Bab 3

106 19 0
                                    


Hari minggu bersama sorot matahari cerah, Fahma diam membisu di samping Adhiyaksa yang mengemudikan kendaraannya.

Semalam, wanita itu kena tegur sebab dirinya turun ke dapur dan hanya makan mie rebus. Adhiyaksa mengingatkan jika terus menerus memakan makanan instan setiap hari itu sangatlah tidak baik untuknya.

Bukan tanpa alasan Adhiyaksa melakukan itu. Sebab, setiap malam saat pria itu hendak membuat kopi yang ia temukan di bak sampah adalah banyaknya bungkusan mie instan berbagai merk.

Secara refleks, laki-laki itu membuka suara saat tidak sengaja menemukan Fahma sedang berjinjit dengan tangan kanan terulur ke atas. Mencoba penuh kepayahan membuka kabinet di mana panci biasa dirinya memasak mie terdapat di sana.

Akan tetapi, sayangnya, dengan ketusnya Fahma menjawab jika lelaki itu tidak perlu memedulikan dirinya.

Karena dari awal menikah saja sudah jelas bahwa memang Fahma bukan pilihannya. Jadilah sekarang di antara keduanya perang dingin, saling bungkam satu sama lain.

Hanya saja, sepertinya di sini Fahma yang harus mengalah. Sebab tidak mungkin baginya terus memasang muka semasam cuka saat mengunjungi nenek mertuanya.

Hingga di persimpangan jalan kota, mobil Adhiyaksa berbelok ke arah perumahan. Di mana di area kompleks pemukiman warga-warga kaum elite menempati huniannya yang megah.

Jejeran pohon palem, dan jalanan yang teduh. Kendaraan yang sejak tiga puluh menit lalu dikendalikan oleh Adhiyaksa memasuki halaman rumah tanpa gerbang. Di sana, sudah pasti keamanan sangat terjamin selama dua puluh empat jam.

Setibanya, Adhiyaksa melirik sekilas pada Fahma yang masih bungkam seribu bahasa dan setelah laki-laki itu melepas seat belt, si pemilik mata tajam itu menghela napas.

"Saya minta kali ini saja, tolong bekerja samalah," ucapnya. "Tunjukkan pada nenek bahwa hubungan kita baik-baik saja, oke?!" sambungnya.

Sebetulnya, tanpa suaminya minta pun, Fahma sudah paham harus bersikap bagaimana di depan keluarga pasangannya itu. Juga, Fahma benar-benar tidak mengira bahwa seorang Adhiyaksa akan menurunkan egonya yang diketahui tingginya melebihi gunung merapi. Pantas saja, gampang tersulut emosi.

                                    ***
"Kalian sudah datang," sambut Nenek begitu semringah.

"Apa kabar, Nek?"

"Seperti yang kamu lihat, Adi. Melihatmu sudah menikah, Nenek merasa semakin sehat," ujarnya.

"Baguslah kalau begitu," timpal Adhiyaksa.

"Fahma, cucu mantuku. Kemarilah," sapa Nenek beralih pada perempuan yang berdiri dengan tangan mengait asal pada lengan sang suami.

Fahma menurut, bahkan ia merasa bersyukur sebab bisa lepas sebentar dari atmosfer panas yang membuat moodnya gerah.

Cepat-cepat Fahma menempelkan diri pada Nek Irma dengan perasaan senang.

"Apa dia berbuat baik padamu?"
Mendengar pertanyaan yang menurut Adhiyaksa sendiri sangatlah konyol itu hanya merotasikan kedua mata.

"Tentu saja, Nek. Kalau tidak, bagaimana Adi mengajaknya ke sini." Sang cucu menyahut cepat sembari menggaruk ujung alisnya yang sama sekali tidak gatal.

"Nenek tidak bertanya padamu. Jadi diamlah," pungkas Nenek. "Bagaimana, Fahma?" ulang Nenek.

Sebelum menjawab, Fahma sempat menyembunyikan senyumnya. Karena baru kali ini melihat ekspresi lain dari si lahar gunung merapi kena tegur dari neneknya sendiri.

"Baik, Nek. Bahkan sangaaaaaat baik!" Fahma sengaja menekankan kata sangaat sebagai bentuk sindiran untuk suaminya.

"Tuh, kan Nek." Lagi-lagi Adhiyaksa menimpali.

"Syukurlah kalau begitu. Nenek senang mendengarnya, jadi nenek tidak merasa sia-sia sudah menikahkan kalian. Terutama menikahkannya denganmu Fahma," ungkap Nenek dengan tulus mengatakan itu.

Adhiyaksa itu, orang tuanya berpisah sejak kecil. Ayahnya adalah putra dari Nenek Irma, laki-laki satu-satunya. Di keluarga ini, masih ada tradisi menjodohkan anak lelakinya pada wanita pilihan yang menurut penilaian mereka baik. Beruntungnya, orang kaya seperti Nek Irma tidak memandang semua menantu dari segi harta. Menurutnya, syukuri saja. Toh harta tidak akan dibawa mati. Tetap saja yang ada hanya raga tanpa nyawa.

Akan tetapi, dari perjodohan yang dilakukan oleh Nenek terhadap orang tua Adhiyaksa tidak berlangsung lama. Ayah dan ibunya sepakat berpisah saat Adhiyaksa menginjak usia ke tujuh tahun. Alasannya, karena dari awal menikah tak ada rasa cinta di antara keduanya. Meski memiliki satu putra, orang tua Adhiyaksa tak ada yang mau membawanya.

Merasa kurang kasih sayang dan perhatian yang seharusnya ia terima. Adhiyaksa tumbuh menjadi sosok yang keras kepala dan egois. Laki-laki itu bisa luluh kalau sudah menyangkut neneknya.

Bagi Adhiyaksa, Nenek adalah segalanya, wanita dengan usia mendekati usia senja itu yang telah memberi kehidupan untuk Adhiyaksa.
Jadi, bisa disimpulkan bukan?

Adhiyaksa mau menyanggupi pernikahan karena keinginan sang Nenek. Meski ia pernah begitu meminta supaya Fahma membujuk Nek Irma agar membatalkan pernikahan itu.

Sayangnya, mau sekuat apa pun meminta, jika takdir yang bicara maka sebagai manusia, dirinya bisa apa?

"Ayo makanlah, ini Nenek sengaja persiapkan untuk kalian."

"Terima kasih, Nek."

"Jangan merasa sungkan, kamu sering-seringlah main ke sini, ya?"

"Baik Nek."

Raut wajah Nenek semakin berbinar. Senyumnya semakin merekah meski jelas kulitnya telah hampir dipenuhi keriput.

"Nek," panggil Adhiyaksa yang berjalan mengekori istri dan neneknya.

"Apa?" sahut Nenek sembari membalikkan badan.

Adhiyaksa diam sebentar, ia mendadak lupa dengan apa yang ingin ia katakan.

"Nggak jadi, deh!" pungkasnya.

Nenek hanya menggeleng, dan Fahma secara tidak sadar memerhatikan lelaki itu. Karena dari kerasnya sifat yang suaminya punya, ternyata ada sisi manja yang tak bisa pria itu sembunyikan jika berdekatan dengan sang Nenek.

Matahari semakin menggeser ke arah barat. Cuaca tak lagi sepanas saat Adhiyaksa dan Fahma datang. Selepas makan siang, ketiganya bercengkerama di halaman belakang.

Sekadar mengobrol ringan tentang pekerjaan yang Adhiyaksa emban. Namun, dari fokusnya Nenek mendengar uraian laporan dari Adhiyaksa, ucapan yang tak pernah Fahma duga malah ia dengar secara tiba-tiba.

"Kapan kalian akan memberikan nenek cicit?”

Bersambung ....

Kencengin votenya, Bestie🥳

(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang