🐟 06 🦑

20.5K 2.1K 112
                                    

Atlas duduk diam memangku Drian, sedangkan di hadapan mereka ada Atlan dan Arion yang tengah disidang oleh Liandra, kakak tertua Arion sekaligus ayah dari Atlan dan Atlas.

Drian anteng di pangkuan Atlas sembari menunggu waktu membuka suara, ia tak enak jika harus memotong ceramah panjang Liandra.

"Haruskah aku menggantung kalian? Sudah berapa kali ku bilang? Sudah berapa kali ku ulangi? Jangan ada kekerasan, dalam semua hal! Selagi bisa dengan kepala dingin."

Arion bahkan tak berkutik ketika Liandra berbicara, Atlan bahkan tak berani untuk sekedar menggerakkan tangannya.

"Kalian tak bosan aku mengulang kata yang sama berkali-kali? Haruskah aku membuang kalian dari mansion ini?" Atlas mengangguk setuju atas ucapan sang Papi, sementara Drian terus memandang Arion dengan tatapan sayunya.

"Kalian tak malu pada Levan? Dan kau, Atlan. Kau hampir memukul adikmu sendiri jika Levan tak menariknya, beruntung mereka tidak terluka."

"Punggung Atlas sakit sebenernya, Pi," batin Atlas sembari tersenyum paksa.

"Hoam~" Atlas terkikik geli ketika melihat Drian berusaha tetap terjaga dengan kepala bergoyang-goyang karena mengantuk.

"Mengantuk lagi, hm?" Arion menghampiri Drian, kemudian mengelus pipi kanannya dengan lembut.

"Arion, mau durian," gumam Drian sembari berusaha masuk ke pakaian yang dipakai Arion. Sayang sekali, sang Daddy tengah memakai kemeja dengan kancing rapi.

Ups ... Daddy?

Arion tersenyum gemas, ia mengusap rambut Drian sebentar sebelum berbicara, "Ayo ke kamar saja."

"Duriannya Drian?" tanya Drian di tengah kantuknya.

"Nanti Daddy belikan," jawab Arion menyakinkan.

"Drian itu Drian tau, Rion gak mau percaya, Drian harus gimana biar Rion percaya?" gumam Drian. Atlas menegang, bukankah lebih baik Arion tak tahu dulu soal itu?

"Melantur lagi?" Atlas menghela nafas lega, untung saja Arion tak percaya.

Entah Omnya ini bodoh atau memang idiot, jelas sekali hanya sahabat Arion yang punya tabiat aneh, yaitu seperti orang mabuk ketika mengantuk, dan suka sekali masuk ke pakaian orang.

Jelas hanya Adrian, sahabat Arion.

"Arion, besok sekolah ya," ucap Drian sembari masih mendusel perut Arion.

"Kenapa gak bisa masuk?" tanya Drian dengan kesal.

"Ya, besok masuklah sekolah seperti biasa bersama Devan dan Andra," ucap Arion sembari menggendong Drian menuju kamarnya.

Atlan hendak pergi dari sana tapi Liandra tampaknya belum mau melepaskan Atlan.

"Papi belum selesai bicara, Atlan!" ucap Liandra tegas.

"Atlas, katakan apa yang kakakmu lakukan tadi," ujar Liandra pada putra keduanya, Atlas.

"Gak banyak, Pi. Cuma mau nampar aja kok," balas Atlas sembari tersenyum miring pada Atlan.

"Atlan, kau bukan hanya membenci Levan tanpa sebab, tapi bahkan hampir menampar adikmu sendiri?!" Liandra jelas emosi, ia tak pernah memberikan kekerasan sedikit pun pada ketiga putranya, tapi kenapa si sulung bahkan berani— ah sudahlah.

"Atlan menolak bocah itu, karena mungkin dia lah yang akan jadi alasan Atlas akan diabaikan!!"

"Hah? TUNGGU!! APA?!!!" teriak Atlas tak percaya.

Si pencinta baby boy itu berteriak sembari memegang kerah sang kakak.

Sialan, jadi dia adalah alasan Adrian ditolak oleh Atlan? Atau jangan-jangan ini juga alasan Atlan sangat peduli padanya dibanding adik-adiknya yang lain.

"Ah, dunia mulai tidak asik," batin Atlas.

Ia pria dengan jiwa bebas, tak mau dikekang, tapi pencinta baby boy. Impiannya ingin punya anak banyak, dan menjadi protective pada mereka.

Bukan menjadi yang dilindungi sampai terkekang.

Atlas shock, bahkan ketika Liandra memanggilnya, ia tak merespon dan memilih tertidur, maksudnya ia pingsan.

Pingsan karena terlalu shock.

Di luar angkasa memang.

🐟🐟🐟

Senyum cerah Drian tak berhenti tersungging pagi ini, disebabkan perkataannya kemarin Arion harus merelakan Adrian masuk sekolah hari ini.

"Baiklah, ini bekalmu, jangan lupa dimakan. Jika ada yang mengganggumu segera telepon Daddy, oke?" Drian mengangguk mengerti, ia tak tahu bagaimana Drian di sekolah, apakah di culun, atau si berandalan, jangan-jangan tukang bully?!!

Tidak mungkin pembully 'kan? Wajahnya saja sangat manis seperti ini, tak mungkin menjadi tukang bully.

Tapi mungkin saja Adrian Levan adalah target bully.

Oke, mari kita lalui hari ini dengan senyuman cerah.

"Nanti saat di sekolah, jangan senyum terus." Drian menatap heran pada Arion, kemudian mendelik sebal karena menyadari Arion cemburu.

"Berhenti bersikap kayak om-om pedo!!" seru Drian kesal. Ia segera menarik Atlas untuk mengantarkannya sekolah.

"Atlas belum seles—" Atlas menatap sang kakak dengan tatapan tajam, di sebelahnya ada Devan dan Andra yang sama-sama menatap piring Atlas.

Masih ada lauk dan nasi tersisa di sana.

"Drian, biarkan Kak Atlas menghabiskan sarapannya dulu, oke?" Andra membuka suara, membuat Drian menatap Atlas dengan tatapan polosnya.

Atlas, jelas lemah akan hal seperti ini.

*Cekrek.

"Kawaii~" Atlas berkali-kali memotret wajah Drian dengan ponselnya.

"Berpose dengan imut, lalu Abang akan mengantarkan mu ke sekolah. Haruskah kamu memanggilku dengan sebutan ayah atau semacamnya? Ya, mungkin lebih baik seperti itu." Drian menatapnya dengan datar, Atlas memang bisa dikatakan yang paling mudah didekati daripada keturunan Dafael lainnya.

Tentunya Atlas punya sifat yang agak menyebalkan.

"Gak. Enak aja nyebut ayah," tolak Arion dengan kesal. Atlas menatapnya dengan bibir mencibik sebal.

"Pelit, lagian kalau Drian panggil Atlas 'ayah' atau gak 'Daddy' gitu, entar Om Arion jadi 'Granddaddy' begitu," balas Atlas.

"Gak! Enak aja manggil dengan sebutan kakek, dikira udah tua apa?!" kesal Arion.

"Emang! Om udah tua!! Makanya patut dipanggil kakek!!" Atlas berucap tak mau kalah.

"Kalau Arion udah tua kita buyut gitu?" tanya Aarav, kakak ketiga Arion pada Liandra dan Arsen (kakak kedua Arion).

"Kalau kalian buyut, Papi fosil gitu?!" sahut Gerald tak terima akan ucapan putra ketiganya.

★★★

Drian sampai di sekolah, sekolah milik Dafael tentu saja, setidaknya ia ingat untuk bertanya pada Andra, dimana letak kelas Adrian Levan yang asli.

10 IPA 6. Karena ia juga alumni sekolah ini bersama Arion, Drian tahu, betul-betul tahu, IPA 6 adalah kelas menyebalkan menurut Drian.

Berisi murid murid nakal dan tampaknya si pemilik tubuh ini benar-benar sasaran empuk pembullyan, atau bisa saja penyebab kematian Adrian Levan karena depresi akibat dibully?

Haruskah ia meminta Arion memindahkan dirinya ke kelas lain?

Ya, mulai sekarang biarkan mantan dosen universitas Dafael sekolah lagi.

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang