Adiyaksa pulang sesaat setelah Fahma menghubungi dirinya. Sepakat berpura-pura menjalani rancangan skenario dadakan yang diusulkan oleh sang istri. Laki-laki itu menurut dan membawakan sesuatu ke rumah sebagai bukti alasan dari yang sebelumnya sudah Fahma utarakan secara asal-asalan pada sang Nenek.
.
"Jam segini kamu baru pulang?""Kejebak macet, Nek."
"Ini minggu, memangnya kamu habis dari mana?"
"Fahma tadi demam, Adi habis mencarikannya bubur ayam," ucapnya jelas membuat Fahma yang duduk di seberang sofa mendadak melirik sengit padanya.
Nenek menoleh pada Fahma. "Kamu demam?" tanya Nenek.
"Hanya sedikit, Nek. Mungkin karena efek mengurusi anak-anak di sekolah dan bayi besar di rumah," ujar Fahma menekankan intonasi suara.
"Kamu jangan keterlaluan pada istrimu, Adi. Kasihan dia," beo Nenek bersiap menceramahi cucunya.
"Iya, Nek. Lain kali nggak akan Adi ulangi lagi,"sahutnya. "Oh, iya cepat makan buburmu dan segera minum obat." Sambung Adiyaksa.
"Aku lupa, obatnya tertinggal di rumah Hana." Ceplos Fahma tanpa sengaja.
Mengundang pelototan dari Adiyaksa yang mengisyaratkan Fahma bahwa ia harus berhati-hati.
***
Fahma memeluk bantal yang dibawanya dari kamar sebelah. Berdiri mematung tepat di depan pintu yang baru ia tutup.
Sementara Adiyaksa, pria itu sudah duduk nyaman dengan kaki berselonjor dan punggung bersandar di kepala difan. Fahma menunggu sang pemilik ruang pribadi untuk memberi perintah untuknya.
Namun, sayang, lelaki itu masih juga belum peka. Padahal tadi begitu beria-ria memberikan keterangan yang jauh dari fakta hanya demi citra yang enggan ternoda di depan sang Nenek tercinta.
.
"Aku tidur di mana?" Fahma memberanikan diri membuka suara. Sebab selain masih demam, ia juga sudah begitu pegal berdiri.Adiyaksa melirik dari ekor matanya pada Fahma. Dengan senyum licik, lelaki itu mengubah posisi dengan membaringkan badannya ke atas kasur empuk miliknya.
"Terserah! Asal jangan di tempat tidurku."
Terdengar dengkusan dari Fahma. "Dasar laki-laki tidak punya perasaan," gumamnya pelan, tetapi kalimat barusan bisa didengar jelas oleh suaminya.
"Kalau aku pakai perasaan, dari awal menikah, sudah kupastikan segelmu itu copot," sahutnya.
Fahma berdecit seraya membuang muka ke samping. "Itu bukan perasaan, tapi nafsu."
"Oh, ya?" Pertanyaan itu serupa tantangan dipendengaran Fahma.
"Ya, tentu saja!"
Tiba-tiba Adiyaksa mengubah posisinya kembali. Kali ini duduk bersila setelah menyibak kasar selimut tebal yang beberapa menit lalu menutupi sebagian tubuhnya.
"Mau dicoba?" tawar laki-laki itu.
"Maaf saja, tidak tertarik!" Tolak Fahma mentah-mentah.
Sepasang telapak kakinya yang telanjang itu bergeser dari lantai dingin. Menuju sofa panjang tepat di sisi jendela kaca.
Mulai menyimpan bantal yang sedari dirinya peluk, juga turut merebahkan badannya di sana.
"Lagi pula aku masih ingat jelas. Bagaimana perkataan seseorang tentang perempuan yang bukan pilihannya. Jadi, ya, sudah. Toh, yang dosa juga bukan aku. Tapi orang itu sendiri." Sindir Fahma lalu menaikkan tangan ke atas keningnya sendiri, guna menghalangi silau lampu yang berpendar kelewat terang.
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Adiyaksa sewaktu mendengar perkataan Fahma barusan. Wajahnya yang terbilang tampan itu malah terlihat kecut. Sedikit tidak terima dengan sindiran sang istri yang benar adanya.
***
"Bukannya kamu masih demam, Fahma." Nenek menegur Fahma sudah sibuk dengan aktifitasnya di dapur.
Fahma menoleh sekilas pada Nenek yang mendekati meja makan. Dengan seuas senyum dan tatapan hangat untuk wanita berkisar usia tujuh puluh tahun itu. Fahma mematikan kenop kompor dan buru-buru menarik kursi.
"Silakan duduk, Nek," ucapnya.
"Nenek bisa sendiri, Fahma," omel Nenek.
"Nggak apa-apa, mumpung Nenek lagi menginap di sini. Apa salahnya aku melayani Nenek." Tukas Fahma kali ini tangannya bergerak mengambil teko berisi teh herbal.
Melihat Fahma yang cekatan dalam mengurusi rumah tangganya, terutama di dapur, Nenek semakin meyakinkan diri bahwa perjodohan yang ia lakukan itu memang benar-benar keputusan tepat. Kendati begitu, tetap saja ada sesuatu yang janggal dari hubungan cucu dan cucu mantunya itu.
.
"Ini kopi buatmu, Mas." Fahma menyodorkan secangkir kopi pekat dengan bau khas untuk suaminya."Makasih," ucapnya singkat.
"Aku mau ke atas dulu, harus segera siap-siap ke sekolah. Kalau Mas sama Nenek mau sarapan, duluan aja." Wanita itu bersuara sembari berlalu masuk ke dalam. Lalu menaiki titian anak tangga untuk masuk ke dalam kamarnya.
.
Selama pernikahan yang ia jalani, baru kali ini Fahma mendapatkan perilaku berbeda dari suaminya. Contohnya, seperti ucapan terima kasih. Meski Fahma cukup tahu bahwa itu tidaklah benar-benar keluar dari hati yang terdalam, setidaknya Fahma merasa sedikit tersentuh.Atau memang, dirinya benar-benar sudah terjatuh dalam pancingan bernamakan asmara.
Namun, bukan kah itu memang sudah lama terjadi. Walau terkadang ada hasrat benci dan ingin lari, tetap saja, niat kemarin pun. Fahma malah rela kembali.
.
Nenek melambaikan tangan pada kedua cucunya. Mereka pergi bersamaan menuju masing-masing tujuan, tapi, begitu wanita tua itu hendak masuk ke dalam rumah.Perhatiannya teralihkan oleh suara kendaraan yang berhenti tepat di luar pagar. Merasa penasaran akan siapa yang datang, Nenek menunggui sampai seseorang itu mengetukkan pintu garasi.
Merasa perkiraan Nenek salah, sebab orang itu bisa seenaknya masuk tanpa adanya permisi terlebih dahulu. Terdengar pula nyanyian ringan dari mulut perempuan yang kini sudah pun mendorong sekat besi itu dengan penuh keleluasaan.
Menyadari ada seseorang berdiri di teras. Suara wanita muda yang terdengar riang pun perlahan samar bahkan memudar.
Ada ekspresi kejut di wajahnya mendapati Nenek dari Adiyaksa masih ada di sana. Bukankah, semalam pria itu mengatakan bahwa neneknya akan pergi di keesokan pagi. Akan tetapi, ini.
"Masih berani kamu datang ke sini, Jelita?" Sergah Nenek lengkap dengan sorot mata penuh kemurkaan untuk gadis muda di depannya.
.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBIT
Literatura FemininaAyudia Fahma menikah dengan seseorang yang tak menginginkan kehadirannya. Selama pernikahan berjalan, tak ada keramahan atau sikap selayaknya suami terhadap dirinya. Meski sadar begitu dibenci oleh pasangan sendiri. Fahma terus melawan dan meyakini...