Fahma menatap nanar hidangannya yang masih utuh. Lalu, pendar matanya yang sendu itu beralih pada sosok pria berkemeja hitam, berjalan melenggang menuju pintu depan. Meninggalkan dirinya bersama helaan napas dan juga kekecewaan yang terus berulang."Kali ini, apa lagi yang salah?" Fahma mengeluh seorang diri sembari mendaratkan bantalan pinggulnya ke atas kursi rotan. "Begini salah, begitu juga salah," sambungnya kemudian.
Ini entah sudah hari ke berapa wanita itu mendapati suaminya bersikap seperti itu.
Apa ini masih tentang hal yang sama? Jika dirinya, bukanlah perempuan pilihannya.
Rumit memang menjalani hidup dengan orang yang jelas-jelas tak mau bersama. Sementara Fahma sendiri, kalau saja tak ingat bahwa yang terjadi padanya merupakan garis takdir, ia pun ingin saja menunjukkan sikap serupa.
Hanya saja, ia terlalu ingat akan perkataan ibunya yang mengatakan bahwa lelaki itu adalah suaminya. Apa pun itu Fahma harus siap menerimanya.
.
Suara riuh rendah dari para murid di salah satu sekolah menengah atas yang ada di ibu kota.Fahma yang kebetulan memiliki profesi sebagai tenaga pengajar, ia tentu tahu harus bagaimana bersikap. Yaitu, tidak mencampuradukkan masalah suaminya dengan berbagai kenakalan yang anak-anak muridnya itu perbuat.
Meski terkadang tetap saja sama, perilaku mereka seolah mengundang pengar kepala.
Bagaimana tidak, tingkah polah anak-anak kelas tujuh E itu tak ubahnya seperti bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Suka sekali mencari keributan. Oke, katakan saja bahwa itu hal lumrah yang ada di dalam ruang lingkup sekolah. Hanya saja, meski terkadang hanya sesekali saja, Fahma benar-benar membutuhkan ketenangan.
"Kenapa sih?" tanya Hana sewaktu Fahma sudah berada di ruang guru.
Wanita yang baru saja disapa oleh rekan kerjanya itu pun mendongak sebentar.Lalu kembali menjatuhkan sisi kepalanya yang lain ke atas lipatan tangan yang ia simpan di meja kerjanya.
"Kalau gue bilang gue ini menyesal nikah sama dia, kira-kira dosa nggak, ya?" gumamnya.
"Hah?!" Hana merespon dengan kerutan berlipat-lipat di keningnya. "Lo, kenapa?" ulang Hana sekali lagi.
Fahma mengubah posisi, punggungnya yang tadi melengkung kini menegak sempurna bersandar bebas di kursinya.
Wajahnya sedikit berkerut dengan bibir agak mengerucut.
"Gue capek sama pernikahan gue sendiri, Han," adunya.
"Jadi belum ada perubahan sama sekali?" terka Hana yang mengerti arah dari pembicaraan ini ke mana muaranya.
Fahma mengangguk pelan. "Semuanya serba salah, Hana," lirih wanita itu sembari mengusap wajahnya sendiri.
"Sabar, Beb, namanya juga pernikahan bukan main kawin-kawinan. Udah pasti dan jelas kalau masalah itu pasti akan ada saja. Lagian 'kan pernikahan kalian baru seumur jagung." Hana mencoba memberi nasihat untuk sang sahabat.
"Iya, gue tahu kalau pernikahan itu nggak gampang. Cuma kan, mas Adi itu kek mana sih, bukan hanya tegas, sekalinya dia nggak suka, ya nggak suka. Nggak lucu banget sih, masa gue dibenci sama suami sendiri, seumur hidup lagi," imbuhnya.
Hana tertawa mendengar itu. "Fahma, semua butuh waktu. Dia bisa berubah kapan aja, kok. Asal kuncinya satu, yaitu sabar!"
"Yang bilang kalau sabar itu nggak ada batasnya. Lo tahu sendiri kan, batas kesabaran gue itu udah kek kertas tisu yang dibagi dua terus ke siram air bisa langsung robek," sungut Fahma yang mungkin sedikit sadar diri jika kadar emosinya sulit untuk ia bendung.
"Udah ah! Dari pada lo terus-terusan galau begini, mendingan ke ibu kantin pesan bakmi, mau?"
"Gue nitip aja deh."
"Seperti biasa?"
"Nggak, jangan pakai cabe dulu deh. Udah tiga hari ini perut gue lagi komplain melulu."
Hana yang barusan mendorong kursi yang ia duduki itu lantas berdiri, lalu mengisyaratkan kata 'oke' untuk Fahma melalui jempolnya.
***
Tak terasa langit sore sudah mulai menaungi. Membersamai perjalanan pulang Fahma bersama gumpalan-gumpalan awan kelabu menggantung diantara kaki-kaki langit, yang kemudian terhempas perlahan oleh sapuan angin.
Hanya beberapa meter saja dari pintu kompleks perumahan. Fahma merasakan atmosfer lain tak berkesudahan, yang artinya memasuki rumah itu Fahma harus bersiap dengan pertaruhan emosinya yang harus siap ia redam dalam-dalam. Demi menerima dengan penuh sukarela, gelagat yang suaminya tunjukkan.
Tentu saja mendengar ocehan ketus dan tatapan mata tak suka dari seorang Adhiyaksa. Melelahkan, tapi harus bagaimana lagi? Meski dalam benaknya Fahma ingin kembali pulang ke rumah, di mana dulu ia mendapati ketenangan.
Akan tetapi, Fahma sering sekali ingat pesan dari ibunya. Kalau dirinya pulang, harus selalu atas izin suaminya. Jika tidak, jangan harap dirinya bisa masuk. Sedih sekali, bukan?
Apakah memang nasib seorang anak perempuan yang sudah menikah semuanya seperti ini? Menjadi asing di tempat yang menjadi saksi kehidupan.
Sejak kecil hingga besar sudah bisa membuat bising. Lantas ke mana lagi tujuan tepat, jika anak perempuan bernasib seperti Fahma mengadukan kepedihan hatinya? Kalau tempat saja, ia sudah tak lagi punya.
Tak terasa tungkai kaki Fahma sudah memasuki batas antara halaman dan jalanan. Beruntung hujan yang datang sangat deras itu tak membasahi tubuhnya, dan ketika Fahma membalikkan badan sesaat setelah tangannya menutup pintu pagar besi, dia melihat kendaraan milik sang suami sudah mendarat di garasi.
Tumben sekali, begitulah pikir Fahma. Ada apa gerangan? Sebab tak biasanya laki-laki berusia tiga puluh tahun itu pulang di jam-jam segini.
Lain di luar, lain pula di dalam. Saat gemerincik hujan terdengar kian menakutkan, sebab petir menyambar saling bersahutan. Ketika kaki Fahma melenggang masuk dan melintasi ruang tamu, tampak jelas di sofa panjang terdapat suaminya sedang asyik bercerita bersama perempuan berparas jelita.
Baru kali ini, sejak pernikahan Fahma melihat binar mata itu dipenuhi oleh kegembiraan. Pun tawa menggelegar begitu lepas mengudara bebas.
Menyaksikan itu, tanpa disadarinya, Fahma merasakan hatinya terpilin nyeri. Menyaksikan keakraban yang tak kunjung suaminya beri. Hingga lagi-lagi Fahma harus berbesar hati menerima ucapan sang suami, tentang istri yang dibenci dan ia yang bukan pilihan hati.
"Ekheeem." Fahma berdeham, membuat kedua orang itu mengalihkan perhatian. "Mas sudah pulang?" tanya Fahma sekadar berbasa-basi.
Namun, Fahma sudah bisa menebak. Benar saja, jika laki-laki itu langsung mengubah rona wajahnya. Entah ke mana perginya pesona rupa penuh ramah yang tadi sempat menjamah, meski hadir bukan untuknya yang menjadi penghuni rumah.
Bersambung ...
![](https://img.wattpad.com/cover/334338957-288-k76952.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBIT
أدب نسائيAyudia Fahma menikah dengan seseorang yang tak menginginkan kehadirannya. Selama pernikahan berjalan, tak ada keramahan atau sikap selayaknya suami terhadap dirinya. Meski sadar begitu dibenci oleh pasangan sendiri. Fahma terus melawan dan meyakini...