Saya mau mati rasanya.Kursi ini rasanya ingin membunuh saya, sempit sekali disini. Kaki saya mau patah.
Naleah menghela nafas dengan kesal. Mengencangkan suara headphonenya supaya tidak bisa mendengar gerutuan lelaki tua yang duduk disampingnya.
Sedari mereka sampai di dalam pesawat, Josh selalu mengeluhkan hal yang sama. Lelaki itu selalu mengeluh tentang kakinya yang sakit karena kursi di pesawat kelas ekonomi ini mau membunuhnya.
Mereka terbang dari Jerman ke Indonesia, dengan menggunakan pesawat kelas ekonomi yang hampir memakan waktu seharian suntuk. Baru terbang dua jam, lelaki tua yang duduk disampingnya itu sudah mengeluh. Dan seharian mengomel soal kakinya yang mati rasa. Semua yang ada di pesawat ini terasa salah di matanya.
Kursinya kecil, jarak antara kursi tidak ada dan filmnya juga tidak ada yang seru.
Naleah mau memukul pria tua ini sampai pingsan.
"Om, bisa berenti merengek enggak sih?"
"Tidak bisa. Kalau saja kamu mau naik bisnis atau first class kamu tidak akan mendengarkan rengekan seperti ini"
"Kenapa ini jadi salah ku? Om bisa kesana sendirian sementara aku disini."
"Tidak mungkin lah"
"Apa yang enggak mungkin? Rasain kan susah sendiri"
"Kalau kamu disini sendirian bisa-bisa kamu kabur"
"Memangnya aku anjing pakai kabur segala? Lagian mau kabur darimana? Nyari mati namanya kalau kabur dari sini"
Melompat dari pesawat yang sedang ada di langit? Memangnya dia elang?
"Kamu memang keras kepala"
"Om yang kepala batu"
Setelah berdebat, Naleah memakai hoodienya dan asik menonton. Karena diluar sudah malam dan tidak ada yang bisa di lihat dari balik jendela pesawat. Jadi satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menonton. Mau tidur pun tidak bisa karena dia sudah tidur sepanjang siang tadi.
Setelah berdebat dengan Josh, Naleah tidak lagi mau berbicara dengan lelaki itu. Karena film yang dia saksikan membosankan, tak terasa dia ketiduran. Tujuh belas jam penerbangan yang menyebalkan bersama lelaki tua yang selalu mengeluh akhirnya selesai juga ketika pesawat yang membawa mereka mendarat di Jakarta.
Naleah melihat ke luar jendela. Karena masih sore, jam tiga, jadi apapun yang dia lihat di balik jendela nampak jelas. Namun pemandangan itu tidak ada artinya karena kepalanya yang berisik.
Dadanya terasa mencekam untuk hal yang tidak mau dia pikirkan. Meskipun sudah hampir tujuh tahun dia meninggalkan tempat ini, namun rasanya seperti ada tangan tidak kasat mata yang mencengkeram jantungnya, meremasnya dan meremukkannya.
"Lele..."
Tepukan di pundaknya menghancurkan semua kekacauan di kepala dan ketika dia menoleh Josh nampak kesal menatapnya.
"Kita sudah sampai di tujuan. Mau sampai kapan kamu merenung disini?"
Naleah mengedarkan pandangan. Melihat ke belakang juga. Lorong yang tadinya desak-desakan kini nampak lapang dengan beberapa orang terakhir yang hendak turun. Koper miliknya pun sudah di turunkan dan di jejerkan bersama koper Josh di samping kursi.
"Melamun apa sih? Saya memanggil kamu ratusan kali"
"Baru ratusan, belum ribuan" gumam perempuan itu lagi.
Sembari beranjak dari tempat duduknya dan memastikan tidak ada barang yang ketinggalan, barulah mereka berdua keluar dari pesawat itu. Josh berjalan duluan di depannya dan mereka keluar dari pesawat itu.
