Bab Empat Belas

105 22 2
                                    

Semakin hari, Fahma perhatikan sikap suaminya benar-benar berkebalikan dari sebelumnya. Itu jelas mengherankan dan terus saja mengundang pertanyaan-pertanyaan serupa, 'ada apa?'

Mungkin perubahan seseorang itu bisa dianggap wajar. Akan tetapi bagaimana pun juga semua membutuhkan waktu. Dan hal itu yang membuat Fahma uringan-uringan dan merasa adanya kejanggalan akan perubahan sikap dan sifat suaminya itu, karena Fahma nilai ini terlalu cepat.

Jadi, bagaimana bisa, kan?"

.
"Wooy, ngelamun!" tegur Hana.

"Nggak kaget, mon maap."

"Yaelah gitu amat! Kenapa sih?"

Fahma memandang Hana beberapa saat, bibir bawahnya ia gigit dengan pikiran berlomba mengambil keputusan apa harus dirinya menceritakan hal semalam atau ia diam-diam saja dulu sampai semunya terlihat jelas.

Akan tetapi, lagi-lagi Fahma harus ingat, bahwa sejauh mengenal Hana. Tak pernah sekalipun ia berpikir sampai sebegininya. Karena kadang biasanya, Fahma sering berbagi cerita tanpa harus permisi terlebih dahulu.

Ini semakin menyebalkan!

"Bengong lagi," sergah sang sahabat.

"Orang itu, entah kerasukan apa? Gue nggak tahu deh," cerocos Fahma.

"Hah?" Ekspresi Hana jelas disertai kening berkerut-kerut.

"Kemarin kan gue udah bilang mau keluar dari rumah itu, tapi yang ada dia malah mendadak berubah. Mana manis banget lagi ke gue, beda dari sebelum-sebelumnya. Kan, gue jadi kaget plus merinding sendiri," adunya.

"Laki lo?" tanya Hana kemudian.

"Emang gue lagi nyeritain siapa, Hanaaaa!"

Hana tahu, bahwa sahabatnya itu sedang dalam tahap emosi. Dan dirinya sengaja membuat kesabaran seorang Fahma yang setipis tisu dibagi dua.

"Bagus dong kalau suami lo berubah, berarti ada harapan rumah tangga lo terselamatkan."

"Ya, tapi gue heran aja, Han."

"Heran?"

"Hmmm! Gue takutnya ada udang dibalik bakwan."

"Itu mah doyanan elu."

"Kek lo nggak doyan aja sih!"

"Gasslah. Pesen ke Mbak kantin."

"Boleh, cabenya yang banyak."

"Oke, gue chat sekarang Mbak kantinnya."

"Gue pesen lima ribu aja deh."

"Harusnya tambahin sih, jan segitu. Soalnya kan lo lagi kepo maksimal."

"Kepo? Gue kepo apaan?"

"Nah itu, kepo sama laki sendiri. Ampe ragu begitu. Harusnya ya, lo tu sujud syukur. Bikos kan lo nggak harus capek-capek juga jadinya buat terus-terusan ngejar dan berharap sendiri." Hana menyahut dengan mode serius.

"Iya, juga sih! Tapi ...,"

"Lo hanya harus ngasih kesempatan dan lihat seberapa seriusnya suami lo dalam memperjuangkan keberlangsungan rumah tangga kalian. Kalo emang lo masih sangat meragukan itu, lo bisa mengujinya dengan pura-pura sok cuek." Kata Hana kembali memberi saran untuk Fahma.

Oke, itu sepertinya cukup masuk akal supaya Fahma bisa benar-benar yakin dan prasangka buruk yang ia pikirkan, itu tidaklah benar.

                                  ***

Waktu pulang sekolah tiba, Fahma dikejutkan oleh seseorang yang datang menjemput dirinya. Walau sempat ingin menolak, apa daya jika akhirnya harus ikut juga.

"Mau makan malam di luar, nggak?" tanya laki-laki yang lima menit lalu diam fokus dengan kemudinya.

"Capek!" jawab Fahma singkat, namun jelas itu berisi penolakan.

"Mau dong, ya," tukas Adhiyaksa.

"Nggak." Fahma nampak bersikukuh sehingga Adhiyaksa mau tidak mau harus memutar otaknya sekali lagi.

"Menginap di rumah ibu, sepertinya oke. Aku ingin memancing juga, kolam belakang rumah ada ikannya, kan?"

"Itu bukan kolam, tapi empang," sela Fahma cepat.

"Iya, itu maksudnya. Kebetulan kan, besok weekend. Mau, ya?"

Fahma mencebik, sial sekali rupanya. Lelaki itu menggunakan intrik seperti ini sehingga membuat Fahma mau tidak mau, akhirnya harus menyanggupi. Sebab sudah lama Fahma sendiri tidak mengunjungi ibunya.

.
Setibanya di rumah, Fahma bermaksud hendak ke kamarnya setelah mengambil satu setel pakaian ganti untuk ia gunakan setelah mandi nanti. Namun, saat dirinya mencoba mendorong pintu ruangan bekas tempat pribadinya itu. Kondisi papan datar tersebut sudah dalam kondisi terkunci.

"Kamar itu, nggak bisa kamu pakai sementara waktu." Sergah seseorang yang jelas itu adalah suara milik suaminya.

"Kenapa?"

"Aku rencana mau merenovasinya sedikit untuk menjadikannya kamar anak," sahutnya cukup tenang.

"Anak?"

"Ya, kita harus secepatnya memiliki seorang anak."

"Kenapa tiba-tiba begitu? Bukannya kamu tidak menyukaiku? Harusnya kalau kamu memang menginginkan, minta saja pada Jelita," sembur Fahma jadi emosi sendiri.

"Kenapa harus Jelita, saya jelas-jelas punya istri sah yang bisa saya ...,"

"Oh, jadi kamu berubah menjadi sosok pangeran baik hati hanya untuk menginginkan itu?" terka Fahma dengan suara yang  coba ia tahan supaya teriakannya tidak mengganggu siapapun.

Adhiyaksa menggeleng, ia menepis tuduhan yang sudah istrinya itu lemparkan untuknya.

"Aku sama sekali nggak ada pemikiran ke sana. Aku benar-benar ingin memperbaiki hubungan kita yang penuh kekeliruan kemarin," elaknya. "Lagi pula di usaiku yang sekarang memang sudah sepantasnya sudah mempunyai keturunan." Sambungnya.

Fahma menatap lekat-lekat wajah suaminya itu. Di sana, di antara gurat yang sebelum-sebelumnya selalu saja menghadirkan kata tak ramah. Kini rupa itu terlalu tenang, sehingga tak bisa Fahma baca akan ada maksud dan tujuan dari lelaki itu.

Membuat diri Fahma dilingkupi kebingungan, menggerus perlahan keinginan yang kemarin terlampau kuat. Yakni, perpisahan yang sekiranya bisa menghadirkan tenang untuk dirinya dari siksanya pernikahan tak diinginkan.

"Aku akan menunggu, sampai kamu siap. Jangan khawatir, aku bukan pemaksa yang suka sekali bertindak biadab." Pria itu kembali bersuara, lalu setelahnya hanya menyisakan hening karena tapak lelaki itu terdengar samar dan menjauh meninggalkan Fahma bersama keraguan yang kian terhapus oleh putaran waktu.

Bersambung ....

Happy Reading, Terima kasih.

(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang