Bab Tiga Belas

92 22 6
                                    

Fahma mengembuskan nafasnya kasar. Wanita itu tetap berdiri di muka pintu yang tertutup rapat. Dengan setelan pakaian tidur berlengan panjang bermotif senada seperti yang dikenakan oleh Adhiyaksa, suaminya.

"Ayo cepat, kita tidur. Ini sudah larut malam." Lelaki itu berujar sembari menepuk-nepukkan tangannya di antara ruang kosong yang ia tempati.

Namun, perempuan itu malah semakin menyipitkan sepasang matanya. Pikirannya masih sulit mengerti akan perubahan kilat yang ditunjukkan oleh suaminya. Sementara selama pernikahan, laki-laki itu terus berpegang teguh pada prinsip dengan jargon andalan khusus untuk Fahma. Yaitu, bukan perempuan pilihan.

Lalu kenapa sekarang bertindak demikian? Wajar rasanya jika Fahma curiga akan tingkah suaminya. Itu sangat kentara dari kebencian yang selama ini Fahma terima.

"Kok bengong?" Tegur Adhiyaksa lagi.

Fahma melirik sekilas seusai kesadaraannya kembali pada dunia nyata.

Wanita itu tak langsung menjawab, tetapi ia menggerakkan langkah dari tempatnya. Bukan ke ranjang nyaman milik suaminya, melainkan menuju sofa panjang seperti kemarin saat dirinya tidak diizinkan merebahkan badannya di sana.

"Loh, kok di sana?" protes pria itu saat memerhatikan ke mana arah Fahma melabuhkan diri.

"Aku masih ingat jelas ya, kemaren ada yang ngomong nggak boleh tidur di sana," kata Fahma mengandung sindiran.

"Itu kan kemarin," tukasnya.

"Mau kemarin kek, hari ini kek. Sama aja!" ketus Fahma ia langsung merebahkan badannya di ruang sempit itu.

Melihat Fahma yang memang sejak awap cukup keras kepala. Adhiyaksa tidak mau menyerah begitu saja. Laki-laki itu bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman. Menyibak selimut tebal hangat dan melangkah kasar menuju Fahma membaringkan badan.

Dengan cueknya, lelaki itu ikut merebahkan diri di sofa yang Fahma tempati. Sehingga membuat perempuan itu meronta-ronta karena kesempitan.

"Apa-apaan sih?" omelnya, kedua tangannya berusaha mendorong badan suaminya yang jangankan bergerak, pria itu malah semakin menguatkan diri.

"Kalau kamu nggak mau, ya aku yang harus ngalah," sahutnya.

"Ini sempit tahu, aku engap," rintih Fahma tetap mengerahkan tenaganya yang tak seberapa itu.

"Bagus, biar kita bisa pelukan terus. Seperti ini, misalnya." Balas Adhiyaksa dengan sengaja melingkarkan tangannya melingkari pinggang Fahma.

Merasa tidak aman, Fahma terus memberontak meski cukup sadar itu hanya membuang tenaganya secara percuma. Namun, ia tidak ingin hilang akal, maka dengan tanpa berpikir panjang, Fahma mengarahkan giginya untuk mengigit keras daging empuk berlapiskan otot-otot  yang menonjol di antara kulit di depannya.

Sampai di detik berikutnya, ada suara ringisan keluar dari lawannya, sehingga refleks, pelukan itu terlepas begitu saja.

"Aduh, sakit!" Pria itu jatuh terduduk di karpet. Ia bergulang-guling bak anak kecil yang baru saja tertusuk benda tajam.

Melihat suaminya kesakitan, Fahma jadi sedikit kasihan. Dengan wajah yang agak menyesal, Fahma meneliti raut suaminya yang hendak menangis.

"Apa benar sesakit itu?" Bisiknya pada diri sendiri.

Fahma ikut turun dari sofa, ia mencoba memegang lengan yang baru saja ia gigit keras-keras, dan memang di sana, di kulitnya, ada bekas gigitan memerah tercetak jelas.

"Sakit, ya?" tanyanya dengan melembutkan intonasi suara.

Adhiyaksa berhenti mereog tak karuan. Ia mengangguk pelan dengan mimik wajah dibuat-buat menyedihkan.

Sementara Fahma, ia jadi merasa bersalah karena sudah melakukan hak demikian.

"Sorry!" ucapnya pelan.

Sementara diam-diam memerhatikan istrinya. Ia, jauh dalam hati menahan tawa yang ingin meledak sekarang juga. Namun, harus bisa tetap menunjukkan ekspresi seperti tadi. Dan begitu Fahma lengah, kedua tangannya secara tiba-tiba meraih tubuh wanita di depannya itu dengan begitu entengnya. Memangku serta membawa Fahma ke atas ranjang.

"Kamu!"

"Segitu doang mana sakit."

"Ih, nyebelin." Fahma kembali menaikkan suara setelah sadar bahwa dirinya baru saja dipermainkan.

Kaki wanita itu hendak turun dari atas ranjang. Akan tetapi dengan kekuatan kilat yang Adhiyaksa miliki, kedua tangan dan kakinya segera ia jadikan kunci supaya wanita itu tak pergi dari sana.

"Lepas."

"Kamu berontak, aku cium nanti, mau?" ancam laki-laki itu.

"Enak aja!"

"Ya udah makanya diem, timbang suruh tidur doang susahnya minta ampun," gerutu Adhiyaksa yang langsung membuat Fahma diam seribu bahasa.

Menelan kembali kata-kata yang hendak ia keluarkan secara suka rela. Lalu menurut untuk beberapa malam ini saja, sampai besok ia harus bisa melancarkan semua rencananya.

                                    ***

Pagi menjelang, saat Fahma hendak keluar dari rumah. Wanita itu menemukan suaminya sudah bangun sepagi ini, dan juga hal mengejutkan bagi Fahma adalah, tentang pria itu yang sibuk dengan penggorengan.

Selama dirinya menyandang status istri dari seorang Adhiyaksa, mana pernah lelaki itu mau berbaik hati memasak. Akan tetapi, sekarang apa?

"Aku pergi!" sapa Fahma pada suaminya.

Adhiyaksa menoleh sekilas. "Sarapan dulu," titah lelaki itu.

"Nggak, di sekolah aja. Takut telat!" Tolaknya sembari melengos pergi.

Adhiyaksa sedikit panik begitu melihat punggung istrinya yang sudah berbalut kain seragam khas sebagai tenaga pengajar itu berlalu darinya. Namun terlalu bingung sebab masakan yang ingin ia hidangkan, sebentar lagi matang.

Akan tetapi sayang, meski ia berusaha mematikan kompor untuk sekadar menyusul langkah istrinya. Jangankan, sosoknya, bayangan milik wanita itu pun, tak ia temukan.

Tentu saja, ada ekspresi kecewa dengan pundak yang sedari tadi tegak perlahan layu. Dengan spatula dan celemek masih ada dalam genggaman, Adhiyaksa berbalik badan, kembali masuk ke dalam.

Sepasang kakinya memasuki dapur dan berhenti tepat di antara kompor yang di atasnya ada wajan dengan nasi goreng telur. Matanya menatap nanar pada olahan yang belum sempat ia hidangkan.

Lalu dalam benaknya, seolah berbisik penuh penyesalan. "Jadi seperti ini rasanya diabaikan. Masakan yang susah payah dibuat tak tersentuh. Benar-benar menyesakkan."

"Apa aku sebrengsek itu, Ayudia Fahma?"

Bersambung ....

(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang