Bab 28. Berakhir

77 19 19
                                    

"Aku sudah memutuskan untuk menutup pintu hati dan nggak akan pernah menggantikan posisi Mutia dengan siapa pun," jelas Evans sembari menatap mata Adistia yang perlahan mulai meredup. Keceriaan yang biasa hadir sirna begitu saja. Namun Evans yakin ini hanya akan berjalan sebentar, perlahan gadis ini akan melupakannya dan mampu menemukan sosok lain yang lebih baik darinya.

"Mutia adalah jodoh pertama, dan terakhir yang akan ada di hidup aku." Evans tahu kalimatnya akan menyakiti hati Adistia, tetapi memang kenyataan itu yang ada di pikirannya saat ini. Dan gadis di depannya harus mengerti serta mau menghargai keputusan yang dia ambil.

"Tapi istri Mas udah nggak ada, apa Mas yakin mau menikmati hidup sendiri seumur hidup?"

Evans mengangguk yakin sebagai jawaban dari pertanyaan yang Adistia ajukan. "Aku nggak bisa mengkhianati Mutia dengan mencintai gadis lain, aku nggak mau dia kecewa di atas sana."

Adistia menelan salivanya dengan susah payah. "Apa kebersamaan kita sama sekali nggak berkesan sedikit saja buat Mas?"

"Kamu tahu kalau semua itu hanya sandiwara. Apa yang terjadi antara kita hanyalah palsu, harusnya kamu tahu kalau kisah kita nggak akan pernah berjalan ke mana pun." Evans merasakan sudut hatinya terasa nyeri. Apalagi saat satu bulir air mata menetes begitu saja dari pelupuk mata Adistia.

"Tapi sayangnya perasaan aku ke Mas ini nyata, bukan cuman pura-pura," ujar Adistia sembari menghapus air matanya. Tidak boleh menangis meski hatinya terasa sakit.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Evans katakan, tidak ada kalimat penghibur untuk menenangkan hati Adistia karena perasaannya sendiri saja terasa kacau.

"Lalu bagaimana nanti kalau ayah sama bunda nanya soal Mas?" Pertanyaan konyol, Adistia tahu itu. Pertanyaan seperti itu seharusnya tidak dia tanyakan karena jawaban sudah jelas terpampang dari pertama kali mereka memulai hubungan pura-pura.

"Kamu bisa bilang kita putus," ujar Evans enteng, kali ini tidak bisa menatap wajah Adistia lagi. Atau pertahanannya akan goyah saat itu juga.

"Aku juga akan bilang begitu ke mamaku jika beliau nanya." Evans menghela napasnya yang terasa berat, melarikan mata ke arah lain, yang penting tidak ke mata gadis di depannya.

Adistia tersenyum masam, lalu mengangguk, menatap wajah Evans yang terus mengelak untuk menatapnya. Bahkan laki-laki ini seperti sudah muak dengan keberadaannya. Dia yang salah tentu saja, Adistia akan mengakuinya. Sejak pertama mereka sepakat untuk menjalani hubungan pura-pura ini. Seharusnya Adistia tahu jika hatinya tidak boleh ikut berperan di dalamnya.

Perhatian, kelembutan, sikap hangat yang selama ini Evans berikan padanya hanya sebatas akting untuk meyakinkan orang lain jika hubungan yang mereka jalin nyata. Tidak ada perasaan atau pun ketulusan yang laki-laki itu tuang ke dalamnya. Ini salahnya karena tidak bisa membedakan mana asli, dan mana yang palsu.

Adistia sudah terlalu terbuai oleh angannya sendiri. Menaklukan hati Evans, Adistia tertawa miris dalam hati saat mengingat hal tersebut. Siapa dia yang bisa meluluhkan hati laki-laki di depannya ini?

"Tapi seperti yang aku bilang, kita masih bisa berteman," ujar Evans lagi. Kali ini laki-laki itu memberanikan diri untuk menatap wajah Adistia. Gadis itu tidak menangis, hanya sebulir air mata saja tadi yang jatuh, tetapi entah mengapa itu terlihat menyakitkan. Evans merasa sudah terlalu dalam menyakiti hati gadis ini.

"Kita juga masih bisa menjalankan kerja sama. Apa yang aku tawarkan kemarin itu masih akan berjalan. Aku yakin kita bisa menjadi rekan bisnis yang baik." Evans tidak sadar jika kata-katanya semakin melukai hati Adistia. Bagaimana mungkin mereka masih bisa berinteraksi setelah gadis itu mengakui perasaannya dan ditolak?

Adistia menunjukkan senyuman masam, ditatapnya mata Evans yang masih mengarah padanya. "Mas pikir aku masih bisa ketemu Mas dan bersikap seolah nggak ada apa-apa di antara kita setelah Mas nolak aku?"

Evans tergeragap, tidak bisa menjawab, dan menyesal karena sudah mengatakan kalimat yang sepertinya salah.

"Aku bukan Berlian yang nggak punya malu, Mas. Aku masih punya harga diri." Adistia menghela napas, lalu mengambil barang-barangnya yang ada di bawah meja.

"Lalu gimana bisnis kita?" Evans sadar sangat egois. Ingin mengakhiri hubungan mereka, dan tidak mau memberi Adistia kesempatan, tetapi masih menginginkan mereka untuk tetap berkomunikasi.

"Aku rasa nggak akan ada bisnis atau apa pun lagi di masa depan kita. Lebih baik kalau aku nggak muncul di hadapan Mas lagi setelah hari ini." Adistia langsung pergi tanpa menoleh lagi setelah mengatakan itu. Meninggalkan Evans yang diam mematung dengan pikirannya yang berkecamuk resah.

Ini keputusan terbaik, batin Evans dalam hati. Meyakinkan hatinya yang kacau jika melepas Adistia adalah keputusan terbaik yang tidak boleh disesali. Mungkin perasaan resah yang ada saat ini hanya sebentuk ketidakrelaan karena mereka tidak bisa lagi bertemu.

Senyum Adistia tidak akan lagi menghampiri hari-harinya. Keceriaan yang gadis itu bawa tidak akan lagi bisa dilihatnya. Mungkin dia hanya terbiasa dengan hal itu, dan kini saat semuanya harus menghilang dia hanya merasa tidak rela. Ya, Evans yakin hanya seperti itu.

*

Adistia memesan taksi online dan menumpahkan kesedihan serta kekecewaan yang tadi sengaja dipendamnya. Tidak terbiasa menangis di hadapan orang lain, gadis itu memang lebih senang menangisi kesakitannya seorang sendiri. Namun kenapa ini rasanya lebih sakit dari saat dirinya dikhianati oleh Bisma. Apa karena harapannya yang terlalu berlebih?

Adistia memutuskan untuk menghubungi Namira, tidak tahu apakah sahabatnya itu sibuk atau tidak. Namun ternyata Namira langsung menjawab teleponnya.

"Kenapa Dis?"

Bukannya menjawab, Adistia malah kembali menangis. Dia butuh bahu Namira untuk bersandar kali ini.

"Eh, lo nangis? Lo kenapa, Dis?" tanya Namira panik karena sudah lama sekali tidak mendengar tangisan seperti ini.

"Mir," rengek Adistia sembari membersit hidung dengan tisu. "Gue putus."

"Hah?" Jawaban bingung yang Namira berikan. "Lo apa?"

"Gue putus, Mir, putus." Adistia rasanya ingin berteriak, tidak peduli dengan tatapan supir taksi online yang mungkin menganggapnya aneh.

"Kapan lo pacaran bisa putus?" Pertanyaan itu serupa gumaman, tetapi Adistia masih mendengarnya.

"Dia udah mutusin buat nggak jadiin gue pacar pura-pura lagi. Tapi brengseknya dia nawarin pertemanan setelah gue ngakuin perasaan gue dan ditolak, Mir. Gue malu."

Entah tanggapan seperti apa yang Namira berikan di seberang sana, tetapi seperti ada senyuman geli yang terdengar meski samar. "Ini lo di mana?"

"Jalan pulang."

"Ya udah lo ati-ati, nanti gue langsung ke rumah lo. Sekarang nggak usah dipikirin dulu, anggap aja dia cowok brengsek yang nggak pantes banget buat lo jadiin orang istimewa." Sungguh enteng kalimat yang Namira berikan, tetapi meski sedikit mampu membuat hati Adistia lega.

Adistia mengangguk, dan langsung menutup sambungan teleponnya. Dan saat itu pesan dari Evans masuk.

Evans : Dis, kamu sudah sampai rumah?

Tanpa membalas, Adistia langsung memblokir nomor tersebut. kenapa Evans tidak juga peka kalau perhatian seperti ini hanya akan tambah melukai hatinya. Benar kata Namira, Evans itu cowok brengsek yang tidak patut untuk ditangisi. Namun air mata menjengkelkan itu malah kembali keluar.

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang