangan disinggung." Adistia tersenyum ragu, kalimatnya itu sebenarnya bentuk penghiburan untuk hatinya yang mendadak kalurt. Semakin hari, entah kenapa dia semakin yakin meluluhkan hati Evans bukanlah perkara mudah. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang