🦑 17 🐟

7K 771 35
                                    

Itu hanya berselang 2 hari setelah Drian dilarikan ke rumah sakit tapi rasanya seperti sudah lama sejak ia berada di 'rumah'.

Rasanya asing ketika disambut saat pulang, terakhir kali saat masa sekolah dasar, ia pulang sekolah dan disambut hangat keluarganya. Beranjak dewasa, ia malah sering menyambut Arion pulang daripada disambut oleh sahabatnya, maksud Drian, ia hanya memiliki sahabatnya setelah ke dua orang tuanya meninggal dan Arion sering ke rumahnya.

Bukannya Arion dan dirinya tinggal serumah, hanya saja sahabat bodohnya itu lebih suka di rumahnya dibanding mansion besar Dafael.

Saat ini, ia diizinkan kembali merasakan hangatnya sambutan keluarga, kecuali dari sulung dan bungsu Liandra yang tampaknya masih bertengkar karena ke duanya tidak ada di sini sekarang.

Gerald, Liandra, Arsen, Aarav, Atlas, Devan, Andra menyambutnya dengan tatapan hangat. Kecuali Liandra, mereka menampilkan senyum teduh yang membuat Drian ikut berseri-seri juga.

"Lihatlah bocah ini, bahagia sekali tampaknya," ujar Andra dengan wajah menggoda Drian.

"Bahagia lah tapi jangan panggil Drian bocah ya, Drian lebih tua!" balas Drian dengan nada merajuk di akhir.

Andra terkekeh, meskipun ia tahu yang dihadapannya bukan lagi Levan tapi entah mengapa ia masih merasakan Levan di sana.

"Bocah mah bocah aja," ledek Devan di samping Andra.

Pipi Drian menggembung, merasa kesal tapi tidak mau membalas.

"Emang bocah," gumam Devan ketika melihatnya, Andra menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.

"Lu yang bocah ya!" seru Drian saat mendengar bisikan halus Devan.

"Sudah, jangan menggodanya, Drian baru kembali dari rumah sakit," tegur Gerald. Devan dan Andra hanya mengangguk tapi tatapannya masih meledek Drian.

"Kalian mau bertengkar?! Ayo!" Drian hendak memukul ke duanya tetapi Arsen lebih dulu menggendong putra Arion itu.

"Kamu masih perlu istirahat," ucap Arsen lembut.

"Kak Arsen lepasin Drian! Mereka tuh—"

"Wah tantrum, yahahaha tantrum," ejek Devan. Drian memberontak brutal di gendongan Arsen, kakak kedua Arion yang benar-benar harus mengeluarkan tenaga ekstra agar Drian tetap di gendongannya.

"Anak kucing ya lu!!" umpat Drian pada Devan.

Sejujurnya ia hampir mengumpati Devan dengan julukan 'anak anjing' tetapi bapaknya Devan adalah orang yang sedang menggendongnya, kalau gini mana berani.

"Aku mah anak bapak Arsen," balas Devan tanpa beban.

Arsen geleng-geleng kepala, kemudian berkata pada Drian, "Kamu tuh kecil nanti kalau pukul Devan sama Andra terus dibalas, tumbang kamu, Dri."

Drian menggembungkan pipi tanpa sadar, tubuhnya berhenti memberontak dan diam seraya memalingkan wajahnya dari Devan juga Andra.

"Ngambek ih ngambek."

"Devan, Andra, sudah," tegur Aarav yang tak tega melihat Drian hampir menangis.

"Shapp, Ayah." Ke duanya baru berhenti ketika Aarav yang menegur tapi Drian terlanjur kesal.

Di sisi Arion, pria itu hanya memperhatikan putranya tanpa berniat mengikuti obrolan mereka yang di sana, ia sibuk, sibuk mengamati wajah lucu Drian.

Andai saja Drian masih di tubuhnya yang dulu, ia pasti akan lebih gemas padanya.

Arion menggelengkan kepalanya ketika pikiran itu datang, ia telah memutuskan untuk menerima Drian dan Levan sekaligus, berpikir seperti itu tidak baik.

"Kenapa, Dek?" tanya Gerald yang mendapati putra bungsunya menggeleng sendiri.

"Enggak, cuma kepikiran sesuatu."

🦑🦑🦑

"Jadi gimana?"

Itu pertanyaan pertama yang diajukan Gerald saat Arion duduk di sofa ruang kerjanya. Arion mengernyit, tidak mengerti maksud pertanyaan sang ayah.

"Apanya yang gimana?" tanya-nya balik.

"Maksud Papi, kamu 'kan sudah tahu jika Levan adalah Adrian, jadi kamu mau melanjutkan adopsinya atau Pa—"

"Rion paham ...." Arion menghela nafas sejenak.

"Hak asuh Levan udah ada di Rion dan Rion gak ada niatan untuk membatalkannya," ucap Arion mantap.

Gerald tersenyum membalasnya namun sedetik kemudian ekspresinya berubah sendu.

"Kenapa?" Arion bertanya setelah menyadari perubahan ekspresi Papinya.

"Kamu akan memperlakukan Adrian seperti apa? Putramu? Atau sahabatmu?" Gerald melontarkan pertanyaan yang membuat Arion menautkan alisnya.

"Kamu tidak berniat memperlakukan Drian seperti anak 'kan? Bagaimana pun kamu sudah tahu dia—"

"Mau gimana perlakuan Rion ke Drian ke depannya, gak ada urusannya sama Papi." Jawaban putra bungsunya membuat Gerald terdiam.

Memang benar itu urusan Arion, tapi Gerald masih berhak untuk tahu.

Yang lebih muda keluar begitu saja tanpa mengatakan apapun, Gerald menghela nafas, putranya tidak berubah, hubungan ke duanya lah yang berubah.

Jika bukan karena Adrian dimakamkan hari itu Gerald tidak akan bisa berinteraksi sedikit pun dengan Arion yang telah menutup diri sejak lama ... alias sebelum Drian meninggal hari itu, hubungan Gerald dan Arion tidak baik dan baru membaik setelah Gerald berhasil menemani Arion dalam masa-masa terpuruknya.

Terdengar jahat tapi bukan berarti Gerald bersyukur Drian tiada ... Ia bahkan rela jauh dari Arion jika itu membuat putra bungsunya senang.

Ia tidak ingin merasa bahagia di saat Arion kehilangan satu-satunya alasan bahagia.

Gerald menghela nafas, sekarang yang bisa mereka lakukan adalah menerima Adrian, entah itu sebagai Adrian sendiri atau sebagai Levan.

Di sisi lain, Arion masuk ke kamarnya, pandangannya meliar, menatap ruangan yang sudah ia tinggal 2 hari terakhir. Dulu saat Drian masih di tubuh aslinya, Arion bahkan hampir tidak pernah menginjakkan kaki di ruangan ini tapi sekarang, ia hanya akan merasa lega jika berada di sini.

Pandangannya berhenti pada tempat tidur, terbaring di sana Adrian yang tertidur setelah lelah bermain dengan Devan dan Andra. Pria kecil itu terlelap dengan ke dua tangan di samping kepala seperti bayi.

Arion tersenyum seraya menghampirinya, membaringkan tubuhnya di samping Drian dan memeluknya, ia hanya berharap semoga tubuh itu terus hangat.

"Tidur yang lelap, jangan lupa bangun."

Drian menggeliat tak nyaman ketika tangan Arion memeluk perutnya, hanya sebentar setelahnya pria kecil itu mendusel pada sang ayah.

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang