Sorot matahari dan denting waktu yang berputar masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Namun atmosfernya terasa begitu lain bahkan terlampau panas.
Sementara di ruangan rumah itu tak begitu banyak orang. Hanya ada Nenek yang menatap ketiga orang di depannya satu persatu.
Termasuk Fahma, wanita itu duduk menunduk di depan nenek sejak kedatangannya tidak kurang dari sepuluh menit lalu
Tak hanya Fahma, di sana terdapat juga Adiyaksa dan Jelita. Dengan alasan darurat, Nenek meminta pasangan suami istri itu putar balik saat itu juga.
Sampailah kini ketiganya hanya bisa memalingkan tatap mata ke arah lain. Asal tidak bersirobok dengan nenek yang jelas sekali dari sorot matanya dipenuhi kecewa.
.
"Nenek sengaja menikahkanmu, supaya kamu bisa lepas dari wanita ini, Adi. Tapi kenapa bisa-bisanya malah menyimpan perempuan ini di rumahmu sendiri.""Adi nggak punya pilihan, Nek."
"Siapa yang menyuruhmu menjawab?"
Adiyaksa menggeleng pelan, padahal dirinya hanya ingin memberi penjelasan.
"Fahma," panggil Nenek kali ini menyeru tegas pada gadis yang saat ini masih menekuri lantai.
"Apa kamu sebegitu lemahnya sampai-sampai membiarkan rumah tanggamu sendiri disusupi wanita lain secara terang-terangan?" tanyanya.
Fahma diam, ia tak langsung menyahuti perkataan dari perempuan tua yang begitu dirinya hormati.
Melihat respons Fahma hanya bungkam. Terdengar helaan napas dari Nenek.
"Nenek pikir, menyatukan kalian berdua itu adalah keputusan yang paling bijak. Cucu laki-laki satu-satunya yang kubesarkan dengan tanganku sendiri ini bisa berubah. Dan Nenek menggantungkan harapan itu padamu, Fahma." Ucap Nenek seolah menyudutkan sang cucu menantu.
"Nek." Fahma menggumam.
"Dari semalam, sebenarnya Nenek sudah sangat curiga pada tingkah kalian berdua. Dan ternyata memang benar apa dugaan Nenek, kalian tidak benar-benar bersama." Sambung Nenek lagi.
"Sudah, cukup, Nek. Ini rumah tangga Adi, Nenek tidak perlu ikut campur terlalu jauh." Lelaki itu kini membuka suara.
"Rumah tangga! Apa kamu baru saja mengakui kalau kamu sedang berumah tangga? Lalu apa tidur terpisah, menyimpan mantan pacarmu di sini, itu masih bisa disebut rumah tangga?" pekik Nenek mengagetkan ketiganya.
"Nek."
"Fahma, sekarang apa keputusanmu? Kalau ingin berpisah darinya, cepat urus semuanya. Nenek akan berikan pendampingan hukum."
"Nek, nggak gini!" Adiyaksa nampak langsung berdiri dari duduknya tatkala mendengar ucapan sang Nenek.
"Diam! Kamu memang laki-laki tidak tahu di untung. Sudah tahu wanita ini mengkhianatimu, pernah hamil oleh laki-laki lain juga, tapi dengan entengnya kamu membawanya ke sini?" Marah Nenek lagi.
"Nek, Adi dan Jelita nggak punya hubungan apa-apa. Kami sudah berakhir," tukas Adiyaksa.
"Kalau memang menurutmu berakhir, coba kamu pilih antara Fahma dan dia." Tantang Nenek. Meski kerutan sudah mengelilingi kulit area mata. Akan tetapi masih bisa jelas memandang cucunya yang masih saja enggan berubah.
***
Fahma menangis sesenggukan di dalam kamarnya. Ia merasa sudah kalah dari semuanya. Mungkin benar apa kata Nenek, berpisah adalah jalan terbaik saat ini dari pada makan hati melihat keakraban dan pembelaan yang diberikan oleh suaminya.
Dari sorot matanya juga nampak begitu jelas. Bahwa perasaan yang hadir tak bisa tergantikan olehnya meski ikatan antara dirinya dengan Adiyaksa halal di mata hukum dan agama.
Akan tetapi lagi-lagi, Fahma mengingat kalimat andalan suaminya tentang dirinya yang bukan perempuan pilihan. Walau dirasa begitu berar, Fahma memang harus segera mengambil langkah keputusan tepat, sebelum semua semakin terlambat.
.
Riuh suara angin dari balik jendela yanh terbuka. Juga sibakan dari helaian kain gorden menari-nari seolah sedang mengejek dirinya. Entah sudah berapa lama Fahma berdiam diri di dalam kamarnya. Wanita itu pun tak tahu.Hanya saja yang Fahma tahu hanya langit sudah kembali menunjukkan gulita.
Wanita itu, mengesat ujung hidungnya dengan tisu sekali lagi. Lalu membuangnya asal. Di mana kertas-kertas itu berserakan di lantai dan ada juga berserak di sekitar ranjang.
Namun, disadari atau tidak. Dari pintu yang tidak sepenuhnya tertutup rapat. Ada seseorang mengawasi dari luar. Melihat Fahma terus saja bersedih hati sendirian. Ada kasihan datang menyergap perasaan.
Meski terkesan tak sopan, tetapi di detik berikutnya. Sosok laki-laki yang menyaksikan Fahma diliputi kesedihan itu, masuk ke dalam kamar tanpa mau repot-repot mengetuknya terlebih dahulu.
"Udah nangisnya?" tegur Adiyaksa mengagetkan Fahma.
"Ngapain ke sini?" tanyanya ketus.
"Ini rumahku, kok!" ujarnya tetap menunjukkan kuasa.
"Iya tahu, ini rumah kamu. Memang aku ini apa? Cuma orang yang numpang hidup," cercanya di tengah isak.
"Sini," ajak Adiyaksa sembari memegang lengan Fahma.
"Nggak mau," tolak Fahma menarik tangannya dari sang suami.
"Nggak boleh gitu. Aku suamimu, loh!" pungkasnya tegas.
"Sekarang aja ngaku suami. Kemaren-kemaren ke mana aja?" sindir Fahma lagi.
Adiyaksa diam, pria itu berdiri di samping tempat tidur. Kedua tangannya yang beberapa menit lalu bebas itu kini ia sembunyikan dibalik saku celana pendek yang ia kenakan.
"Aku ke sini mau ngajakin kamu ngomong baik-baik. Jadi, please, jangan bawa-bawa Jelita dalam obrolan kita, oke!"
"Bela aja terus. Nikahin aja sekalian, sana."
"Fahma, ini antara kita. Nggak ada hubungannya sama Jelita."
"Terserah! Aku hanya bakalan ngasih kamu pilihan. Bertahan bersamaku, atau kamu memilih dia?"
Adiyaksa menelan ludahnya kasar. Sungguh dirinya paling tidak bisa diberi pilihan seperti ini. Meski dirinya sudah jelas mengalah dan menuruti sang Nenek. Tetap saja, seharusnya pertanyaan seperti itu tak harus diungkapkan lagi.
.
Bersambung .....
Fahma hadir lebih awal, bikos hari ini ada sedikit yang harus diselesaikan.Selamat membaca, jangan lupa vote dan juga koment-nya.
Selamat pagi, dan selamat beraktifitas.
Cemiwiiiwww🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBIT
Literatura FemininaAyudia Fahma menikah dengan seseorang yang tak menginginkan kehadirannya. Selama pernikahan berjalan, tak ada keramahan atau sikap selayaknya suami terhadap dirinya. Meski sadar begitu dibenci oleh pasangan sendiri. Fahma terus melawan dan meyakini...