"Kamu tahu, nggak."
"Nggak!"
"Dengerin dulu," tegur Adiyaksa yang sekarang sudah duduk di atas tempat tidur Fahma.
"Nggak mau," tolak wanita itu sembari menarik kedua kaki untuk ia tekuk dan ia peluk oleh kedua tangannya sendiri.
"Tapi aku masih tetep pingin cerita." Tegas Adiyaksa.
Fahma hanya melirik pada suaminya yang mulai menjatuhkan pandangan matanya ke arah lantai. Lalu di detik berikutnya terdengar helaan napas dari wanita itu.
"Kalau memang baiknya sampai di sini, ya sudah," ucapnya pelan.
"Bisa nggak jangan mau bahas itu."
"Aku perempuan, Mas. Kamu mana mungkin nggak paham sih, kalau keinginan wanita yang sudah menikah itu, selain diterima kehadirannya, juga disayangi sepenuh hati. Sayangnya, sejauh aku bertahan sebagai istri kamu, apa yang aku dapat? Menyaksikan sikap manis kamu ke Jelita, lalu menunjukkan sikap berbeda ke aku. Apa menurutmu itu adil?" paparnya cukup panjang.
"Fahma, Jelita itu sakit. Dia nggak punya siapa-siapa lagi di kota ini selain aku," ucap Adiyaksa masih saja memberi pembelaan untuk wanita yang sejak siang tadi dipaksa pergi oleh nenek.
"Aku juga sakit, Mas," sela Fahma. "Apa dia sebegitu berharganya buat kamu sampai-sampai mengesampingkan semua hak yang seharusnya kamu penuhi." Sambungnya.
"Oke, bagaimana kalau kita buat kesepakatan. Aku hanya akan mengurus Jelita sampai kondisi dia benar-benar pulih. Selepas itu, kita akan jalani semuanya seperti yang kamu mau."
Fahma menarik sudut bibirnya sehingga membentuk senyuman dengan bias wajah diwarnai sendu.
"Bukankah, akan lebih baik jika kalian hidup bersama-sama dalam ikatan sah pernikahan. Lagi pula, apa yang kamu katakan barusan sangat tidak tepat. Karena seharusnya, apa yang kamu janjikan itu harus dari keinginanmu sendiri, bukan karena aku." Fahma lagi-lagi menunjukkan ketidak setujuan akan ucapan Adiyaksa yang seolah enggan melepaskan Jelita. Dan, tentu saja, secara tidak langsung kalimat-kalimat penuh perlindungan itu sudah sangat menyakiti Fahma.
"Kamu tahu kalau semua butuh waktu, bukan?" Jadi, tolong sabar sedikit saja sampai hati saya bisa benar-benar menerima kamu."
Fahma menggeleng sekali lagi. Lalu mulai mengubah posisi, merebahkan seluruh badan, tetapi nampak punggungnya membelakangi sang suami. Wanita itu tidak langsung mengeluarkan kata-kata lagi selama beberapa menit. Ia berusaha memberi ruang untuk dadanya yang sesak sejak dirinya menyandang status istri dari seorang Adiyaksa. Dengan pertanyaan yang ia pendam sendiri dalam hati.
Sejauh ini, dirinya sudah cukup bersabar dan berusaha. Lalu, sampai kapan harus matian-matian mengejar sepotong hati yang jelas-jelas begitu mati. Mau dipaksa sampai mana pun, sekali tidak bisa, ya, tidak bisa.
Fahma ingin sekali bertahan, tetapi hatinya sudah tak bisa lagi menahan beban dari titik-titik luka yang perlahan-lahan menjadi bulatan lubang besar menganga. Jika dipaksakan, Fahma semakin takut tak bisa melepaskan. Bukankah mengatakan segala sesuatu, lebih cepat dilaksanakan, maka akan lebih baik lagi untuk alur kehidupan.
"Kepala aku pusing, Mas. Mau istirahat, besok juga aku harus masuk sekolah. Ada ujian untuk anak-anak." Putus Fahma akhirnya menghentikan pembicaraan tentang nasib pernikahannya yang tak kunjung menemukan jalan.
Terasa sisi yang tadi menopang berat badan seseorang. Kini terasa nampak kosong, dan hanya menyisakan suara derit pintu yang tertutup rapat oleh sang pemilik rumah.
***
Pagi hari ini, Fahma cukup terburu-buru karena nyaris terlambat. Dan di saat dirinya begitu terburu-buru, seseorang datang menawarkan bantuan.
"Jangan tergesa-gesa begitu. Sarapan dulu, nanti ku antar kamu ke sekolah."
"Nggak usah, Mas, saya naik kendaraan umum aja!" Lagi, Fahma mengeluarkan penolakan dari mulutnya. Terlebih, Fahma menggunakan bahasa lain saat menyebut dirinya sendiri barusan.
"Fahma, aku suami yang harus kamu turuti," ucap Adiyaksa seolah-olah baru saja memberikan ultimatum untuk istrinya.
Akan tetapi, Fahma yang lelah, ia lebih memilih untuk abai dari apa yang suaminya katakan barusan. Menggunakan kuasa sebagai suami, rasanya bagi Fahma itu sudah terlambat.
"Aku pergi ya, Mas." Wanita itu berpamitan sekali lagi dan langsung keluar dari area dekat dapur dengan langkah secepat kilat.
Mengabaikan Adiyaksa yang habis berpikir semalaman. Bahwa apa yang dikatakan oleh Fahma setidaknya itu patut dipertimbangkan.
.
Setibanya di sekolah, Fahma menyempatkan dulu pergi ke abang-abang lontong untuk sarapan. Meski sebenarnya tak ada nafsu makan, tetapi ia mengingat bahwa kesehatannya sedikit terganggu.Selesai dengan sarapan, ia bergegas masuk ke kantor guru. Duduk di mejanya dan mengeluarkan beberapa yang diperlukan. Lalu melihat kalender dan buku catatan berisikan jadwal, mulai berkonsentrasi dengan mengecek beberapa buku pelajaran untuk materi hari ini.
Walau tetap saja tak bisa dipungkiri, pikirannya terus saja dibanjiri oleh dua pilihan yang terus saja menggerogoti. Yaitu, antara sekali lagi bertahan dan berharap kalau suaminya benar-benar akan berubah. Atau sebaiknya berpisah saja, sebelum hatinya terluka semakin parah.
Sungguh, dua-duanya tetap saja memberikan efek patah hati untuknya. Seperti pepatah, maju kena, mundur pun kena. Diam di tempat, bukan kena lagi, itu sudah pasti habis dan hancur tercabik-cabik.
.
"Woooy, kenapa ngelamun?" Hana datang mengagetkan Fahma yang menyergahnya dari belakang.Fahma menyipitkan matanya setelah tangannya mengusap dadanya sendiri. "Gila lo, ya," omelnya.
"Lah, lo ngapain pake ngelamun segala?" Hana membalikkan tanya.
Fahma diam beberapa saat, sebelum ia begitu bimbang mengajukan sesuatu untuk ia pinta pendapatnya.
"Han."
"Hmmm."
"Menurut lo, kalau semisal gue memilih pisah dari dia. Itu keputusan baik atau sebaliknya."
Hana yang kebetulan sedang minum pun jadi tersedak sampai batuk-batuk. "Hah! Apa pisah?" Intonasinya menggelegar sampai terdengar oleh beberapa rekan guru lainnya.
Membuat Fahma otomatis memelototkan matanya pada Hana. Mengisyaratkan sahabatnya, supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Misalnya, seperti mengundang gosip di keesokan hari gara-gara mulutnya barusan.
.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBIT
ChickLitAyudia Fahma menikah dengan seseorang yang tak menginginkan kehadirannya. Selama pernikahan berjalan, tak ada keramahan atau sikap selayaknya suami terhadap dirinya. Meski sadar begitu dibenci oleh pasangan sendiri. Fahma terus melawan dan meyakini...