🦑 03 🐟

20.9K 2.3K 159
                                    

Drian menggaruk tengkuknya bingung, setelah menyuruh Arion mandi, Drian tertidur di depan pintu kamar Arion. Dan sekarang dirinya malah terbangun di pelukan Arion yang tengah berbincang dengan keluarga Dafael yang lain di ruang keluarga.

"Arion, kau tau dia bahkan belum setuju! Dan apa apaan surat adopsi ini?! Kau menyogok mereka untuk mempercepat mu mendapatkan hak asuh anak itu?" Arion hanya diam tanpa berniat membalas perkataan Gavin Aarav, kakak ketiganya.

"Sudahlah Aarav. Kau tau seberapa sulitnya mengatur Arion, setidaknya sekarang dia tak berkelakuan seperti orang depresi lagi." kakak kedua Arion, Arsen Elvan ikut bicara.

"Kalian tau, ada kemungkinan anak ini putra haram sahabatku—"

Bugh!

Tanpa aba-aba, Drian menampol kepala Arion. Tatapan Drian jatuh tepat pada netra Arion.

"Huh?" Aarav dan Arsen terdiam melihat Arion tengah menahan emosinya serta Adrian yang sudah emosi.

"Anak haram lu bilang?! Heh, denger ya! Gue ini anak orang, sah secara agama dan hukum," ucap Drian sembari menahan suaranya agar tak berteriak.

"Lalu siapa ayah dan ibumu?" tanya Arion dingin.

Cool sekali epribadeh.

"Em, menurut secercah ingatan yang hadir dalam otak ini, ortu gue minggat karna gue gila?" Drian memiringkan kepalanya.

Dalam tidurnya tadi, ia seperti menonton film tentang kehidupan Adrian Levan.

Samar sih, tapi yang penting Drian tahu dikit dikit.

"Tapi kenapa gue gila?" Drian mengernyitkan dahi.

"Sudahlah lupakan," ujar Arion sembari mengalihkan perhatian Drian menuju padanya.

"Apa?" tanya Drian sewot.

"Tidak," balas Arion singkat, ia membawa Drian ke pelukannya. Memeluk remaja itu erat-erat seolah enggan melepaskan.

"Tidurlah lagi," ucap Arion.

"Enggak ngantuk," cicit Drian. Padahal remaja itu sudah menatap Arion dengan mata sayu.

"Kalian benar benar mirip," batin Arion sembari mengelus pipi kemerahan Drian.

"Aaaaa, Rion jangan pegang pegang. Drian mau tidur," kesal Drian. Arion malah tersenyum.

"Kamu benar-benar yakin, kamu bukan anak haram?" tanya Arion yang menyadari bahwa kemiripan remaja di hadapannya ini dengan sahabatnya 90%, 10% nya merupakan perbedaan wajah. Drian membuka kelopak matanya, menatap Arion lekat lekat sebelum menarik nafas dan berteriak.

"CONGOR LU MINTA DITAMPOL YA, ANYING?!!" teriak Drian sembari mengacungkan jari tengah.

"Adrian Levan." Arion menatap tajam Drian.

"Apa? Adrian yang lu kenal itu kagak mungkin sampai hamilin anak orang," ujar Drian kesal.

"Lagian ya, umur gue sama lu itu cuma selisih 11 tahun. Pakek tuh logika lu, mana mungkin Adrian sahabat lu itu, hamilin anak orang pas umur 10 tahun," lanjut Drian.

Aarav dan Arsen menahan tawa mereka. Logika adik mereka benar benar tak jalan sepertinya.

"Yon." Drian kembali menyandarkan kepalanya ke dada bidang Arion.

"Kalau gue bilang gue itu Adrian sahabat lu, lu percaya?" tanya Drian kian melirih.

Kebiasaan Drian yang paling sulit hilang adalah bertingkah seperti orang mabuk ketika mengantuk. Entah itu melantur, membuka aib, ataupun masuk ke baju orang lain, hal ini menjadi alasan Arion harus ekstra sabar, dan memberi pengawasan lebih untuk sahabatnya itu.

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang