04 - Terror

101 36 9
                                    

SEORANG pria dengan setelan rapi ditemani dengan kedua pria kekar yang berbadan bongsor sedang menuju lift untuk sampai ke tujuan. Salah satu pria kekar atau sebut saja pengawal pribadi menekan tombol lift lalu mereka pun masuk. Pria bersetelan rapi tersebut dengan iris mata birunya yang mempesona sedang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Garis wajahnya yang tegas terpahat sempurna layaknya sebuah patung dewa.

"Kalian hanya bertugas setengah hari untuk hari ini. Aku ingin menghabiskan waktu di rumah setelah meeting selesai."

"Baik, Pak Martin."

Pria yang disapa Martin itu pun tampak sedang menghubungi seseorang. "Ada yang ingin kuberitahu," ucapnya setelah panggilan tersambung.

"Begini...," Martin tampak memikirkan sesuatu. "Tidak kusangka jika akan bertemu Analeigh di jalan menuju perusahaan," ucapnya sambil menaikkan satu sudut bibirnya.

Sekarang dia sudah berada di depan ruangannya. Martin kemudian memberikan isyarat pada kedua pengawal pribadinya untuk pergi meninggalkan dia sendiri dan menikmati libur setengah hari yang sudah diberikan.

"Huh ... jadi selama ini kau sendiri tidak tahu rupa korbanmu? Apa kau sudah gila?" sarkas orang itu.

Martin tertawa kecil. "Aku tahu itu fakta yang konyol. Begini saja, kau akan menjalankan tugasmu ketika sudah kuperintahkan."

Orang yang di telepon menggeram. "Padahal sudah susah payah kucari tahu dia agar kau puas," ucap orang itu dengan menekankan kata 'puas' di akhir kalimat.

Martin terdiam sesaat kemudian tersenyum penuh arti. "Aku hanya ingin mengetahui lebih banyak dulu tentang dirinya." Setelah itu Martin memutuskan panggilan mereka.

***

"Sebenarnya apa yang membuatmu senyum-senyum sejak tadi? Kau sedang kasmaran lagi ya." Loi merasa risih sendiri karena memperhatikan adiknya yang tersenyum seperti orang gila.

08.28 p.m

Ana melihat jam dinding yang terpajang di dekat lemari pendingin. Sudah waktunya makan malam ternyata, dan daritadi dirinya hanya melamun di meja makan sambil menopang dagu. Ana merasa kasihan pada kakaknya. Kesusahan sendiri menyiapkan makan malam. Tapi sesekali tidak apa, karena Loi memang suka membuatnya terpelatuk juga.

TUK!

Loi memukul dahi mulus adiknya itu karena kesal dari tadi ucapannya hanya dianggap angin lewat.

"Tsk ... kau ada masalah apa, sih," kata Ana kesal, "ngomong-ngomong, tadi siang aku bertemu pria tampan loh hi-hi." Raut wajah Ana yang tadinya kesal kini menjadi sumringah.

"Lalu?" Loi malah terlihat tak peduli sama sekali.

Tanpa menghiraukan kakaknya, Ana kembali bercerita. "Dia lebih tua enam tahun dan sepertinya sudah berkarir. Selain itu dia sangat karismatik dan punya daya tarik yang manis," ungkap Ana dengan kedua tangan tertaut sambil memasang ekspresi kagum.

"Lebih baik kita mulai makan malam. Telingaku sudah geli mendengar celotehan manismu itu."

Ana mengibaskan tangannya di depan wajah malas lalu kedua bersaudari itu makan dengan tenang sambil menyelami pemikiran masing-masing.

Setelah makan malam selesai, Ana membantu kakaknya membereskan meja makan hingga bersih.

"Kau harus hati-hati jika berpacaran dengan pria tampan yang kau maksud itu. Aku hanya menasihatimu, loh. Mengingat kau ini labil dan mudah dibodohi," ucap Loi tiba-tiba tanpa merasa bersalah saat menuntaskan cucian piring kotor.

INEFFABLE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang