🦑 05 🐟

18K 2K 110
                                    

Drian menatap kosong taman dekat mansion Dafael. Drian diusir langsung oleh Atlan. Drian ingat, keponakan Arion satu itu layaknya kulkas nol pintu, dingin dan sulit didekati.

Dalam raga aslinya saja, Drian pernah dipukul oleh Atlan. Bukan tanpa alasan, itu karena Drian masuk perpustakaan dan menyentuh buku buku kesayangan Atlan. Lagian Atlan, Arion, dan dirinya itu seumuran.

Ya dulu, pas Drian masih di raga aslinya, sekarang mah enggak.

Lain halnya Drian yang galau di taman sendirian, mansion Dafael udah tambah kacau balau. Penyebabnya ya si Arion, setelah Atlan tanya perihal sosok asing di perpus tadi, Arion langsung ngeh kalau itu si Adrian. Ngamuk lah tuh Daddynya si Drian.

"Bego, Lu! Bangsat! Anjing!"

Arion gak berhenti mukulin Atlan, yang sayangnya semua pukulan Arion ditangkis sama Atlan.

"Gue gak tau, Om!" seru Atlan.

"YA LU PIKIR DIKIT DONG, SAT!! Dia masih anak anak! Gak mungkin dia itu penyusup atau semacamnya!!" teriak Arion emosi.

"Sudah, Dek." Gerald mencegah Arion agar putra bungsunya itu tak lagi memukul cucunya.

"Sekarang kita cari Drian ya? Pasti belum jauh kok dari mansion," ucap Gerald lagi. Arion melepaskan cekalan Gerald, kemudian mendorong Atlan.

"Kalau sampai anak gue gak ketemu, jangan harap lu dapetin maaf dari gue!"

Dih, gak butuh maaf lu si Atlan mah, wkwk.

Arion mendengus, ia segera keluar dari mansion, menggunakan mobilnya, ia kalut pada rasa khawatirnya. Ia tak ingin kehilangan porosnya lagi, sudah cukup ia kehilangan Drian, porosnya, dan sumber kebahagiaannya.

Di sisi lain, Drian tengah meratapi nasibnya di atas pohon dekat gerbang mansion, sejujurnya karena ia lupa letak dan jalan menuju rumah asli Adrian Levan, berakhir Drian kembali ke mansion Dafael dengan diam-diam.

Setidaknya Atlan tak akan mengusirnya lagi.

"Lah, Rion mau kemana, dah? Kok buru-buru banget? Jangan-jangan mau beli durian lagi." Drian mendengkus, bisa bisanya Rion beli durian tanpa mengajaknya, awas saja Drian sentil pentilnya- eh ginjalnya.

Dug!

"Aw!" Drian meringis begitu sebuah kerikil mendarat tepat pada pelipisnya, menengok ke bawah, sudah ada Atlas, pria 25 tahun yang merupakan adik dari Atlan tengah memainkan sebuah kerikil di tangan.

"Sial! Heh! Gak sopan banget lu lempar-lempar kerikil ke gue! Ajarannya siapa, As?!" ketus Drian.

"Turun, Bang Dri! Keburu gue lempar kerikil ke lu lagi!" seru Atlas. Drian melotot, gimana bisa Atlas tau? Padahal Atlas baru bertemu dengannya kali ini dengan versi baru Adrian.

"Gak usah kaget, buru turun! Gue tangkap, ayo!" Menolak untuk mempertahankan rasa penasarannya, Drian loncat dari pohon yang cukup tinggi itu, dengan sigap dan tepat, Atlas berhasil menangkap Drian.

"Gotcha!" seru Atlas sembari tersenyum.

"Jadi, gimana lu bisa tau?" tanya Drian. Atlas tertawa lirih, kemudian membawa Drian menuju ke dalam sembari menjelaskan pada Drian.

"Ya gitu, setelah gue denger cerita dari Om Rion, sampai dari Opa juga, terus gue langsung sadar kalau itu lu pas Om Rion cerita kalau Adrian Levan itu mirip banget sama sahabatnya, apalagi waktu 'Adrian' mengantuk. Gak ada human yang lebih aneh dari Bang Dri." Jawaban lengkap dari Atlas, sekaligus fakta bahwa Atlas itu hobi menghalu dan penulis novel, membuat Drian tak lagi bertanya-tanya.

"Jangan kasih tau, Arion," ucap Drian lirih.

"Tapi kayaknya lu udah ngasih tau Om Rion, Bang," balas Atlas sembari menurunkan Drian di sofa ruang keluarga.

"Ayolah, Rion mana mau percaya hal kayak gitu, huh?"

Atlas tertawa, benar juga, Arion adalah kebalikan dari dirinya, Arion paling benci genre novel fantasi yang tak masuk akal. Mana mungkin ia percaya bahwa jiwa sahabatnya berpindah pada raga anak kecil.

"Tapi lu masih mau coba yakinin Om Rion 'kan Bang?" Drian menganggukkan kepala, mana mungkin Drian akan terus terusan jadi anak sahabatnya sendiri?

"Jadi sekarang lu kalau manggil Om Rion, gimana, Bang Dri?" tanya Atlas penasaran. Drian mendelik kemudian menjitak dahi Atlas cukup keras.

"Gue panggil dia Om, soalnya lebih mendingan ketimbang manggil dia 'Daddy'." Drian bergidik ngeri membayangkan dirinya memanggil Arion dengan sebutan daddy.

"Bwahahaha ..."

"-_-" Drian menatap datar Atlas yang tertawa, keponakan Arion itu gencar sekali menjahili.

"Coba, Daddy Rion~ gitu ... Hahaha ..." Atlas memegang perutnya, kram lama-lama kalau ketawa terus.

"Ayo coba dong, Bang Dri. Daddy Rion~~"

Huek, sumpit eh sumpah, Adrian pengen menenggelamkan anak kedua dari Bapak Liandra (kakak sulung Rion) ini ke sumur, ke laut juga sekalian.

"Daddy Ri- uhuk!" Drian menyeringai puas begitu berhasil membuat Atlas jatuh dari sofa.

"Drian kok dilawan!" Atlas meringis, tendangan Drian berhasil membuat pantatnya mencium lantai lebih dulu.

"Gak ada salahnya toh manggil Om Rion, Daddy~~, gitu." Atlas bergumam, ia itu salah satu penyuka cerita baby boy, jadi bagaimana mungkin Atlas melewatkan kesempatan seperti ini.

"Ayolah, Bang~ jadi imut gitu kek, gue itu kepengen punya Adek imut, lu tau gimana dingin dan datarnya adek gue, Bang. Gak yang sepupu, gak yang kandung, semua kayak jiplakan tripleks," keluh Atlas. Memang dari sekian banyak cucu Gerald, Satu-satunya yang punya sifat humoris dan jahil hanyalah Atlas.

Tak jarang Atlas mengeluh risih jika berdekatan dengan cucu Gerald yang lainnya.

"Di sini kau rupanya, penyusup!!" Drian dibuat terkejut untuk kedua kalinya, Atlan lagi-lagi hadir sembari menatapnya dengan tajam.

Atlan mendekat, hendak menarik Drian tapi lebih dulu dicegah Atlas.

"Weh, kalem, Kak. Apa-apaan kok mau main tangan?!" Atlas pasang badan di depan Drian, dahinya mengerut tanda ia kesal.

"Ini bukan urusanmu, Atlas!" seru Atlan dingin.

"Jelas ini urusan gue, soalnya dia Adek gue," balas Atlas. Atlan mengeraskan rahang, adiknya satu itu memang pembangkang, dan Atlan selalu ingin mendisiplinkan adiknya itu.

"Dia bukan adikmu!" bantah Atlan. Di sudut hati Drian terasa berdenyut, apakah ini yang dinamakan penolakan? Kok sakit ternyata.

"Kak! Pikiran lu kek antagonis kolot tau gak?! Bodoh, dan sampah!" Atlas tanpa rasa takut mengutarakan apa yang di pikirannya.

"Perhatikan bahasamu, Atlas Sagata Dafael!!" Atlas merasa tertantang begitu melihat Atlan mulai emosi.

"Kalau gitu, lisan lu emang kudu diperbaiki, kak! Dia, anaknya Om Rion, gak peduli dia cuma anak angkat, tapi mulai sekarang, dia pakai marga yang sama dengan kita!" seru Atlas.

Atlan mencengkeram lengan kiri Atlas, menarik kasar adiknya agar benar-benar menatap matanya.

"Kau memang ingin dihukum, Atlas!" Drian panik ketika Atlan hendak melayangkan tamparan, tanpa pikir panjang, Drian menarik Atlas sekuat tenaga, hingga dirinya terjatuh, dengan sigap Atlas melindungi kepala Drian yang hampir menyentuh lantai. Entah bagaimana keduanya berakhir dengan posisi Drian menindih punggung Atlas.

"Atlan!" Ketiganya menoleh ke arah pintu utama mansion, terlihat Arion tengah berdiri dengan aura negatif.

"Kau benar-benar ingin dibunuh rupanya!!" lanjut Arion dengan dingin, tatapan tajamnya mengarah pada Atlan. Drian yang berada di punggung Atlas pun bersorak ketika melihat Rion.

"Duriannya Drian mana?!!!" teriak Drian tak memahami situasi dan suasana, disusul tawa Atlas yang menyadari bahwa Drian tetaplah Drian. Si pencinta durian.

╞═════𖠁🌝𖠁═════╡

Yap, begitulah. Gini, gini, mau nanya, kalian enaknya si Drian mati- eh maksudnya Drian mau dikemanain? Sekolah kah? Terkekang kah? Atau membuat Daddy Rion~ galau karena kangen istri- eh sahabatnya?

Atau mau ngasih saran lain?

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang