Bab 4

70 17 0
                                    

"Mas."

"Hmmm."

"Aku boleh numpang sampai depan?"

Adiyaksa tidak langsung menjawab, pria itu malah berdiri tanpa memberi respons apa pun. Membuat Fahma yang tak jauh posisinya dari sang suami, menjadi kebingungan. Padahal kalau tidak diizinkan sekalipun, tak apa, Fahma akan naik kendaraan umum saja.

"Kalo nggak bisa ...,"

"Lima menit, lebih dari itu saya tinggal." Ucap lelaki itu memotong kalimat Fahma yang mengandung putus asa.

.
Mendapati dirinya boleh ikut sampai ke jalan besar. Tentu saja Fahma begitu senang, wanita itu melipat bibirnya ke dalam hanya untuk menyembunyikan rasa girang.

"Di depan aja, Mas. Nanti aku naik ojol aja ke sekolahnya." Kata Fahma sembari mengarahkan telunjuknya ke dekat mini market.

Namun, Fahma dibuat heran oleh pria itu sebab kendaraan yang dikemudikan oleh pria itu, tidak kunjung menepi diperhentian jalan.

"Loh, Mas," seru Fahma dengan mimik wajah kebingungan.

"Di mana sekolah kamu," ucap Adiyaksa masih dengan intonasi suara andalannya yang persis papan setrikaan.

"Lurus, nanti belok kanan. Lurus lagi, masuk perempatan belok kanan, dekat kedai ice cream terhalang dua bangunan. Di sana," papar Fahma.

"Apa kamu pikir saya ini buta jalanan sampai kamu menjelaskan sedetail itu? Kamu hanya perlu memberi tahu saya nama blok tempat kamu mengajar atau setidaknya nama jalan," protes Adiyaksa.

"Di jalan kebangsaan." Sahut Fahma singkat dan kelewat pelan.

Mungkin jawaban Fahma tadi termasuk dari meningkatnya hormon dopamin mendorong sarafnya secara spontan karena saking senangnya ia kali ini diantar oleh suaminya. Padahal niatnya tadi hanya menumpang sampai jalan depan.

.
Fahma melambaikan tangan diam-diam setelah mobil Adiyaksa kembali melaju diantara jalanan. Masih dengan aura wajah yang diliputi kegembiraan, Fahma sampai-sampai membalas salam dari para murid dengan senyum yang lebar.

"Cieee, yang dianterin," ejek Hana sembari menyenggol lengan Fahma.

"Nggak sengaja nganter, kok." Fahma mencoba mengelak.

"Mau bohongin gue. Padahal nih, kaca. Lihat muka lo dari tadi udah mirip sama udang rebus."

Seakan pernyataan itu benar, kedua tangan Fahma buru-buru ia tangkupkan kedua sisi pipinya.

Melihat tingkah Fahma. Hana pun terkekeh di dekatnya. Wanita yang masih betah melajang itu sangat tahu persis akan gerak-gerik Fahma. Menerka-nerka bahwa sahabatnya itu memang tengah pun jatuh cinta.

Jujur saja Hana merasa turut senang untuk itu. Seorang Fahma yang sering kali kurang beruntung dalam kisah asmara, terus terluka dan dikhianati oleh laki-laki pengumbar janji. Hana pun tahu, betapa terpuruknya Fahma ketika segala sesuatu hal mengenai rencana pernikahan hanya tinggap wacana.

Sebab pria yang mendekati Fahma kebanyakan hanya berniat untuk mempermainkan. Tidak benar-benar seserius, seperti apa yang dikatakan. Hanya sebatas sesumbar, seolah benar dengan kabar yang tersiar, sementara detik waktu berjalan, semua perlahan memudar hingga perasaan Fahma bermuara di ujung pendar. Kasihan!

.
Putaran jam menuntun langit dan sorot matahari terus bergeser ke sisi bagian belahan dunia lain. Dalam perjalanan pulang Fahma terus saja mengoceh, seakan meminta pendapat atau sekadar memberinya opsi pilihan tentang menu makan malam yang akan ia siapkan.

Ah, iya, sedikit kabar baik tentang sarapan atau hidangan yang Fahma sajikan. Seiring berjalannya waktu, lambat laun suaminya mulai sering makan di rumah. Pagi yang biasanya Fahma jalani dengan setengah hati, kini dirinya siap siaga menyiapkan bahan masakan dari malam hari.

Lagi, Hana menangkap itu sebuah perkembangan untuk rumah tangga sahabatnya itu. Sebab sering kali Fahma merasa bimbang akan perjalanan pernikahannya ini, terlebih sikap yang suaminya tunjukkan. Apakah bisa membuat Fahma bertahan, atau malah memilih jalan perpisahan.

Namun dari segala pemikiran tentang Fahma, semoga saja pernikahan teman dekatnya itu ada untuk sekali seumur hidup, selama nyawa masih melekat di badan.

.
"Masak yang simple aja, sih, Fah," saran Hana.

"Ayam goreng madu, tumis wortel brokoli sama kerupuk. Eh, nggak. Di rumah nggak boleh ada kerupuk," tukasnya berkata setengah kebingungan, tetapi ia koreksi sendirian.

"Ya, ya, ya! Lo mau masak perkedel batu atau tumis genteng sekali pun, gue nggak bakalan ikutan makan," cicit Hana.

"Ya kali gue ngasih batu buat mas Adi." Fahma nampak membela.

"Biar otak laki lo itu bisa mencair dikit, nggak sok jutek butuh nggak butuh sama lo," kesal Hana.

"Sedikit banyak dia banyak berubah kok," tukas Fahma.

"Gue percaya itu. Kan gue juga pernah bilang sama lo, kalau semua butuh waktu. Terus berdoa dan lihat bagaimana Tuhan, menjungkir balikkan hati dia." Pungkas Hana yang menghentikan langkahnya di parkiran.

Fahma mengangguk setuju, konyol memang sewaktu Fahma menggerutu karena nasib pernikahannya membuat pikirannya buntu. Bahkan sempat seputus asa itu, sampai dirinya tidak yakin akan pengakhirannya jauh lebih baik dari apa yang sempat ia takutkan.

                               ***

"Selesai!" Kata Fahma dengan riang.

Sepasang irisnya menatap meja makan, di sana terdapat beberapa menu olahan yang ia buat barusan. Kini, dirinya hanya tinggal menunggu sang suami pulang. Biasanya, sebentar lagi. Ya, sebentar lagi.

Kurang dari tiga puluh menit berlalu, suara tapak kaki dan sayup-sayup suara obrolan terdengar setelah bunyi mesin kendaraan di matikan. Segera, Fahma bergegas menuju ruang depan untuk membuka pintu.

Senyum di wajahnya masih setia menghiasai keayuan rupa. Meski sesuatu yang di depan matanya kini, mampu mengubah rona lain dalam rautnya.

"Jelita akan tinggal bersama kita sementara waktu. Kamu, bisa tolong bereskan kamar tamu." Ucap Adiyaksa sewaktu Fahma membuka lebar papan datar berwarna kecoklatan itu.

Jelita, ia perempuan yang waktu itu. Dulu hanya mampir sebentar, lalu kini kenapa ia tiba-tiba tinggal?

.
Bersambung ....

Halo, selamat sore. Fahma kembali menyapa, masih ada yang menunggu kisahnya Fahma dan Adhiyaksa?

Makin geregetan loh, alurnya👌

(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang