11 - Death II

78 38 10
                                        

"Apa kau percaya bahwa kematian merupakan rencana dari Tuhan? Aku juga percaya. Tapi, tidak dengan yang satu ini. Yang satu ini rencana dari makhluk ciptaan Tuhan."

SETELAH kepergian Soni, seharian ini Ana hanya termenung di lantai balkon kamarnya. Kedua matanya sembab dan bengkak, hidung yang merah, serta perasaan yang kacau sebab Soni telah pergi meninggalkan mereka semua untuk selamanya.

Ana menggeleng pelan lalu menunduk dengan raut wajah yang sangat memprihatinkan. "Apakah ini semua terjadi karena diriku? Apakah aku penyebab Soni meninggal? Apa yang harus aku lakukan ... aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu bagaimana menghentikan semua ini. Aku terlalu bodoh dan lemah untuk menghadapi masalahku sendiri," ucap Ana dengan parau.

Gadis itu mengusap air matanya yang terus mengalir tanpa henti dengan kasar. Ini terlalu menyedihkan untuknya.

Tak jauh dari tempat Ana, kedua orang tuanya sedang mengamati putri mereka dari balik pintu. Mereka lalu menarik napas sejenak sebelum pergi ke tempat Ana dengan niat ingin menenangkan putri bungsunya itu. Loi juga turut ikut di belakang kedua orang tua mereka.

"Apa yang kau pikirkan, Sayang. Ingatlah semua ini bukan salahmu," jelas Laetitia sambil memeluk Ana dari samping. Gadis itu hanya bisa menganggukkan kepalanya.

Adrieto kemudian berjalan ke depan putri bungsunya itu lalu jongkok dan menggenggam kedua tangan Ana. "Nak, jangan bersedih terus. Soni pasti sekarang tidak bisa hidup bahagia di atas sana kalau melihatmu menangisi dia tanpa henti."

Laetitia memukul pelan bahu Adrieto karena ucapannya barusan itu tidak seharusnya di situasi sekarang.

"Hey ... dengarkan ibu. Tidak masalah jika kita menangisi orang yang kita sayangi telah pergi. Itu sangat wajar...," Laetitia meraih dagu Ana dan menatapnya dengan tulus. "...tapi jangan sampai kau melupakan semua hal yang harus kau pertanggung jawabkan. Ingat, 'kan kalau kau saat ini masih ujian sekolah? Ibu tidak mau beban pikiranmu bertambah di situasi sekarang." Setelah mengatakan itu, Laetitia keluar dari kamar Ana disusul oleh Adrieto.

Loi berdehem pelan lalu mengusap rambut adiknya itu dengan sayang. "Ikhlaskan dia, Ana. Aku tahu kau gadis yang kuat. Mungkin berat mengikhlaskan seseorang secara cepat. Tapi, itulah yang harus kau lakukan. Aku selalu di sini bersamamu."

"Terima kasih. Kau sangat baik hari ini."

Loi kemudian duduk berpangku tangan. "Jadi, apa tujuanmu kuliah di Gloucestershire tetap dilaksanakan?"

Ana meringis setelah mendengar pertanyaan kakaknya. "Aku harap begitu. Tapi, sayangnya aku sudah membulatkan tekadku untuk kuliah di Texas."

Loi sedikit terkejut dengan keputusan Ana. "Apa yang kau pikirkan ... apa tujuanmu ingin kuliah di sana?" tanya Loi penasaran.

Bahu Ana merosot. "Entahlah, firasatku mengatakan aku harus ke sana."

***

Pemakaman siang ini penuh haru dan kesedihan. Orang tua Soni selaku keluarga inti, serta kawan-kawan Soni di sekolah juga turut berduka cita atas kepergian orang yang terkasih. Sedangkan Ana hanya diam termenung dengan wajah yang sudah letih. Air mata gadis itu sudah mengering sejak kemarin sore.

INEFFABLE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang