mataku masih terpaku melihat cowok di depanku. wajah yang selama ini aku harap-harapkan untuk hadir ke cafe sekarang dia berada di depanku, menatapku datar. senyum yang selalu bikin aku deg-degan itu tak nampak di bibirnya, yang terlihat malah sebaliknya, wajah ramah yang selalu mampu membuatku tersenyum kini hilang entah kemana.
tatapannya hasrat kehampaan yang mendalam, kugigit bibir bawahku melihat tatapan kosongnya.
"ehm. gua Airin"kataku berdehem mengembalikan nyawaku yang tadi menghilang dan menjulurkan tangan kanan kearahnya.
wajahnya menatapku datar tanpa ada respon sedikitpun.
kutelan silvaku susah payah melihat tatapannya, mataku melirik tangan kanannya dan mengambil tangan itu mengamit seperti orang bersalaman.
"loe Kendra kan?"tanyaku tak ada respon darinya.
diam berarti 'iya.
"boleh gua duduk di sini?"tanyaku lagi. ia masih tak merespon kata-kataku.
diam berarti 'Iya.
tanganku terulur menarik kursi di meja kerjanya ke sebelah Kendra dan duduk di sana, ia masih menatapku dengan pandangan yang sama. jujur saja aku malu saat ini, berbicara sendiri layaknya orang gila dan sok akrab sama orang yang di cintai. kurang malu apa coba?
"nama loe Kendra siapa?"
tak ada respon masih sama seperti awalan. mataku terus menatapnya berharap dia mau membuka mulut, tapi sayang itu hanya harapan semu, nyatanya bibirnya masih terkatup rapat seolah bibir itu sudah di jahit yang membuatnya kesusahan hanya untuk membuka, mengeluarkan kata meski hanya satu huruf, tapi aku masih mengharapkannya.
"Kendra Pratama Rahanza Hermawan"
bukan. itu bukan suara dari cowok di samping tapi suara dari cowok lain, kepalaku menoleh kearah pintu mendapati Koko, tante, dan peria paruh baya sedang menatap kami.
tanganku terulur keatas rambut, menggaruknya canggung, bibirku tertarik keatas jenis senyuman malu yang nampak di bibirku.
"eh om. apa kabar om?"tanyaku malu yang di jawab galak tawa sama om Hermawan. aku baru tau kalau om Hermawan itu ayahnya Koko.
kalian jangan bingung kenapa aku bisa kenal om Hermawan, dia itu orang yang punya sekolahan -SMA- di mana aku menuntut ilmu, kita sering ketemu karena aku mendapatkan beasiswa darinya, bukan. bukan karena aku anak pandai, menurut penuturan beliau aku orang yang baik dan sopan, langka zaman sekarang masih ada anak seperti aku, itu katanya tapi menurut mama aku itu anak durhaka, nggak suka di perintah dalam hal apapun, termasuk belajar, makanya mama selalu mengeluarkan kata pedasnya untukku. ok back to topick, siapa sih yang nggak mau dapat beasiswa? orang gila yang nggak mau, karena aku waktu itu masih waras -bukan berarti aku sudah gila sekarang- makanya aku menerima dan di terimalah aku di Universitas termuka di sini, nggak sebagus UI kok, tapi yang pentingkan bisa kuliah right?.
"jadi ini Airin yang selalu di bicarakan sama Cici?"tanya om Hermawan menatapku geli. aku semakin salah tingkah di tempat.
"jangan percaya sama omongan Koko om, beneran jangan percaya, dia itu sesat"
dan berkat kata-kata itulah Om hermawan kembali tergalak sedangkan Koko mencibikkan bibir. apa? benerkan? mana ada sahabat yang seperti dia? hanya dia dan cuman dia yang seperti ini kelakuannya.
"wah bearti kamu jelek donk? Cici selalu bilang loh kalo temennya itu baik, Cantik, sopan, ramah, bisa di percaya, nggak suka gosip, suka nolong tanpa pamrih dan yang pastinya ia membantu keluarga om"kata Om Hermawan kembali tertawa di ikuti sang istri.
glek.
pahit rasanya silva yang mengalir ke tenggorokanku. masak Cici bilang gitu? apa iya aku sebaik itu? aku nggak sebaik itu lagi, aku itu orangnya ambekan, manja, nggak suka di perintah, nggak suka di katain jelek, nggak suka di hina dan yang pasti.... PEMALAS, itulah aku yang sebenarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Story
Romansagua nggak nyangka gu akan nikah sama kakak sahabat gua sendiri. ini musibah atau anugerah??!! dan parahnya gua yang ngerlamar dia. gua ulangi sekali lagi GUA YANG NGELAMAR DIA. catet baik-baik itu. -Airin Maharani- dia ini sudah gila atau ap...