"Mana sarapan buatku?"
Fahma menoleh ke belakang, di mana Jelita sang tamu yang menurut Fahma tak diundang itu seolah berlaga bak nyonya besar.
Sudah tiga hari dia di sini, dan kerjaannya hanya mengekori dan menempel pada Adiyaksa yang tak pernah merasa risih. Melihat kedekatan antara Jelita dan suaminya seperti sedang terang-terangan menunjukkan bahwa hubungan mereka lebih dekat juga lebih baik dari pada hubungan halal antara Fahma dan Adiyaksa.
Ditambah tingkah perempuan itu benar-benar menjengkelkan yang seenaknya memerintah.
"Heh! Gue tuh nanya lo, ya. Nggak punya kuping lo," ulang Jelita kali ini cara bicaranya benar-benar keterlaluan.
Fahma menarik napasnya kasar. Tangannya langsung mematikan aliran air dari keran. Lantas membalikkan badan dengan mimik wajah sedatar papan.
"Punya sopan santun nggak? Ini tuh, di rumah orang. Lo, kira bagus lo gitu," timpal Fahma jelas melawan.
"Lo berani sama gue?" tantang Jelita bertolak pinggang.
Fahma mengangkat alis kirinya, ditambah senyum kelewat tipis dan tatapan bahwa dirinya sama sekali tidak takut.
"Gue nggak harus takut sama cewek manja kek lo," sahut Fahma semakin memajukan langkah.
"Lo!" Mendengar ada suara tapak sepatu masuk ke dalam rumah.
Jelita tiba-tiba saja menjatuhkan dirinya sendiri. Kedua tangannya ia angkat untuk mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Tak lupa, untuk memulai drama sebagai sosok protagonis yang tersakiti. Jelita pura-pura meringis menahan sakit.
"Ampun, sakit!" Wanita itu mulai bertingkah.
Di saat bersamaan muncul Adiyaksa yang awalnya berjalan pelan, mendadak mempercepat langkah begitu mendengar suara keras Jelita.
"Kamu kenapa?"
"Aku tahu, aku di sini cuma numpang dan ngerepotin kalian aja. Kalau memang istrimu tak suka aku di sini, lebih baik aku pergi saja," ocehnya disertai isak.
Adiyaksa menggeleng tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Jelita. "Ini rumahku, siapapun yang ingin tinggal, tentu saja itu atas dasar keputusanku."
Laki-laki itu, mengucapkan kalimat barusan sembari melayangkan tatapan nyalang untuk Fahma.
Melihat drama dadakan yang membuat Fahma menjadi tokoh antagonis super kejam.
Namun, sayangnya, Fahma tidaklah takut dengan fitnahan yang wanita itu tuduhkan untuknya. Seolah sama sekali tak terpengaruh, Fahma dengan cueknya hanya menjungkitkan kedua bahu, pertanda tak peduli dengan itu.
"Oh, ngajak main-main rupanya." Benak Fahma mengingatkan untuk waspada.
***
Malam kembali menjelang, Fahma baru saja selesai dengan hidangan yang sudah tersaji di meja makan.
Merasa gerah dan lelah, Fahma memilih untuk masuk ke dalam kamarnya terlebih dahulu. Fahma juga merasa malas jika harus makan satu meja dengan wanita kurang perhatian itu. Jadi, tidak apa-apa menahan lapar sebentar, dari pada bersama namun menghilangkan selera makan.
Di antara titian anak tangga, Fahma berpapasan dengan suaminya. Dari penampilannya, sepertinya laki-laki itu akan pergi.
"Makan malam sudah siap. Mas bisa makan duluan dengannya," kata Fahma tanpa melihat pada Adiyaksa.
"Saya makan di luar," jawabnya singkat.
"Loh, Mas, aku capek-capek udah masak kok malah makan di luar," protes Fahma.
"Saya nggak minta kamu masak kok!" Balas Adiyaksa cukup menyebalkan dipendengaran istrinya.
"Oh, ya udah, kalau besok pagi, siang atau malam nggak ada makanan di meja makan. Nggak usah marah-marah, nggak usah nyindir-nyindir. Atau kalau perlu, Mas suruh PACARnya itu buat masak, jangan bisanya main perintah-perintah." Marah Fahma.
"Dia bukan pacar saya," elak Adiyaksa dengan intonasi suara kelewat tegas.
"Apa aku terdengar peduli dengan itu?" ujar Fahma disertai delikan tajam.
"Kamu ...,"
"Aku di sini nggak akan pernah memiliki hak apa pun. Jadi, silakan, lakukan semua yang kamu mau, Mas. Toh, memang dari awal pernikahan kita sama sekali nggak ada nilainya dimata kamu," potong Fahma masih mencoba menjaga kadar emosi.
"Iya, kamu benar. Awalnya saya memang tidak perlu merasa spesial sebab adanya pernikahan ini. Sebelum Nenek menasehati saya supaya bisa menerima kamu secara perlahan-lahan. Tapi apa yang kamu lakukan? Berperilaku tidak wajar pada Jelita," cercanya.
Fahma diam beberapa saat. Matanya mulai memerah, aliran darahnya mulai mengencang sehingga otot-otot di balik kulitnya itu mengirim sinyal pada otak untuk segera bertindak. Namun, sayangnya, hatinya membisikkan kata lain.
"Pernikahan itu bukan sekadar ikatan dan bukan hanya melibatkan kepala dan hati. Tapi juga kepercayaan dan kesetiaan. Aku cukup sadar bahwa pernikahan ini tidak kamu inginkan, Mas. Lalu, apa kamu pikir bahwa aku juga menginginkannya? Kalau saja aku tidak percaya pada takdir, sejak dari awal menikah pun, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di sini. Sebisa mungkin aku bersikap seorang istri, meski kamu tetap menunjukkan sifat arrogan. Dan kamu juga harus tahu, bahwa aku lelah menjadi istri bukan pilihan. Kalau memang kamu ingin bersama dia, silakan. Aku tidak akan melarang." Fahma membeberkan perasaannya dengan nada penuh amarah.
Merasa takut tak bisa mengontrol emosi lebih dari ini, Fahma lebih memilih untuk mengakhirinya secara sepihak. Kedua tungkai kakinya yang sejak tadi berusaha menopang berat tubuhnya sendiri itu berlari menuju kamar dan menutup papan datar itu keras. Menguncinya dari dalam, lantas jatuh terduduk seperti kehabisan tenaga.
Matanya menatap ke arah jendela kamar yang terbuka. Melihat sekeliling ruang, dimana sudah hampir empat bulan lamanya dirinya tinggal.
Merasa tak memiliki jalan keluar dari rumah tangga yang tak diinginkan. Sudah lama sekali, ia menginginkan untuk pulang.
Namun jika itu ia lakukan, apa ibunya akan menerima dirinya dengan senang?
Mempertahankan sesuatu tanpa ujung dan kepastian. Mengharapkan hubungan penuh kesetiaan, namun jelas nampak adanya orang lain datang berniat menghancurkan. Fahma sendiri mulai ragu, apa bisa dirinya benar-benar kuat menghadapi ini?
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Perempuan Pilihan|| SUDAH TERBIT
ChickLitAyudia Fahma menikah dengan seseorang yang tak menginginkan kehadirannya. Selama pernikahan berjalan, tak ada keramahan atau sikap selayaknya suami terhadap dirinya. Meski sadar begitu dibenci oleh pasangan sendiri. Fahma terus melawan dan meyakini...