Bab 6 : Tangis Si Gadis

76 45 2
                                    

"Sebenernya dia itu Kalka atau bukan sih?! Tadi aja dia tahu nama Ayca, keceplosan, berarti dia beneran Kalka dong! Tapi masa dia jadi kakak kelasku, dulukan kita sekelas? Ini gimana konsepnya ya Allah, dia itu Arka yang lain atau Kalka? Huaaaa!" batin Ayana berperang, overthinking melandanya.

Lina, ibu dari Ayana menyadari anak gadisnya sedang melamun, "Kenapa, Teh. Kok keliatan murung gitu?" tanya Lina tanpa menoleh ke arah Ayana, matanya fokus ke depan karena sedang menyetir mobil.

"Eh, gak pa pa kok, Uma, hehehe," jawab Ayana sedikit kaget.

"Hmm... gimana tadi di sekolah?" tanya Lina lagi.

"Yaaa biasa aja sih, Ma, kayak biasanya aja. Eh! Enggak deng, tadi aku terlambat masuk, Uma, terus dihukum suruh ngerjain soal fisika, malu banget aku, Ma," cerita Ayana.

"Kok bisa telat? Kan tadi Uma nganterinnya masih kurang lima belas menit dari jam tujuh."

"Hehehe, panjang ceritanya, Ma."

"Bisa tadi fisikanya? Bisalah, Ayana ini!" Lina terkekeh.

"Nanya sendiri, jawab sendiri Uma ini, wkwk," Ayana ikut terkekeh.

"Lho emang gak bisa?"

"Kalo...gak bisa kenapa?" Ayana bertanya balik.

"Kamu tahulah, Nak," jawab Lina lalu menghela nafas kasar.

"Hmm...bisa kok, Ma," ucap Ayana nanar.

Lina tersenyum lega, "Alhamdulillah..."

Ayana melihat pemandangan di luar, mendung. Hatinya pun demikian, setelah mendengar pernyataan Uma. Apa Uma tidak mau membelanya? Sungguh, Ayana lelah dengan tekanan itu, tetapi ia tak bisa untuk melawan.

"Yah...gak bisa lihat senja sore ini, langitnya mendung," batin Ayana, ia selalu menantikan waktu senja, karena itu dapat mengobati sedikit rasa rindu pada laki-laki yang pernah menjadi sumber senyum dan tawanya dahulu. Arkhasya.

"Udah sampai rumah..." ucap Lina mematikan mesin mobil dan keluar.
Ayana ikut keluar dari mobil, batinnya cukup lelah hari ini. Ia sangat berharap, malam ini rumahnya ramah, tenang tanpa suara bentakan.

"Teteh masuk duluan ya, Uma masih ada barang yang harus dikeluarkan dari bagasi," Lina berjalan ke belakang mobil.

Ayana hanya mengangguk. Ia melepas sepatu lalu meletakkannya di rak sepatu. Kakinya berjalan gontai memasuki rumah luas bertingkat dua, hatinya sedikit takut, ia mencoba untuk menepis sangkaan-sangkaan buruk yang berseliweran di kepalanya.

"Assalamu'alaikum," salam Ayana dengan suara pelan. Ia berjalan cepat menuju kamarnya, tak mau berpapasan dengan sang ayah.

"KENAPA GAK DIKERJAKAN?! DITANYA ITU JAWAB!"

Belum sampai anak tangga, Ayana sudah mendengar bentakan. Ia memejamkan matanya, kaget. Dengan cepat, kakinya menaiki anak tangga.

"Teteh, sini!" panggil Hilmi, ayah dari Ayana.

Ayana terbelalak, "Mati aku...." Dia memutar badan lalu turun kembali menuju ruang keluarga. Di sana ada Aba dan adiknya, Naya yang berusia 12 tahun. Naya terduduk sambil menangis sesenggukan.

"Ini adikmu, gak mengerjakan PR-nya, gimana?" tanya Hilmi to the point.
Ayana menunduk, tak menjawab, "Lah mana aku tahu, Ba... Masa tugasnya adek aku juga yang ngurusin," protesnya dalam hati.

"Gak jawab juga. Kakak sam adek sama aja, SAMA-SAMA GAK BENER!" bentak Hilmi.
Ayana semakin menundukkan kepalanya, jantungnya berdegup kencang.

"Hiks-hiks," Naya berusaha menahan tangisnya, tapi tidak bisa.

"PR itu kewajibanmu, masa gak dikerjain? Ngapain aja coba?!" tanya Hilmi keras.

"Naya...kamu ini kenapa sih?" batin Ayana.

"Ayana! Kamu itu harus peduli sama adikmu juga! JADI KAKAK KOK GAK BECUS!"

PLAK!!

Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Ayana. Ayana meringis, masih bisa menahan tangisnya.

"HARUS BERAPA KALI LAGI DIOMONGIN? BERAPA TAMPARAN LAGI?!!" tangan Hilmi mendorong bahu Ayana kasar. Ayana terjatuh. Kali ini, ia tidak bisa membendung tangisnya. Salah apa coba?

"BUAT APA KAMU ADA DI DUNIA, KALAU GAK BISA BIMBING ADIKNYA!!" sarkas Hilmi.

PLAK!!

"Aba...udah...hiks-hiks," lirih Naya takut-takut, ia sangat merasa bersalah. Naya yang tidak mengerjakan PR, kok Ayana yang disakiti?

"DIAM KAMU!"

"Uma...hiks-hiks, kok lama banget datengnya sih..." batin Ayana.

"NANGIS TERUS! NANGIS!! CENGENG BANGET KAMU ITU, GIMANA ADIKMU GAK LETOY KAYAK GINI!!"

Ayana terus menunduk, rasanya ia seperti mau pingsan. Bayangkan, baru pulang sekolah, ingin mandi lalu istirahat karena lelah seharian belajar. Dirinya malah dibentak-bentak dan ditampar berkali-kali seperti ini.

"KERJAKAN PR ADIKMU!" Hilmi melempar buku milik Naya ke arah Ayana. Lalu, lelaki berusia 43 tahun itu pergi dari ruang keluarga dengan santainya.

"Teh... maafin Naya ya..." Naya menghampiri Ayana, ia ingin mengelus pundak Ayana, tapi Ayana tepis.

"Hiks-hiks, diam kamu!" Ayana bangkit dari duduknya, lalu mengambil buku Naya dan tasnya yang tergeletak di lantai.

"Teteh...." Naya berjalan menghampiri Ayana yang hendak menaiki anak tangga.

"Aku mau ngerjain PR-mu, gak usah ganggu," Ayana berjalan cepat menuju kamarnya.

Naya tak lagi mengikuti Ayana, ia terpaku. Ada rasa bersalah di hatinya, tapi ia tetap saja malas dalam belajar.

🌷🌷🌷

Ayana meletakkan tasnya secara asal, melepas kerudung lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Ia menangis deras dalam balutan bantal. Menjambak-jambak rambut dan memukul-mukul dadanya.

"Apa salahku, Ya Allah...? Hiks-hiks..." tamparan-tamparan tak begitu sakit baginya, yang sangat menyakiti adalah ucapan sang ayah. Dia dicap sebagai anak yang tidak becus, anak yang tidak pantas untuk lahir di dunia.

"Kalau aku gak pantes ada di sini....KENAPA AKU DILAHIRKAN? KENAPA?!!" Ayana terus menyiksa dirinya, tapi kali ini ia malas untuk mengambil silet.

"Itukan PR Naya, kenapa harus aku juga yang mengerjakan? Aku capek belajar, Ya Allah... bisakah aku bermain walau sebentar saja? Hiks-hiks..." Ayana sungguh iri pada teman-temannya yang bisa berkumpul bersama, di café misalnya, mengobrol ria di sana. Atau menonton film di bioskop, bermain di timezone, nge-mall dan sebagainya. Setiap kali dirinya diajak, ia tidak pernah bisa karena tidak diizinkan, padahal keluarganya tergolong berkecukupan bahkan seringnya berlebih.

"Aku pengen punya abang..."

Lirih Ayana, itu adalah satu mimpinya yang tak akan pernah terwujud kapanpun.

Gadis itu kelelahan, ia tertidur dalam tangisannya. Bahkan, ia lupa belum melepas seragam dan mandi. Biarlah ia terlelap sebentar, bertemu Arkhasya dalam mimpinya.

Forgive Me: I'm Just in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang