Bab 17. Tentang Mutiara

78 20 25
                                    

"Sebenarnya ini kue favorit aku." Setelah terdiam cukup lama, Evans akhirnya menyuarakan apa yang kini dirasakannya. "Dulu Mutia sering membuat kue seperti ini setiap kali kami punya acara istimewa."

Adistia yang mendengar penjelasan itu akhirnya paham jika tidak ada yang salah dengan kuenya, tetapi kenangan masa lalu Evans kembali terungkit setelah melihat cheesecake yang dibawanya.

"Maaf, aku nggak tahu."

"Nggak papa, bukan salah kamu." Evans mencoba menetralkan hatinya yang mendadak terasa sesak oleh perasaan rindu yang selama ini dipendamnya untuk sang istri. Tidak biasanya juga dia menunjukkan perasaan ini kepada orang lain. Evans terbiasa memendam kesedihannya seorang diri, tetapi entah kenapa di hadapan Adistia dia tidak merasa canggung sama sekali saat harus menunjukkan sisi rapuhnya.

"Aku coba, ya." Adistia mengangguk, memerhatikan raut wajah Evans saat mulai menikmati kuenya. Raut sendu yang masih terlihat kini berbaur dengan senyum simpul yang laki-laki itu tunjukkan. Kali ini Evans terlihat seperti baru saja menemukan seseorang yang ingin sekali ditemuinya. Laki-laki itu menikmati kue buatannya, tetapi Adistia malah merasa tidak senang. Andai tahu kue ini mengingatkan Evans pada mendiang istrinya, maka tadi dia akan membawa kue yang lain.

"Enak." Komentar yang Evans berikan setelah menyuap sepotong kecil kue keju itu ke mulutnya. "Kamu berbakat juga ternyata."

Adistia yang mendapat pujian seperti itu langsung tersipu. "Makasih."

"Gimana pelanggan? Sudah mulai bertambah lagi?"

"Alhamdulillah, banyak pelanggan lama yang mulai rekomendasiin ke orang lain juga."

Evans menganggukkan kepalanya, ikut senang mendengar usaha Adistia memiliki perkembangan. "Yang penting rasanya konsiten, jangan sampai berubah hanya karena laku."

Adistia setuju dengan kalimat itu, dia akan mempertahankan kualitas kuenya meski nanti memiliki banyak pesanan.

"Kamu udah makan?" Evans melirik arloji silver di tangannya yang sudah menunjuk pukul lima sore.

Adistia bingung mendapatkan pertanyaan itu. Makan apa yang sebenarnya Evans tanyakan? Makan siang tentu saja sudah, makan malam biasanya gadis itu lakukan bersama ayah dan bundanya selepas magrib nanti.

"Sebelah ada kedai soto mie baru, aku ajak kamu buat cobain." Evans bangkit, meminta karyawannya untuk menyimpan kue yang tadi Adistia bawa, lalu mengajak gadis itu beranjak ke tempat yang dibicarakannya tadi.

*

"Suka soto mie, kan?" tanya Evans setelah keduanya duduk di kedai soto mie yang terlihat cukup ramai selama masa pembukaan. Ada diskon yang ditawarkan, jadi tidak heran banyak yang tertarik. Untuk rasa, Evans baru kali ini mencobanya setelah buka selama tiga hari, jadi belum bisa berkomentar.

"Suka, Mas, soto apa saja suka." Adistia mengedar pandang pada pengunjung yang entah kebetulan atau bagaimana semuanya berpasangan.

"Dapat diskon kalau bawa pasangan." Evans seperti tahu pikiran Adistia, dan mengedikkan dagu ke arah banner yang menunjukkan berbagai macam jenis promo. Ada promo pasangan juga keluarga di hari berbeda. Khusus hari ini, ada promo dapat minuman gratis jika memesan satu paket soto untuk pasangan. Promosi yang cukup unik.

"Cara promosinya cukup menarik," gumam Evans, pemikirannya ternyata sama dengan yang Adistia pikirkan.

Adistia yang mendengar itu hanya tersenyum, lalu segera mengalihkan perhatian saat soto yang mereka pesan sudah terhidang di meja. Dua es jeruk juga sudah diletakkan di samping mangkuk soto mie yang mengepulkan asap. Aroma gurih dan segar langsung membuat keroncongan, perut yang sejak tadi belum merasa lapar mendadak berdemo meminta untuk segera diisi.

"Soto mie ini dulu makanan favorit Mutia." Kalimat tersebut membuat rasa nikmat soto yang baru masuk ke mulut Adistia mendadak terasa hambar. Ada apa dengan Evans hari ini? Kenapa semua hal mengingatkan laki-laki ini pada mendiang istrinya? Namun demi menghargai Evans, Adistia menunjukkan antusias. Lagipula dia memang perlu tahu bagaimana sosok istri Evans. Ini juga demi kepentingan dirinya yang ingin mendekati Evans.

"Hanya soto mie, atau makanan berkuah?" tanya Adistia sembari menatap wajah Evans yang menunjukkan senyum penuh antusias saat mulai bercerita tentang istrinya.

"Hampir semua makanan berkuah sebenarnya. Dia itu suka asin, nggak terlalu suka sama masakan manis."

"Wah, sama kayak aku dong, Mas. Banyak yang heran karena aku orang jawa, tapi suka makanan asin."

"Oh ya?"

Adistia mengangguk. "Makanan manis, kayak gudeg, bacem gitu aku kurang suka. Makanya bunda kalau masak suka dua jenis. Yang dimanisin buat ayah, karena beliau suka manis, lalu buat aku yang belum dikasih kecap."

"Mutia juga nggak terlalu suka sama kecap. Dia sama kayak kamu gitu." Evans mengedik ke arah mangkuk Adistia yang hanya diberi sambal serta perasaan jeruk nipis, makan bakso pun seperti itu hanya menggunakan sambal.

"Kalau pakai kecap rasanya lain jadinya Mas."

Evans tersenyum. "Pas aku komentarin dia juga ngomong persis kayak kamu gitu."

Adistia tidak tahu harus senang atau sedih mendengar dirinya memiliki kesamaan dengan Mutia. Senang karena mungkin persamaan ini bisa mempermudah dirinya untuk menyita perhatian Evans. Namun, dengan begitu bukankah dia tidak akan dipandang sebagai dirinya sendiri? Bayang-bayang istri Evans akan terus menghantuinya.

"Terus, apalagi yang istri Mas suka?" tanya Adistia ingin tahu lebih banyak tentang Mutiara. Bukan untuk meniru kebiasaan wanita itu, tetapi untuk menghindarinya jika mereka kembali memiliki kesamaan lagi. Dan mengalirlah cerita panjang lebar tentang Mutiara. Orang-orang yang tidak mengenal Evans pasti akan mengira jika laki-laki itu sudah terbiasa dengan tanpa beban menceritakan perihal istrinya, tetapi untuk yang mengenal betul laki-laki ini tentu saja akan heran. Heran karena Evans sesungguhnya bukanlah orang yang mudah menceritakan kehidupan pribadinya pada orang lain. Jadi, laki-laki itu pun sebenarnya bingung dengan dirinya yang bisa bersikap aneh seperti itu hanya dihadapan Adistia.

*

"Dia bucin banget sama istrinya," keluh Adistia saat sudah berada di rumah. Gadis itu langsung menghubungi Namira untuk menceritakan apa yang terjadi hari ini.

Terdengar suara berisik dari seberang, Namira mengatakan baru saja sampai di rumah. "Kan, Mas Arman udah bilang dia itu memang bucin banget. Makanya pas dia dimintain buat nyari ide nama kedai langsung kepikir nama itu."

Arman memang sudah mengatakan jika Evans sangat mencintai istrinya, dan juga berjanji untuk tidak membuka hati pada gadis mana pun. Akan tetapi, meski sudah mengetahui hal itu, Adistia tetap saja kecewa.

"Gue pikir nggak sedalem itu." Adistia yang tengah tiduran telentang di kasur menatap langit-langit kamarnya yang dicat biru langit.

"Terus lo mau mundur gitu?" Suara Namira terdengar jauh saat menanyakan itu, entah apa yang sedang sahabat Adistia itu lakukan.

"Menurut lo gue mesti gimana?" Adistia bingung apakah harus melanjutkan perjuangannya, atau berhenti di sini saja sebelum kecewa lebih dalam.

"Ya kalau gue sih, terserah lo aja, maunya gimana. Kalau lanjut gue dukung, mundur uga nggak papa." Perkataan Namira tidak lantas membuat Adistia menemukan jawaban. "Udah nggak usah dipikirin lagi, mending biarin aja semuanya mengalir kalau memang bingung."

Adistia mengangguk meski tahu Namira tidak akan melihat gerakan kepalanya.

"Gue tutup dulu, ya. Mau mandi." Adistia segera mengiyakan, dan memutus sambungan telepon. Saat itu juga satu pesan masuk, itu dari Evans.

Mas Evans : Kuenya kata mama enak, beliau sampai bilang kalau kamu itu mantu idaman.

Ada emoticon tawa yang Evans ketikan di belakang kalimatnya itu. Evans sungguh keterlaluan, tidak sadar jika ketikan yang dianggap gurauan itu tengah mengobrak-abrik perasaan anak gadis Bapak Gunardi.  

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang