🐟 14 🦑

11.9K 1.2K 100
                                    

Dengkuran Drian terdengar jelas saat semua yang berada di ruang inapnya saling diam. Arion masih setia duduk di kursi samping brankar, sedangkan Liandra dan Gerald duduk di sofa.

Arsen dan Aarav pergi mengantarkan tiga putra Liandra pulang.

Tatapan Arion setia menuju pada Drian, entah berapa jam Arion habiskan untuk menatap wajah baru sahabatnya. Rasa bersalah hadir di hatinya, hari itu, ia mengatakan hal yang menyakiti Drian.

"Kamu melantur lagi, hm? Daddy mana mungkin percaya hal mustahil seperti itu, kamu hanya ingin menghibur Daddy, bukan? Lagipula jika kamu benar-benar Adrian, itu seperti mengambil kehidupan orang lain untuk kepentingan diri sendiri." (ch 9)

"Mengambil kehidupan orang lain ..." gumam Arion tanpa sadar, ia memejamkan mata, memikirkan betapa sakit hatinya Drian saat ia mengatakan itu.

Arion yang paling mengenal Adrian? Bullshit, Arion malah tidak mempercayai Drian.

"Maaf." Tangan besar Arion menggenggam tangan Drian, itu lebih kecil dan kurus dari yang biasanya Arion genggam.

"Arion." Gerald tahu bahwa putra bungsunya sedang banyak pikiran, sejak 2 jam yang lalu Gerald terus mendengar gumaman Arion.

"Papi, Arion tidak apa-apa, jangan khawatir," celetuk Arion. Suaranya lemah, tak bersemangat.

"Apa yang kamu pikirkan, hm?" tanya Gerald. Ayah mana yang tidak khawatir jika kondisi putranya seperti orang depresi seperti ini?

"Arion sungguh tidak apa. Arion seorang ayah sekarang, jangan khawatirkan Arion seperti itu," jawab Arion sembari menatap Gerald.

"Tapi Papi juga seorang ayah. Mau sedewasa apa pun kamu, di mata Papi tetap anak kecil, apalagi kamu anak bungsu," sahut Liandra yang sejak tadi memperhatikan.

"Begitupun kamu, Liandra," imbuh Gerald sembari tersenyum, Liandra hanya mendengkus.

"Eung ..." Drian menggeliat tak nyaman, perlahan matanya terbuka. Wajah Arion yang kusut kembali menjadi pemandangan pertama yang Drian lihat.

"Rion, mau pulang," pinta Drian. Hidungnya tak betah mencium bau obat khas rumah sakit.

Arion menatap Liandra, si sulung balas menatapnya. "Dokter bilang jika demamnya sudah turun, besok boleh pulang," ujar Liandra.

"Besok ya." Arion menyampaikan kembali hanya dengan dua kata. Tangannya mengelus rambut Drian dengan sayang.

"Maunya hari ini." Drian memiringkan tubuhnya menghadap Arion dan Gerald.

"Dokter bilang besok!" Liandra menekan seluruh katanya, Drian menatap dengan tak suka.

"Itu strategi marketing rumah sakit, gak usah diturutin!" seru Drian membalas.

"Dokter lebih tahu kesehatanmu!" balas Liandra.

"Mas Lian—"

"Papi," sela Liandra ketika Drian malah memberi embel-embel 'mas' pada namanya.

"Apaan papi papi, Mas Liandra bukan ayah Drian yak!" bantah Drian tak ingin kalah.

"Teruslah keras kepala, dan biarkan Papi menghukummu," ujar Liandra santai. Ekspresi Drian langsung berubah, antara takut dan kesal, ia kalah jika Liandra sudah mengancam.

Arion tampak lebih baik setelah Drian sadar, Gerald menyadari itu, ia mencubit pipi Drian, anggap saja bentuk apresiasi karena Drian menghibur Arion tanpa sadar.

"Aw! Om Gerald, sakit~!" keluh Drian saat tangan hangat Gerald mencubit pipinya yang terasa dingin.

"Panggil kakek, jangan om," tegur Gerald lembut.

Drian menatap mereka bertiga, perlahan matanya berkaca-kaca. "Drian enggak mau! Dibilang gak mau ya gak mau, gak usah dipaksa! Kalau Drian bilang gak mau itu berarti Drian beneran gak mau, harusnya paham, kenapa tetep maksa?!"

"Astaga." Gerald merasa terhibur karena ekspresi cucunya itu.

"Drama sekali," gumam Liandra, ia hanya berani bergumam, tak ingin Drian mendengarnya dan membuat bokem itu menangis betulan.

*) bocah kematian (bokem)

"Bawa Drian jalan-jalan ke taman, hidungnya pasti gatal karena bau obat," perintah Liandra pada adiknya. Arion mengangguk setuju.

"Biar Papi bantu bawakan infusnya," tawar Gerald, Arion mengiyakan juga.

Pria itu mendekati Drian, tapi Drian malah mengernyit karena postur tubuh Arion seperti akan menggendongnya dengan gaya koala.

"Gue bisa jalan sendiri!!" seru Drian panik.

"Kamu masih lemas, biar Daddy sa—"

"Enggak, gue udah gede! Udah 16 tahun!!" Drian berusaha mendorong tubuh Arion yang kian mendekat padanya.

"Huwaaaa~"

🐟🐟🐟

Bangku taman rumah sakit, semburat merah di langit barat, dan angin yang berhembus pelan terasa menenangkan untuk Arion.

Tangan kecil Drian masih setia menarik rambutnya setelah Arion berhasil menggendong pria kecil itu, dan kini keduanya duduk di bangku taman, Gerald meninggalkan mereka karena ada urusan mendadak.

Arion tak protes perihal rambutnya yang ditarik itu, asalkan Drian tetap diam di pangkuannya, menghadap dirinya. Sedangkan Drian saat ini sedang menahan rasa kesalnya meski sebagian sudah dilampiaskan dengan menjambak rambut Arion.

"Gue bahagia, Dri," ujar Arion tiba-tiba. Drian mengeratkan jambakannya ketika Arion selesai berkata.

"Aduh!"

"Kenapa?" Suara Drian yang serak sehabis menangis terdengar.

"Karena gue gak nyangka, orang yang gue tangisin beberapa bulan yang lalu, jiwanya ada di hadapan gue sekarang. Meski raga lu beda, gue masih bisa ngerasain kehangatan yang sama saat gue ada di deket lu." Suara tenang Arion seolah menghipnotis Drian, jari-jari tangan yang tadinya menarik rambut sang ayah perlahan terlepas.

"Lu yang bilang sendiri, Yon. Gue ngambil kehidupan orang lain, dan itu perbuatan egois, apa yang lu bilang waktu itu bener, Yon. Gue ngambil apa yang bukan hak gue," balas Drian lemah. Nyatanya kata-kata Arion waktu itu cukup menyakiti dirinya.

"Meski lu bilang gitu, lu sebenernya gak setuju kalau lu hidup sebagai orang lain 'kan?" tanya Arion sembari merapikan rambut Drian.

"Walau begitu, tetep aja, Levan berhak buat hidup, dan kenapa Tuhan malah minta gue hidup sebagai Levan?" tanya balik Drian, suara bergetar kembali siap untuk menangis.

"Drian." Arion menangkup pipi Drian. Senyum lembut Arion berikan untuk menenangkan kegelisahan Drian.

"Kalau gitu lu harus bahagia di raga Levan. Hargai Levan yang sudah meminjamkan hidupnya, bahagia lah untuk Levan, mungkin Levan gak suka lihat lu malah sedih setelah dia ngasih kehidupannya buat lu, paham?" Suara yang tenang dan lembut, tatapan yang menghipnotis, Arion berhasil memenangkan kegelisahan Drian.

"Bahagia lu, bahagia Levan juga," ujar Arion setelahnya.

Drian menatapnya, tersenyum tipis membalas senyuman Arion.

"Manisnya anak Daddy." Arion memeluk Drian gemas. Sementara Drian kembali menjambak rambut Arion.

"Arion anj—"

╞═════𖠁☆𖠁═════╡

Dibilang up sebulan sekali itu enak.

Btw, gue mulai konflik ya, entar tetep diselipin ketololan Arion dan manisnya Adrian.

Maybe, ada yang mau request Arion sama Adrian ngapain  gitu, awokawok.

Jangan bosen yak, target tamat buat book ini sekitar di chapter 20an (bisa lebih), semoga aja gue berhasil bikin endingnya.

Ekhem, covernya juga ganti, karena kemarin comot langsung dari pin, dan niat di awal cover yang kemarin itu emang buat sementara, gitu aja.

Arigatou and bye bye!

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang