🦑 15 🐟

6.1K 800 51
                                    

Suasana di ruang inap Adrian terasa canggung, lebih tepatnya terasa mencekam untuk satu pria berumur di sofa. Arion duduk di samping ranjang pesakitan sembari menggenggam tangan Adrian seolah menjaganya dari serangan, insting Arion telah mengatakan ada yang aneh dari pria yang tiba-tiba hadir dan mengaku sebagai Kakek dari Adrian Levan yang asli, padahal sudah jelas dalam pencarian Gerald tidak ada catatan wali Levan setelah ke dua orang tuanya meninggal dunia.

Drian terlelap setelah lelah mengumpati Arion selama beberapa jam, dan kebetulan pria tua itu datang setelah Arion menidurkan Drian di brankar. Arion tidak menyapa ataupun berbasa-basi, ia membiarkan Gerald yang mengurus, entah mengapa firasatnya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan pria tua tersebut, dan 'sesuatu' itu berkaitan dengan Adrian Levan.

"Berhenti menatap saya seperti itu, Tuan Arion. Saya bersungguh-sungguh bahwa saya baru bisa menemui cucu bungsu saya hari ini."

Justru kata-kata yang dikeluarkan pria yang diketahui bernama Zen Naratama menyakinkan Arion bahwa keluarga asli dari Adrian Levan sangatlah buruk.

"Tolong koreksi kata-kata Anda, Tuan Zen. Adrian Levan adalah cucu saya, bukan Anda." Gerald berkata dengan datar, ia tidak senang dengan kehadiran makhluk asing secara tiba-tiba ini.

Zen terlihat tidak terima dan berusaha membantah, "Saya yakin Anda sudah tahu, Tuan Gerald, baik tentang masa lalu Levan, maupun keluarganya."

Gerald hendak membalas tetapi Arion lebih dulu menyela, "Apa yang Anda maksud itu tentang Levan yang ditelantarkan paman dan bibinya? Atau tentang kematian ke dua orang tuanya yang terlihat seperti 'kecelakaan'? Atau tentang Levan yang hidup sendiri selama 6 tahun terakhir?"

Gerald tidak berniat menghentikan, bagaimanapun Arion tidak membual tentang ini. Gerald dan putra bungsunya tidak main-main saat menyelidiki masa lalu Levan, hampir semua yang terjadi di masa lalu anak itu adalah penderitaan, termasuk tidak adanya kerabat yang mau mengurusnya setelah kematian orang tua Levan.

"Justru saya heran, Tuan Zen. Adrian Levan Naratama adalah putra tunggal Masnaka, putra sulung Anda yang jika saya tidak salah ingat, beliau memiliki kekayaan yang lebih dari cukup untuk menghidupi Levan lebih dari 40 tahun ke depan. Anehnya Levan malah tinggal di sebuah apartemen."

"Anda tahu yang lebih aneh lagi, Tuan Zen? Keponakan saya lah yang membelikan apartemen itu untuknya!"

"Jika otak Anda ada, maka saya bertanya, di mana Anda saat Levan berusaha bertahan hidup sendirian?!" seru Arion.

"Arion." Gerald baru menegur setelah Arion hampir emosi.

"Aku hanya mengatakan fakta," ucap Arion kesal.

Namun suara tinggi Arion membangunkan Drian yang tertidur, remaja itu membuka matanya perlahan, mengamati sekitarnya sebelum membuka suara.

"Itu siapa?"

Arion menghela nafas untuk meredakan rasa sebalnya. "Dia mengaku kakek dari Levan," bisik Arion. Drian mengangguk mengerti, ia hendak bangkit untuk menyapa tetapi Arion menahannya.

"Jangan dekat-dekat dengannya," ujar Arion.

"Kenapa?" tanya Drian heran.

"Bau minyak urut," jawab Arion sedikit mengecilkan suara.

"Lah, emang iya?" Drian tidak percaya dan mencoba mencium aroma sekitar, barang kali bau minyak urut dari pria tua itu benar-benar menyengat sampai ke hidungnya.

"Bercanda ya lu?"

"Iya," balas Arion santai.

"Si anying, gak sopan." Drian memukul dahi Arion dengan pelan.

"Sopan ke orang yang tepat aja," ucap Arion. Tak pernah habis alasannya untuk menjawab ucapan Drian, dari dulu memang seperti itu.

"Kalau gitu ke kakek itu juga dong, 'kan dia kakeknya Levan," kata Drian logis. Tanpa adanya ingatan dari Levan, Drian tentunya senang mendapati seorang dari masa lalu Levan muncul di hadapannya.

"Gak, jangan. Aromanya kayak aroma penjahat," cibir Arion.

"Su'udzon banget jadi orang," cela Drian meskipun itu memang sifat dasar sahabatnya.

"Firasat seorang Arion gak pernah salah," sanggah Arion.

"Pernah."

"Sekali dua kali, tapi kali ini enggak mungkin salah." Arion terus membela diri, firasatnya terus buruk ketika berhadapan dengan Zen apalagi kali ini terkait dengan kehidupan Adrian dan putranya.

Drian mengerutkan kening, agak ragu jika firasat Arion benar. "Bisa aja salah."

"Kali ini enggak," balas Arion tak mau kalah.

"Yakin dari mana?" tanya Drian.

"Dari Tuhan," jawab Arion yang kehabisan jawaban.

"Kalau bohong jangan bawa-bawa Tuhan, entar kena azab," cibir Drian tak habis pikir.

"Yang ini beneran."

"Ah, basi."

Arion tidak menjawab lagi, selain karena tak memiliki jawaban, tenggorokannya juga kering setelah perdebatan mereka tadi.

Dari sisi lain, Zen menghampiri ke duanya, berdiri di depan Drian seraya tersenyum ramah.

"Halo, cucu Kakek," sapa Zen.

Arion tidak bisa menahan ekspresi jujurnya, ia berkata dengan muka julid, "Tolong menjauh, Tuan Zen. Putra saya alergi dengan bau minyak urut."

Perempatan imajiner terlihat di sudut dahi Zen, "Saya tidak berbau seperti itu, Tuan Arion."

"Rion mah gak sopan," tegur Drian seraya memberi geplakan sayang— di lengan Arion.

"Tadi udah sopan, formal lagi," bantah Arion tak ingin salah.

"Tadi nyindir," balas Drian berbisik.

"Enggak, cuma bilang fakta." Arion membalas, terlihat sangat tidak menyukai kehadiran Zen. Drian menarik telinga Arion agak kuat, kemudian mencubit pinggang sang ayah.

"Yang sopan," ucapnya penuh penekanan. Alisnya bertaut sempurna, matanya membulat lucu, berniat memberi intimidasi pada Arion, sayangnya bukan terlihat menakutkan justru menggemaskan.

Zen tidak bisa menahan diri, ia mengelus rambut cucunya seraya berkata, "Lucu sekali, cucu bungsu Kak—"

"Jangan pegang-pegang, ini anak saya. Lagian tangan Anda najis." Arion menepis tangan Zen dari kepala Drian, matanya memicing penuh aura permusuhan.

Drian geram, kembali mencubit pinggang Arion lebih kuat, "Jangan malu-maluin," geramnya sembari melototkan mata.

"Aduh—" Arion memegang sisi pinggangnya yang dicubit Drian sebelum berkata, "Enggak, orang bener, tangannya najis, habis pegang tai cicak tadi."

Mendengar hal itu Drian segera mengibaskan rambutnya, takut ada tai cicak yang hinggap di rambut halusnya.

Gerald menatap mereka dengan datar, ke dua laki-laki itu memang tidak ada yang tahu malu.

Untung sayang.

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang