Bab 26. Tarik ulur

72 19 23
                                    

Evans tidak ada di tempat saat Adistia datang ke kedai malam itu. Jam sudah menunjuk pukul delapan, tetapi suasana kedai masih sangat ramai karena ini adalah malam minggu. Jika saja tidak diwanti-wanti oleh Namira, sebenarnya Adistia sudah sejak sore tadi datang ke tempat ini karena pesanan kuenya sudah diselesaikan sejak jam tiga sore.

"Lo jangan terlalu keliatan antusias banget kalau mau ketemuan sama dia. Kalau bisa, sekali-kali sok sibuk, tolak. Jadi cewek itu mahal dikit kenapa."

Wejangan yang sempat dia dapat dari sang sahabat. Meski keberatan, Adistia tetap mengangguk kala itu. Dan jika dipikirkan kembali, apa yang dikatakan Namira memang benar adanya. Selama ini dia terlalu memperlihatkan antusiasnya jika akan bertemu Evans. Apa itu akan mengurangi nilainya di mata Evans?

"Terus besok, lo datengnya malam aja. Jangan buru-buru nyelesaiin kue terus langsung dateng. Biarin dia nunggu."

Sekali lagi Adistia hanya mengangguk untuk saran tersebut. Meski dibuat gelisah karena jam seperti tidak juga merambat akhirnya Adistia melakukan saran yang Namira berikan. Bahkan sejak siang tadi Namira terus memantaunya melalui telepon dan juga pesan untuk memastikan dirinya benar-benar mematuhi apa yang gadis itu usulkan.

"Eh, akhirnya kamu keliatan juga!" seru Fadil tampak senang melihat kehadiran Adistia. Gadis itu juga langsung memberikan senyum ceria seperti biasa, duduk di kursi tanpa lengan depan bar.

"Mas Evans lagi keluar, ya?" Evans sebenarnya sudah mengirim pesan beberapa menit yang lalu. Mengatakan jika akan keluar sebentar karena ada urusan, dan meminta gadis itu menunggu jika memang jadi datang. Adistia sengaja tidak membalas pesan Evans, bahkan tidak membukanya. Masih sesuai ajaran yang Namira berikan, harus membuat Evans penasaran, dan balik mengejarnya. Begitu kata Namira jika ingin tahu apakah Evans juga menyukainya atau tidak.

"Iya, udah dari tadi sih. Paling sebentar lagi balik." Fadil meninggalkan Adistia sebentar karena ada pelanggan yang akan memesan. Lalu tidak berapa lama, pemuda itu kembali mendekatinya setelah selesai melayani pelanggan.

"Mau minum apa?"

"Apa aja, yang penting bukan kopi." Adistia menjawab sembari melirik ponselnya yang bergetar, pesan Evans kembali masuk. Sebenarnya dia sudah tidak tahan ingin membalas, tetapi Adistia berusaha untuk menahannya.

"Cokelat dingin mau?" tanya Fadil, dan langsung membuatkan apa yang ditawarkannya saat dilihat gadis itu mengangguk. Pemuda itu juga diam-diam mengirim pesan pada Evans jika gadis yang ditunggunya sudah datang.

"Ke mana aja kamu baru keliatan? Nggak sadar ada yang rindu?" Fadil mengatakan itu sembari meletakkan gelas berisi cokelat dingin ke depan Adistia.

Respon yang Adistia berikan tentu saja bingung, tidak paham dengan apa yang Fadil maksud. "Siapa yang rindu?"

"Yang jelas bukan mesin kopi." Fadil terkekeh ringan. "Bukan gue juga loh."

Adistia berdecak malas, lalu tersenyum, dikiranya Fadil sedang bercanda.

"Gue serius, loh, Dis," ujar Fadil lagi, Adistia masih tampak tidak tertarik dengan kalimatnya yang dianggap tidak serius. "Dua hari ini bos uring-uringan terus."

"Mas Evans?" Adistia tampak ragu saat menanyakan itu, padahal jelas bos di tempat ini hanyalah laki-laki itu. "Kenapa dia? Berlian masih gangguin?" Adistia pikir setelah kejadian itu Berlian akan berhenti mengacau.

Fadil malah terkekeh geli melihat ekspresi polos yang gadis di depannya berikan. "Berlian nggak pernah datang lagi semenjak kejadian itu," katanya dengan senyuman.

Wajah Adistia seketika memerah saat sadar kejadian yang membuat salah paham hari itu dilihat beberapa orang termasuk Fadil. "Oh, syukurlah," katanya sembari menyedot cokelat dalam gelas untuk menutupi rasa gugup dan malu yang hadir.

"Dan setelahnya Mas Evans terus uring-uringan. Mau tahu karena apa?" Fadil sengaja sekali membuat Adistia penasaran.

"Karena apa memangnya?"

"Karena kangen sama kamu." Adistia langsung menyemburkan cokelat dari mulutnya, terbatuk-batuk, lalu menatap Fadil yang tertawa geli. 

Ini sungguhan atau Fadil sedang mengerjainya? Tanpa keduanya sadari jika orang yang sejak tadi mereka bicarakan sudah berdiri di depan pintu kedai, hanya mematung, seolah-olah takut untuk sekadar masuk. Entah apa yang Evans pikirkan saat itu, tetapi yang jelas wajah kusut laki-laki itu langsung bersinar saat matanya melihat sosok Adistia yang sedang berinteraksi dengan Fadil.

*

Evans yang sudah mematung selama beberapa menit akhirnya memutuskan untuk masuk. Mendorong pintu kedai dengan perasaan gugup. Dia baru saja bertemu dengan orang untuk membicarakan tentang kelanjutan rencana untuk membuka cabang baru berupa kedai mini. Banyak hal yang harus diurus sebelum itu terealisasi. Karena terlalu antusias untuk bertemu dengan Adistia, bahkan Evans menjadi kurang fokus dalam obrolannya tadi. Laki-laki itu pikir Adistia akan datang siang atau sore hari, tetapi nyatanya gadis itu malah datang malam hari saat dia tidak ada. Ada rasa kecewa yang diam-diam masuk ke hati Evans karena pertemuannya dengan Adistia malam ini hanya akan berjalan singkat.

"Lo mah, Dil, nggak usah ngaco kalau ngomong." Satu kalimat yang sempat Evans tangkap dari bibir Adistia sebelum akhirnya gadis itu menyadari kehadirannya.

"Akhirnya yang ditunggu dateng," celetuk Fadil dengan senyuman yang Evans tahu apa maksudnya. Tidak memedulikan godaan yang pegawainya berikan, Evans langsung menyapa Adistia dan duduk di bangku tanpa lengan samping gadis itu.

"Udah lama?" tanya Evans sembari meminta tolong Fadil yang sudah menjauh untuk mengambilkan sebotol minuman kemasan dingin.

"Baru kok, Mas," jawab Adistia dengan senyuman ceria seperti biasa, tetapi entah megapa gadis itu tidak mau menatap matanya. Apa gadis ini marah padanya karena kejadian hari itu?

"Hari ini banyak pesanan kuenya?" Evans membuka botol minuman yang Fadil beri, meminumnya, lalu kembali menatap wajah Adistia yang entah mengapa terus bergerak ke arah lain.

"Lumayan." Mata itu sekilas menatapnya, tetapi langsung terlempar ke arah lain lagi.

Evans mengangguk, mendadak bingung dengan interaksi aneh yang terbangun ini. Lalu saat mengingat apa yang Fadil usulkan kemarin, laki-laki itu mulai membicarakan tentang bisnis yang ditawarkannya pada Adistia.

"Aku rencananya mau tambah menu baru. Dan kayaknya, beberapa kue buatan kamu cocok untuk aku masukkan ke dalam menu." Evans memulai, dan saat kalimat itu meluncur, mata hitam Adistia menatapnya.

"Beneran Mas Evans mau kue aku masuk ke daftar menu?" Gigi gingsul itu akhirnya terlihat, Evans ikut mengembangkan senyum sembari mengangguk.

"Paling untuk pertama kali, coba dua menu dulu. Aku mau cheesecake sama pancake yang kemarin kamu buat."

Adistia mengangguk senang, tentu saja hal ini akan sangat menguntungkannya. "Jadi mulai kapan?"

"Nanti aku buat perjanjian kerja samanya dulu, ya."

"Oke," jawab Adistia penuh antusias sembari meminum cokelatnya yang tinggal setengah. Lalu gadis itu mengambil ponselnya untuk mengetikkan pesan entah pada siapa. Momen yang Evans pergunakan untuk mengamati wajah manis Adistia. Diam-diam laki-laki itu tersenyum, ada debar lembut yang menelusup masuk ke dasar hatinya. Apalagi saat rambut panjang Adistia menjuntai sedikit berantakan menutup pipi karena gadis itu gerai, hampir saja tangan Evans menyelipkan rambut itu ke belakang telinga. Beruntung tangan gadis itu sudah sigap menyelipkan rambutnya sendii ke belakang telinga. Evans menghela napas, merutuk diri yang mulai bersikap aneh. Menoleh ke arah Fadil, ternyata pegawainya itu melihat setiap gerak-geriknya, melempar kunci mobil untuk menghentikan aksi Fadil yang memata-matainya, pemuda itu malah tergelak. Adistia bahkan sampai menengok kaget.

"Kenapa?" tanya gadis itu dengan wajah polos yang semakin terlihat menggemaskan di mata Evans.

"Nggak papa, Fadil lagi kumat." Evans segera bangkit, beralasan ke toilet, padahal laki-laki itu sedang menahan gejolak aneh yang terus melingkupi hatinya. Masih enggan mengakui ketertarikan yang tengah dirasakannya. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang