Bab 22. Gadis pengantar kue

69 19 25
                                    

Berlian baru saja selesai melakukan proses pengambilan video untuk mempromosikan parfum yang menyewa jasa endorse-nya sebagai selebgram. Gadis yang hari ini mengenakan softlens dengan warna abu-abu itu langsung menerima panggilan di ponselnya yang sudah berdering sejak tadi. Tertera nomor asing yang tidak perlu ditanyakan dari siapa karena telepon ini sudah ditunggunya sejak tadi.

"Gimana?" tanya gadis itu pada sang pemanggil sembari memeriksa make up-nya dari kaca kecil yang selalu dibawa ke mana pun.

"Masih datang setiap hari, Mbak." Jawaban yang diberikan laki-laki di seberang sedikit membuat Berlian geram karena berita yang dibawa selalu sama, meski orang yang dikirimnya untuk mengintai Evans berbeda setiap hari.

"Kirim videonya." Setelah mengatakan itu Berlian pun memutus sambungan secara sepihak. Tidak lama kemudian sebuah pesan berisi teks dan video masuk ke ponselnya.

'Mereka hari ini mengobrol di ruangan pribadi Pak Evans, saya pasang kamera kecil dari luar jendela.'

Berlian pun mulai memutar video yang ditampilkan. Darahnya seolah-olah mendidih saat melihat setiap adegan yang tertampil di sana. Meski tidak terkesan romantis, tetapi interaksi yang Evans dan gadis bernama Adistia bangun itu mampu membuatnya iri. Bagaimana cara Evans tersenyum, lalu tertawa, dan cara pandang laki-laki itu, hampir serupa dengan cara pandang Evans ke Mutia dulu.

Berlian nyaris membanting ponselnya jika tidak mengingat benda pipih itu baru saja dibelinya kemarin. Untuk melampiaskan kekesalaan Berlian membanting kaca kecil di tangannya. Kebiasaan Berlian memang akan membanting sesuatu saat kesal, biasanya rasa kesalnya akan sedikit mereda, tetapi tidak untuk kali ini. Sekali lagi memutar video tersebut untuk mencari celah yang bisa digunakannya untuk menghibur diri, yang ada emosinya semakin memuncak saat di ujung video Evans tampak ingin mengusap kepala Adistia. Lalu video terpotong di bagian itu karena tirai jendel tiba-tiba saja bergoyang entah terkena angin atau apa hingga menutupi kamera.

Orang-orang di sekitar Berlian yang sudah tahu tabiat gadis itu tidak ada yang berani mendekat jika gadis itu sudah menunjukkan gelagat penuh emosi. Apalagi sampai sudah melempar barang, itu artinya Berlian tidak bisa didekati. Bahkan asisten yang tadi disuruhnya untuk membelikan air langsung mematung di tempat.

"Mana air!" Baru saat teriakan itu menggema gadis dengan kaca mata tebal itu langsung mendekat dengan sorot takut.

"Winda!" teriak Berlian lagi kali ini memanggil sang manager yang mengatur jadwalnya. "Batalin jadwal gue hari ini, gue ada urusan mendadak." Berlian bangkit dari kursinya sembari menenteng air mineral dalam botol juga tas kecilnya.

Manager yang dipanggil Winda tadi hanya bisa menghela napas. Percuma mendebat Berlian jika sedang dalam kondisi emosi seperti ini. Yang ada nanti akan terjadi drama tidak menyenangkan jika dia berupaya menolak. Maka gadis yang sebenarnya sudah tidak betah menjadi manager Berlian itu mulai menjalankan tugasnya untuk membatalkan jadwal temu yang seharusnya Berlian datangi. Bahkan salah satunya dari orang penting di dunia model yang seharusnya bisa membantu gadis itu untuk melejitkan karir.

*

Berlian turun dari honda jazz merah yang dikendarainya. Kaki jenjang yang terbalut hells setinggi 12 cm itu menjejak pelan ke arah kedai Evans yang berdiri di depannya. Mata berhias bulu mata palsu lentik nan panjang itu sempat melirik ke ujung tempat parkir, di mana mobil Evans terparkir di sana menandakan jika laki-laki itu tengah berada di dalam.

Evans tampak sedang mengobrol dengan seorang pelanggan saat Berlian mendorong pintu masuk dari kaca itu. Sosok Evans yang kebetulan duduk menghadap ke arah pintu pun langsung menangkap keberadaannya. Berlian tersenyum manis, tetapi tidak dengan Evans yang tampak menunjukkan aura kesal. Hal yang dulu tidak Berlian pedulikan, tetapi kali ini ekspresi yang Evans berikan cukup membuatnya terganggu. Apalagi saat senyum yang laki-laki itu berikan pada Adistia muncul di kepala, rasanya Berlian ingin memaksa laki-laki itu memberikan senyum padanya.

"Si Pengantar kue sudah pulang?" tanya Berlian pada Fadil. Gadis itu sengaja tidak mendekati Evans, dia membutuhkan informasi apakah Adistia masih berada di tempat ini.

"Si Pengantar kue?" Fadil tentu saja tidak paham dengan yang Berlian maksud.

Gadis itu berdecak malas. "Yang tiap hari bawain kalian kue buat dicoba itu apalagi namanya kalau bukan Si Pengantar Kue," ujarnya angkuh.

Fadil akhirnya sadar yang Berlian maksud adalah Adistia. Beruntung gadis itu sudah Evans antar pulang sejak satu jam yang lalu sehingga tidak perlu bertemu dengan nenek lampir yang satu ini.

"BTW dia punya nama sih, Kak." Fadil bukannya tidak tahu jika usia gadis di depannya ini lebih muda satu tahun di bawahnya, seusia Adistia. Hanya saja rasanya enggan memanggil Berlian dengan sebutan nama. Gadis ini memang terlihat lebih tua dari usianya karena make up tebalnya itu. Meski terkesan cantik, tetapi seorang Fadil tidak menyukainya.

"Nggak penting juga dia punya nama atau enggak."

Fadil hanya tersenyum masam, ingin sekali pergi andai saja tugasnya bukanlah di depan mesin kopi seperti ini.

"Bos kamu lagi ngobrol sama siapa?" tanya Berlian sembari menoleh pada Evans yang masih asik dengan obrolannya. Tampak sesekali laki-laki itu tertawa kecil untuk merespon orang di depannya. Lagi-lagi Berlian merasa iri karena Evans tidak pernah bisa bersikap seperti itu saat bersamanya.

"Tamu penting, kata Mas Evans mereka mau kerja sama."

"Kerja sama apa?" Berlian mengalihkan perhatiannya pada Fadil.

"Wah kalau itu saya kurang tahu."

Berlian pun memilih beranjak untuk mendekati Evans, tidak peduli dengan peringatan yang Fadil berikan agar tidak menganggu. Namun sayangnya kesempatan Berlian untuk diperkenalkan sebagai orang dekat pada orang yang katanya penting itu tidak terlaksana karena sang tamu sudah bangkit dari kursinya sebelum Berlian sampai.

"Siapa itu?" tanya Berlian sembari duduk di depan Evans yang duduk kembali ke tempatnya setelah mengantar sang tamu ke luar kedai.

"Siapa dia bukan urusan kamu." Evans memilih duduk di bangkunya alih-alih ke ruangan pribadi. Malas berada di ruangan yang hanya berisi dirinya dan Berlian saja. Dibukanya laptop untuk memeriksa laporan keuangan yang baru saja dikirim oleh orang kepercayaannya di kedai cabang.

"Aku pikir masih ada Si Pengantar Kue, ternyata sudah pulang?" Berlian mendesngkus geli sembari menyandarkan bahu pada punggung kursi.

Awalnya Evans hanyan mengerutkan kening, tidak paham dengan orang yang dimaksud. Lalu saat sadar yang gadis di depannya maksud adalah Adistia, maka laki-laki itu berujar, "Jangan asal ngasih julukan orang. Hargai dia sebagai orang istimewa di hatiku saat ini."

Berlian berusaha untuk tidak terpancing oleh kalimat yang Evans katakan. Orang istimewa katanya? Gadis itu mengumpat kesal dalam hati.

"Orang istimewa yang setiap hari nganterin kue untuk kalian coba? Di mana istimewanya?"

Evans mendesah kecil, sebenarnya malas menjelaskan panjang lebar, hanya saja batinnya tidak terima Adistia direndahkan seperti itu. "Seenggaknya dia suka berbagi sama karyawan aku, dan bersikap baik sama yang ada di sini. Fadil dan teman-temannya sangat menyukai Adistia dan nggak nganggep dia sebagai pengantar kue saja. Di mata mereka Adistia juga istimewa."

Berlian kali ini ntidak bisa menyembunyikan aura geram di wajahnya. "Kalau kalian memang benar-benar pacaran, kenapa nggak pernah terlihat mesra?"

"Apa kami harus pamer?" Evans masih fokus pada laptopnya saat memberikan jawaban itu, berusaha untuk tidak terpancing.

"Seenggaknya buktiin kalau kalian itu memang benar-benar sepasang kekasih. Dan aku punya cara." Berlian menyeringai licik.

"Aku nggak harus ngikutin apa mau kamu, dan aku juga nggak peduli kamu mau percaya apa enggak dengan hubungan kami." Evans sebenarnya kesal karena Berlian tidak juga berhenti mengulik hubungannya dengan Adistia.

"Aku cuman mau mastiin aja. Dan kalau memang beneran kalian pacaran, aku mau lihat kamu cium dia," ujar Berlian sembari berdiri, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menantang Evans. "Di bibir." Setelahnya gadis itu melenggang pergi dengan senyum culas yang terpatri. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang