Adistia masih mematung di tempatnya saat Evans menarik wajah. Tatapan keduanya sempat beradu, sebelum Evans yang memutus terlebih dulu. Dari balik wajah Adistia, laki-laki itu mengintip keberadaan seseorang yang diyakininya sebagai orang suruhan Berlian.
Evans menarik tubuhnya mundur dengan gugup yang merajai saat dilihatnya wajah Adistia tampak syok karena perbuatannya. "Maaf," bisiknya sembari berdeham, lalu melirik ke sekitar di mana beberapa orang yang ada di sana kini tengah menahan senyum.
Ada Fadil, dan dua karyawan lainnya yang ternyata juga menyaksikan. Sial, Evans baru menyadari jika tindakannya tadi sungguh gegabah.
Adistia yang sejak tadi seperti kehilangan kesadarannya seolah-olah tersentak oleh satu kata maaf yang Evans luncurkan. Ciuman tadi-astaga, rasanya Adistia ingin menenggelamkan tubuhnya ke dasar bumi saat ini juga.
Jangan bayangkan ciuman yang mendarat ke bibirnya tadi adalah ciuman sesungguhnya. Masih sama seperti yang pernah Evans lakukan saat menciumnya di kening kala itu. Jika hari itu ada telapak tangan, maka kali ini ada jari laki-laki itu yang menghalangi. Namun meski begitu efeknya mampu membuat Adistia merasa bingung, juga syok.
"Tadi ada orang suruhan Berlian yang bawa kamera." Evans menggedikkan dagu ke arah bangku kosong di sudut kafe karena orang yang dicurigainya tadi sudah pergi.
Demi menetralkan perasaannya yang masih tidak keruan, Adistia menoleh ke belakang. Lalu mengangguk, tersenyum tipis, memberikan isyarat pada Evans jika dia memahami apa yang terjadi tadi.
"Sekali lagi aku minta maaf." Evans sungguh merasa bersalah, juga menyesal jika semua ini sampai membuat Adistia merasa dirinya kurang ajar. Dan lagi, kenapa jantungnya juga ikut berulah?
Tadi itu hanya akting, dan bibir mereka tidak benar-benar bersentuhan. Meski dari tempat lain tidak akan terlihat seperti itu. Apalagi dari posisi laki-laki yang mengambil gambarnya tadi, tentu saja akan terlihat jika Evans benar-benar mencium bibir Adistia.
"Nggak papa, Mas." Adistia memaksakan tawa hambarnya keluar, masih bersusah payah untuk menetralkan debar jantungnya. "Tadi Mas Evans, kan, udah jelasin."
Evans mengerjab, iris birunya mencoba menyelidik sorot yang kini Adistia tunjukkan. Gadis itu masih terlihat syok dengan perlakuannya tadi.
"Emm, aku." Adistia menggaruk lehernya canggung, sikap Evans yang mendadak menunjukkan rasa bersalah membuatnya tidak nyaman. "Kayaknya aku harus pulang sekarang. Masih ada beberapa banner promo yang harus aku posting." Entah itu alasan masuk akal atau tidak, yang jelas Adistia membutuhkan waktu untuk kabur sejenak.
"Kalau gitu aku antar pulang." Evans sudah berdiri sembari menutup laptopnya.
"Kayaknya nggak usah Mas, aku janjian sama Namira dulu soalnya." Adistia menghela napasnya sembari berdiri.
Evans yang paham situasi hati Adistia segera menganggukkan kepala, lalu mengantarkan gadis itu hingga keluar dari pintu kedai. Kembali mengumpat kesal, kali ini pada dirinya sendiri yang dirasa sudah gegabah. Hanya bisa berharap hal tadi mampu membuat Berlian benar-benar menyingkir dari kehidupannya. Karena kalau tidak, sungguh semuanya berjalan sia-sia.
*
Sementara di salah satu kamar dengan nuansa pastel itu suara ribut terdengar dari dalamnya. Seorang gadis yang masih mengenakan dress ketat berwarna merah tengah membanting semua barang yang ada di atas meja riasnya.
Tidak peduli dengan jajaran skin care mahal yang mungkin saja bisa pecah, juga tidak peduli dengan deretan parfum yang sudah tumpah dan berceceran di mana-mana. Belum puas mengacak-acak meja riasnya, kini semua benda yang dekat dari jangkauannya melayang ke segala arah.
"Evans sialan!" teriaknya dengan wajah basah oleh air mata. Dia tergugup dalam kamarnya yang sengaja dibiarkan temaram.
Dada Berlian naik turun karena luapan emosi, bahkan setelah mengacaukan kamarnya, perasaan tidak terima itu masih saja mengacaukannya. Foto yang baru saja terkirim di ponselnya adalah sumber dari kemarahan yang kini dirasakannya.
Berlian pikir, Evans tidak berani menjalankan tantangan darinya. Apalagi setiap kali laki-laki itu mengatakan jika tidak akan pernah lagi membuka hati untuk gadis lain. Namun kenapa semuanya goyah hanya karena seorang gadis bernama Adistia!
Apa bagusnya gadis itu jika dibanding dirinya? Tidak bisa berdandan dengan baik, tidak bisa memadu padankan busana, wajahnya juga biasa-biasa saja. Belum lagi tubuhnya yang kurus kerempeng itu. Apa yang membuatnya mampu menarik perhatian Evans?
Berlian kembali berteriak marah, meluapkan emosi yang tidak juga menghilang. Apa Evans benar-benar berhubungan serius dengan gadis itu? Tidak, ini tidak boleh terjadi!
*
Evans berulang kali mengusap wajahnya setiap kali ekspresi syok Adistia teringat jelas di kepalanya. Gadis itu, apakah dia marah? Evans masih menyesali apa yang terjadi. Dan lagi, dadanya masih saja berdebar setiap mengingat momen di mana kedua mata mereka beradu tadi.
Bisa Evans lihat sorot lembut yang Adistia tunjukkan, ada sebuah ketulusan di sana, bercampur dengan keterkejutan yang-bibir Evans tanpa sadar tersenyum. Cara Adistia melebarkan mata tadi sungguh menggemaskan.
Ah tidak! Laki-laki itu segera mengacak rambutnya saat tidak seharusnya dia mengagumi Adistia seperti ini. Evans memilih bangkit dari kursi meja kerjanya, melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruangan. Mengambil satu botol air mineral dingin, mungkin ini bisa mengembalikan kewarasannya walaupun hanya sedikit.
Evans tersedak saat pintu ruangannya tiba-tiba saja didorong dengan begitu keras. Pelakunya siapa lagi jika bukan gadis pengacau yang Evans harap mau mundur setelah melihat tantangan itu telah dilakukan.
"Aku salut sama Mas Evans." Berlian berjalan tenang, lalu menarik satu kursi di depan meja kerja Evans untuk duduk. "Aktingnya luar biasa."
Evans mengelap mulut dan hidungnya yang terasa panas, lalu ikut duduk di kursi seberang Berlian. "Akting apa maksud kamu?"
Berlian mendengkus dengan senyuman miring. "Nggak usah berlagak nggak paham."
"Itu tantangan dari kamu, dan aku udah buktiin kalau itu bukan masalah besar." Evans bersikap sangat tenang saat ini, membuat lawan bicaranya sangat geram.
Berlian yang mengingat kembali bagaimana Evans tampak menikmati ciuman itu dari foto yang dilihatnya kembali merasakan darahnya yang mendidih, tetapi sekuatnya gadis itu tahan.
"Aku dan Adis sepasang kekasih, apa yang susah hany dengan berciuman bibir?" Evans terlihat begitu santai, tanpa gadis di depannya ketahui jika perasaannya kembali kacau saat ini.
Berlian mengangguk pelan, lalu memberikan senyuman tipis. "Oke, aku percaya."
Evans sampai mendongakkan kepala saat mendengar tiga kata itu. Berharap ada kalimat lanjutan yang bisa memuaskan perasaannya.
"Dan aku bakalan mundur," ujar Berlian dengan ekspresi sedih. Entah itu sungguhan, atau hanya akting. "Aku harap Mas bisa bahagia dengan pilihan Mas kali ini." Setelahnya gadis itu bangkit, dan meninggalkan ruangan Evans.
Evans yang masih tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu hanya mematung di tempatnya. Itu tadi benarkah Berlian?
Laki-laki itu segera bangkit, mengikuti langkah Berlian yang sudah sampai di pintu. Benar, Berlian melangkah pergi dengan langkah cepat, tidak lagi menoleh ke belakang.
Tanpa sadar bibir Evans tersungging puas, dan refleks dia mengambil ponsel untuk menghubungi Adistia. Namun saat mengingat kejadian tadi Evans langsung mematikan sambungan sebelum diangkat oleh orang di seberang.
Sebaiknya untuk sementara waktu dia tidak menganggu Adistia. Yang terpenting untuk saat ini adalah Berlian sudah memutuskan mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. COFFEE and Miss COOKIE
RomanceEvans membutuhkan pacar pura-pura untuk menyingkirkan satu pengacau di hidupnya dan fokus pada kedai kopinya. Adistia membutuhkan pacar pura-pura untuk membatalkan perjodohan yang ayahnya atur dan fokus pada bisnis kuenya. Keduanya saling tertarik...