🐟 18 🦑

3.2K 510 34
                                    

"Senin, selasa, rabu, kamis ... Gila, 2 minggu gue kagak masuk sekolah."

Arion menoleh sekilas ketika mendengar Drian menggerutu sembari berguling-guling di kasur, sementara dirinya sedang merapikan selimut yang diacak-acak remaja itu.

"Gak masalah 'kan? Kamu aslinya udah jadi dosen juga," balas Arion sembari meletakkan selimut di sofa.

"Beda atuh, Yon. Itu 'kan sebelum gue jadi Levan. Sekarang, gue udah jadi Levan, seenggaknya gue harus lanjutin hidupnya dengan baik. Btw, jangan ngomong pakai aku-kamu dong, gue geli," ujar Drian dengan keluhan di akhir.

"Lupain gelar sahabat, Drian anak Arion sekarang," goda Arion sembari tertawa lirih.

Namun, Drian merasa tidak senang dengan penuturannya, bibir remaja itu kian manyun dengan wajah tertekuk sempurna.

"Oh. Jadi gue bukan sahabat lu lagi? Edan lu, Yon. 16 tahun ini lu kira apaan? Tau gitu lamaran lu di SMP dulu gak gue terima." Drian kembali menggerutu, kali ini ia berbalik membelakangi Arion agar pria itu tidak tahu bahwa ia sedang menahan air mata.

Arion menggelengkan kepalanya dan beranjak berbaring di samping Drian. Tangan besar pria itu menyusuri rambut lebat Levan.

"Kata-kata yang ambigu. Bisa-bisa kita dikira belok gegara kata lamaran itu."

"Bodo amat. Jauh-jauh, jangan sentuh gue, najies!" sentak Drian sembari menepis tangan Arion yang berada di kepalanya.

Arion tertawa gemas menyadari putranya marah karena perkataan lupakan gelar sahabat tadi. Ia memeluk Drian erat-erat sampai membuat si empu memekik kesakitan.

"Yon, lepasin! Gue gak bisa nafas!"

"Dri ... Seandainya gue berhasil meraih tangan lu di rooftop waktu itu, mungkin sekarang gue masih bisa percaya diri ngaku kalau gue sahabat lu, tapi nyatanya gak bisa, Dri."

Dekapan Arion melonggar, pria itu menempelkan wajahnya di punggung Drian seraya menggenggam erat tangan Drian. Kepalanya seolah berdengung, teringang satu kalimat yang sama.

Seandainya waktu itu, gue bisa genggam tangan Drian seerat ini.

"Tapi gue gagal, Dri. Gue gak bisa nyelamatin lu, padahal jelas-jelas cuma gue yang bisa tarik lu saat itu."

Bayang-bayang mengerikan terus datang, mulai dari langkah mereka memasuki rooftop sampai terjatuhnya tubuh Adrian menghantam keras trotoar. Andai saja, Arion melangkah lebih cepat, bukan raga Levan yang dipeluknya sekarang.

Meskipun kini jiwa Drian bersamanya, masih banyak perandaian yang teringang berkali-kali di kepalanya.

Seandainya Drian gak ke kantor hari itu.

Seandainya gue gak ninggalin Drian di ruangan sendirian waktu itu.

Seandainya gue jatuh sama Drian waktu itu.

Namun, tidak ada yang bisa mengubah takdir yang sudah terjadi.

"Menurut lu, kenapa gue yang seharusnya udah mati justru hidup di raga orang lain?" tanya Drian tiba-tiba.

Arion merasakan jemari kecil Drian membalas genggamannya. Perlahan pikiran-pikiran yang sedari tadi teringang di kepalanya mulai tenang berkat Drian.

"Semua yang terjadi di kehidupan kita itu pasti ada maknanya, entah itu sepele atau penting."

Drian menghela nafas dan melanjutkan ucapannya.

"Sama kayak sekarang, mungkin, Levan pengen mati dan gue pengen hidup, tapi raga gue mati sedangkan raga Levan yang masih hidup karena itu jiwa kami ditukar."

"Semua itu takdir, Yon, apalagi kematian, itu hal yang pasti bakal dialami setiap yang bernyawa. Jadi, jangan nyalahin diri sendiri karena gak bisa nyelamatin gue waktu itu. Yang penting, gue di sini sekarang."

Arion menarik nafas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Ia lantas berkata, "Tapi kalau gue berhasil waktu itu, lu gak bakal hidup sebagai Levan."

Drian ingin memukul Arion sembari memakinya, lalu berteriak di dekat telinga pria itu, tetapi Drian tidak bisa karena pelukan Arion benar-benar membuatnya tak bisa bergerak. Ia hanya bisa membalas ucapan Arion yang semakin tak jelas itu.

"Yon, hidup lu gak harus semua tentang gue."

Arion terdiam setelahnya, Drian pun tak mampu lagi membicarakan tentang hal ini. Namun, ia tak ingin Arion hancur karena hanya berfokus padanya untuk terus hidup.

Manusia adalah makhluk fana, ada masanya mereka tak lagi memiliki nyawa. Jika saat itu terjadi pada Drian, ia tahu akan sehancur apa Arion karena kehilangannya.

Sama seperti kali pertama Drian menginjakkan kaki di sini. Arion terlihat seperti orang gila.

"Kenapa? Kenapa lu ngomong gitu?" tanya Arion tak terima, pelukannya mengendur sehingga Drian bisa berbalik menatapnya.

"Waktu kita pertama ketemu, lu gak inget sehancur apa gue hari itu? Gue yang baru ditinggal mami dan hampir nyerah saat itu. Lu yang bilang sendiri, Dri. 'Aku bisa jadi alasan kamu untuk hidup. Hiduplah untukku, bahagialah untukku', itu yang lu bilang ke gue, Dri."

"Sekarang, lu mau tarik kata-kata lu? Di saat alasan gue hidup cuma lu?"

"Iya, gue emang ngomong gitu, tapi akan ada saatnya, saat di mana dunia lu gak cuma gue. Lu gak akan paham sekarang."

Drian berbalik untuk memeluk Arion. Hangat suhu tubuh pria itu terkadang bisa menenangkan untuknya. Drian tidak tahu, berapa lama ia bisa bertahan di raga Levan. Namun, satu yang Drian yakin, jiwa Levan akan kembali suatu hari nanti.

"Kalau suatu saat gue udah gak ada, tolong tetap bahagia, ya?"

Drian tidak menerima jawaban lain kecuali pelukan Arion yang semakin erat seolah pria itu tidak akan melepaskan Drian bahkan jika ia sudah tak bernyawa.

Halo!

Lian izin ganti username, ya!

Btw, kalau Lian bikin grup tele, ada yang mau gabung, gak?

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang