Bab 3. Mencari Pacar Pura-pura

133 26 21
                                    

"Menurut lo gue harus gimana?" tanya Evans pada Arman, sahabat tempat biasa dirinya berkeluh kesah untuk hal-hal yang memerlukan pertolongan. Evans baru saja menceritakan apa yang terjadi di pertemuannya dengan Berlian kemarin. 

Arman, laki-laki berkulit hitam manis yang tengah memainkan cangkir kopinya itu tampak berpikir. "Cuman ada dua opsi," katanya sok serius. Karena biasanya Arman ini paling tidak bisa diajak serius. Mungkin kali ini dia tahu kondisinya sedang sangat genting untuk Evans. Kesempatan untuk mengempaskan penganggu macam Berlian tidak datang dua kali. Maka saat ada kesempatan harus dipergunakan sebaik mungkin. 

"Apa itu?" 

"Lo cari pacar beneran, atau pacar pura-pura." Arman menyesap kopi hitamnya sembari menatap Evans yang kali ini tampak berpikir. 

"Opsi pertama nggak mungkin," jawab Evans tegas. Laki-laki bertubuh jangkung itu sudah bersumpah untuk tidak jatuh cinta lagi semenjak istrinya meninggal akibat kecelakaan. 

Arman mengangguk paham, lalu mengeluarkan rokok dari saku kemeja kerjanya. Belum sempat pulang selepas bekerja karena Evans menyuruhnya langsung ke kedai tadi. 

"Ya sudah, lo cari aja pacar pura-pura kalau gitu," ujar Arman enteng sembari menyalakan gulungan nikotin di tangannya. 

"Terus apa gunanya lo di sini kalau gue harus nyari sendiri? Lo tahu lingkup pertemanan gue." Orang-orang yang Evans kenal saat ini tidak mungkin dijadikannya sebagai kandidat calon pacar pura-pura. Sementara laki-laki itu tahu lingkup pertemanan Arman lebih luas, belum lagi dari tunangannya yang juga Evans yakin bisa membantu. 

Arman menjentikkan bara di ujung rokoknya sembari berpikir. Pertemanannya memang banyak, tetapi siapa yang bisa dijadikan pacar pura-pura?

"Kalau dia minta dibayar juga nggak masalah," ujar Evans sembari menghalau asap rokok yang melintas di depan wajahnya. Udara panas di depan kedai dengan asap rokok sungguh hal yang tidak disukainya. Jika saja tidak sedang membutuhkan pertolongan Arman, sudah ditinggalkannya laki-laki ini untuk menikmati racun itu sendiri. 

"Nantilah gue cari, gue tanyain ke cewek gue juga siapa tahu dia ada."

"Jangan lama-lama, gue butuh minggu depan."

Arman malah menyeringai dengan gaya menyebalkan. "Kenapa nggak open BO aja dari pada pusing-pusing?" 

"Mau gue hajar lo?"

"Ampun bos." Arman tergelak, tentu saja dia hanya bercanda tadi. 

"Minggu depan udah harus ada, gue nggak mau tahu." Evans yang sudah tidak tahan dengan bau asap rokok segera bangkit dan masuk ke dalam kedai. 

*

Sementara hari berikutnya, di sebuah kafe tempat biasa Adistia dan sahabatnya nongkrong, terjadi juga pembahasan yang nyaris serupa. 

"Gue mesti gimana, Mir?" Adistia sungguh pusing dua hari ini. Memikirkan orang yang bisa dibawanya untuk menemui sang ayah. Tidak mungkin bukan, dia memungut sembarang orang dan diakuinya sebagai pacar?

"Lagian, sih, lo ngapain nekad gitu? Sok-sokan bilang udah punya pacar." Namira menggelengkan kepalanya dengan gaya dramatis. Padahal jika dia ada di posisi Adistia, mungkin akan sama bingungnya. 

"Terus lo pikir gue punya cara lain gitu?"

"Enggak," jawab Namira sembari tertawa kecil, lalu mengaduh saat jemari Adistia mencubit lengannya. 

"Serius, Mir, gue mesti gimana?" Waktu yang ayahnya berikan sudah berkurang dua hari dan Adistia belum menemukan solusi. 

"Kalau nggak cari pacar beneran, ya, solusi lainnya lo sewa pacar." Namira menyedot jus alpukatnya. 

"Memang ada tempat buat nyewa pacar? Lewat online gitu? Aman nggak tapi?" 

Namira kembali tertawa melihat wajah polos Adistia saat menanyakan hal tersebut. "Mana gue tahu?"

"Lah terus gimana?" Adistia gemas sendiri dengan tingkah Namira yang terlalu santai dalam menanggapi masalah gentingnya. 

"Sebenarnya bukan lo seorang yang punya permasalahan kayak gini," ujar Namira sembari mengeluarkan ponselnya. 

"Maksudnya?" tanya Adistia penasaran, gadis yang mengikat rambut sepunggungnya menjadi satu ke belakang itu sampai melongok layar ponsel Namira. Yakin jika sang sahabat memiliki solusinya di benda pipih itu. 

"Mas Arman juga sebenarnya lagi nyari."

"What? Arman nyari pacar pura-pura?" Tentu saja Adistia syok karena status Namira dan Arman adalah tunangan. 

"Ya enggak gitu." Namira yang gemas menoyor pelan kepala Adistia dengan telunjukknya, lalu tertawa geli saat gadis itu mendesis kesal. 

"Temennya yang nyari," ujar Namira lagi sembari menyorongkan ponselnya yang kini menunjukkan foto Arman dengan seorang laki-laki berwajah bule. "Tipe lo banget itu, muka bule tapi asli orang Indonesia." 

Senyum Adistia langsung merekah, memiliki suami berwajah bule adalah salah satu kriteria yang dimilikinya. Itu kenapa setelah putus dari Bisma, Adistia masih betah melajang karena belum menemukan apa yang diinginkan. Terdengar terlalu muluk mungkin, tetapi Adistia merasa tidak ada salahnya bermimpi. Dan kali ini mungkin dia bisa mewujudkannya meski hanya sebatas pacar pura-pura. 

"Jangan salah liat, yang paling ganteng punya gue."

Adistia hanya mendesis malas sebagai respon, lalu memperbesar layar ponsel agar bisa melihat dengan jelas wajah teman Arman. Berwajah blasteran, tingginya di atas rata-rata seperti orang bule pada umumnya. Arman yang memiliki tinggi 170cm lebih saja terlihat pendek saat berangkulan bahu dengan laki-laki ini. Sebenarnya jika diperhatikan cukup tampan, tetapi berewok yang menghiasi wajahnya itu sedikit menganggu. 

"Namanya Evans, usianya kira-kira 35 tahunan, seumuran Mas Armanlah," ujar Namira. Adistia menoleh sejenak saat sang sahabat memberikan informasi tersebut, sebelum iris hitamnya kembali memerhatikan wajah laki-laki di layar ponsel milik Namira. 

"Jadi beneran dia lagi nyari pacar boongan?" 

"Kata Mas Arman, sih, gitu."

Adistia tampak menimbang sebelum berujar, "Kalau gitu lo pastiin lagi ke Arman."

Namira menatap ragu Adistia, sebenarnya dia takut mendapat akibat buruk untuk bantuan yang diberikannya ini. "Kalau nanti ketahuan sama bokap lo gimana?"

"Asalkan lo nggak bocorin nggak bakalan ketahuan."

"Tapi jangan bawa-bawa gue, ya, kalau ini jadi masalah!"

"Heem," ujar Adistia tidak hanya berbasa-basi, dia tidak akan menarik Namira ke dalam masalahnya jika sampai rencananya ini gagal. "Lagian memangnya lo mau gue nikah sama Bisma?"

"Ya kalau bisa, sih, jangan," ujar Namira yang tahu betul bagaimana akhir dari kisah cinta Adistia dengan laki-laki itu. Apalagi saat sampai sekarang Bisma masih berhubungan dengan gadis yang Adistia curigai sebagai selingkuhan Bisma. Meski kenyataannya mereka tidak selingkuh, masih berhubungan dengan penganggu tetap saja bukan hal yang bisa dibenarkan. 

"Ya udah gue coba tanya Mas Arman dulu, ya."

Adistia mengangguk dengan senyuman lebar, menampakkkan gigi gingsul di sebelah kanannya. Sembari menunggu Namira menghubungi Arman dengan ponselnya yang lain, Adistia kembali mengamati wajah di foto. Entah hanya perasaannya saja, atau memang wajah laki-laki ini seperti tidak asing di matanya. Di suatu tempat, dan di waktu yang cukup lama, Adistia seperti pernah bertemu dengan sosok ini. Adistia memperbesar foto itu lagi hingga mata kebiruan laki-laki itu tampak jelas. Jantung Adistia tiba-tiba saja berpacu sedikit cepat saat warna mata itu mengingatkannya pada satu sosok yang selalu ingin ditemuinya kembali. Mungkinkah ini dia?

***

Terima kasih banyak buat yang udah mampir dan kasih voment. Semoga cerita ini bisa menghibur kalian....  :)

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang