8 - Kemarahan Anggit

293 12 0
                                    

"Kau mau ke mana, Anggit?"

Minah menarik tangan Anggit yang hendak meninggalkannya. Para tetangga membantu ibu dan anak itu mendapatkan tempat tinggal sementara. Di sebuah garasi milik tetangga. Setelah memastikan ibunya sudah merebahkan diri karena kelelahan di sebuah bangku kayu, Anggit bangkit hendak diam-diam.

"Aku mau cari rumah kontrakan."

Minah menggeleng. "Sebentar lagi malam. Tidak mungkin kau mencari rumah kontrakan malam-malam seperti ini. Kau pasti mau ke rumah Dipa. Ya kan?"

Anggit melepas tangan ibunya perlahan. Sebagai seorang ibu, Minah tahu apa yang bergolak di dada anaknya. Anggit bukan gadis lemah yang gampang menyerah begitu saja. Kehidupan mereka yang serba kekurangan membuat Anggit tahan banting dengan berbagai masalah dalam keluarga mereka.

"Jangan, anakku. Kau bukan siapa-siapa lagi bagi mereka."

Anggit melangkah menuju pintu garasi. "Aku tidak mau kita dihina seperti ini, Bu. Aku yakin, ini semua bukan kehendak Mas Dipa. Tapi Nyonya Erika yang gila harta itu."

"Anggit, ibu mohon ... lupakan saja Dipa."

"Bukankah ibu yang memaksa aku menikah dengannya? Kenapa sekarang aku dipaksa melupakan dia? Tidak ... dia harus bertanggung jawab pada aku, pada ibu, pada keluarga kita."

"Anggit .."

Tanpa menghiraukan ibunya, Anggit membuka pintu garasi. Dia tidak ingin tinggal menumpang di garasi tetangga. Dia tidak ingin, Nyonya Erika menghinanya seperti ini. Jadi, hari ini juga dia harus mendapatkan jawaban dari Dipa.

Apakah yang mereka lalui bersama di kamar hotel itu tidak berbekas sama sekali di benak lelaki itu? Bahkan Anggit masih merasakan setiap sentuhan Dipa juga aroma Lavendernya. Aroma yang kini menjadi aroma kesukaannya.

Setengah berlari, Anggit menuju rumah Nyonya Erika. Seingatnya, ibunya menempuh setengah jam setiap hari berjalan kaki menuju rumah majikannya itu. Dalam lima belas menit, Anggit yakin bisa mencapainya, yaitu sebelum matahari terbenam.

Setelah berlari sekitar sepuluh menit, Anggit tiba di depan rumah Nyonya Erika. Tepat saat pintu gerbang terbuka dan sebuah mobil metalik yang sama dengan tadi pagi hendak keluar dari dalam gerbangnya.

Bergegas Anggit mendekat dan menghadang mobil itu dengan meregangkan tangannya selebar mungkin. Mobil yang baru separuh keluar dari gerbang rumah itu berhenti tiba-tiba. Di dalamnya, Nyonya Erika mengeram melihat siapa yang menghadang mobilnya.

"Mau apa anak babu itu?" sergahnya.

Dipa yang duduk di sebelah Mamanya–di bangku belakang, sontak menegak punggung. Dia bisa melihat Anggit dengan jelas menghadang mobil mereka. Sontak dia meraih handel pintu mobil, namun Nyonya Erika lebih cepat darinya, menahan tangan Dipa.

"Jangan macam-macam, Dipa!"

"Tapi ... Anggit ..." protes Dipa.

"Dia bukan istrimu lagi, Dipa!" sergah Nyonya Erika. "Terus jalan, kalau perlu tabrak saja dia!"

Sopir melirik ke bangku belakang dan mendapati wajah tegang Tuan Muda-nya. Dia adalah saksi mata kejadian tadi pagi di depan rumah Anggit, dan sekarang menjadi saksi mata di depan rumah Dipa. Di dalam hatinya, tiba-tiba terasa ngilu membayangkan sepasang pengantin baru yang dipaksa berpisah oleh majikannya.

Bagaimana tidak, dia sendiri yang mengantar Dipa dan Anggit ke Hotel Jana, dan menunggu mereka hingga keluar satu setengah hari berikutnya. Sudah pasti, baik Dipa dan Anggit tidak ingin berpisah, setelah malam pertama mereka.

"Karjo? Jalan!" teriak Nyonya Erika geram.

Karjo mengangguk pelan. Dia tak tega bila harus menabrak Anggit. Dia memajukan mobilnya, dan mendengar Dipa menyuruhnya berhenti.

"Hentikan!"

"Dipa, kau dengar Mama! Jalaaan!"

Karjo melihat dari kaca di atas dashboard. Wajah Tuan Muda-nya tampak tegang dan panik. Dia lalu melihat ke arah Anggit. Wajah gadis itu dipenuhi kemarahan. Karjo lalu memberi kode dengan kepalanya ke arah Anggit, untuk bergeser ke samping, menuju posisi Dipa berada.

Rupanya Anggit mengerti kode yang diberikan Karjo. Dia berlari ke samping dan memukul kaca mobil bagian belakang.

Dipa hendak membuka pintu mobil, tapi Nyonya Erika menarik bahunya dan menekankan jemari tangan berkuku runcingnya. Dipa meringis kesakitan.

"Jangan coba-coba, Dipa. Atau kau lebih suka Mama menderita. Kau mau mama mati?"

Tak ada yang bisa dicerna Dipa pada kalimat Mamanya. Kenapa Mamanya bisa mati bila dia membuka pintu dan meraih tangan Anggit yang memukul-mukul kaca mobil dan memanggil-manggil namanya. Wajah putus asa mantan istrinya itu, entah kenapa membuat dadanya terasa begitu sakit. Dia hanya bisa melihat gerakan bibir Anggit memanggil namanya, dan air mata berderainya.

"Jalan Karjo, atau kau mau bernasib seperti dia!"

Karjo menurut. Dia menjalankan mobilnya, meninggalkan Anggit yang berusaha mengejar beberapa langkah. Sejurus kemudian ketika mobil akan berbelok di tikungan, Karjo melihat Anggit berdiri dengan tatapan mata penuh kemarahan.

"Maafkan aku, Nak," batin Karjo. "Aku akan kembali menolongmu, nanti."

Sepanjang perjalanan, Karjo hanya bisa membungkam. Sesekali melirik Dipa di bangku belakang yang menjambak rambutnya sendiri. Dia tampak jauh lebih putus asa dari Anggit.

"Tenangkan dirimu. Kita akan bertemu Papa dan Nenek Sihir," ucap Nyonya Erika dengan tenangnya. Nada bicaramu melunak dan terdengar lembut. Namun tidak bisa mengubah air muka Dipa.

"Malam ini,Nenek Sihir akan masuk Rumah Sakit untuk perawatan intensif. Dia membutuhkanmu untuk menjalankan perusahaan. Jadi, Mama minta kau fokuskan perhatianmu. Kesempatan tidak akan datang dua kali, Dipa. Jangan membuat Mama bunuh diri untuk kedua kali."

Dipa tak bereaksi. Nyonya Erika mengenggam tangannya hangat–tangan penuh perlindungan seorang ibu yang menghalalkan segala cara demi anaknya. Dipa masih ingat bagaimana dulu ibunya berusaha bunuh diri dan berhasil digagalkannya.

Papa akan menceraikannya gara-gara pertengkaran hebat antara Nyonya Erika dengan Nyonya Jana. Yang sampai sekarang Dipa tidak tahu, apa masalah luar biasa yang terjadi saat itu, antara dua istri Papanya itu.

***

Anggit melangkah gontai menuju garasi yang kini menjadi tempat tinggalnya. Malam sudah turun, dia tak peduli dengan hawa dingin dan perut melilit kelaparan. Di dalam dadanya masih menggelegak amarahnya pada ibu dan anak yang telah mencampakkannya.

Di depan garasi tetangganya yang separuh terbuka, dia bisa melihat punggung ibunya yang membungkuk-bungkuk membereskan beberapa barang. Hatinya terasa sakit melihatnya.

"Dipa, aku tahu kau ada di dalam mobil bersama nenek sihir mengerikan itu. Kenapa kau tidak keluar, kini aku tahu. Bahwa kau hanya ingin menikmati tubuhku satu malam saja, lalu mencampakkanku seperti wanita asusila."

Anggit mengepal tangan. Sepasang matanya seolah hendak meledak karena marah dan terhina.

"Nenek sihir, tunggu saja pembalasanku. Aku akan membuat kalian semua menderita. Jangan harap, nanti bila kita bertemu lagi, kalian bisa tidur nyenyak di rumah mewah kalian."

Anggit melangkah menuju garasi dan Minah mengetahui kedatangannya. Bergegas dia merengkuh Anggit dalam pelukannya.

"Kamu ke mana saja, Anggit? Kau belum makan? Badanmu dingin, Nak."

Anggit hanya berdiri mematung. Dia merasa hatinya perlahan mengeras. Sebelumnya dia tak pernah merasakan kemarahan sebesar ini. Bahkan kepergian mendiang bapaknya karena kecelakaan, dia tak sehebat ini menanggung amarah pada pelaku tabrak lari yang tak pernah tertangkap itu.

Dia hanya menangis dan menangis.

Minah membawanya duduk di bangku panjang. Anggit hanya diam mematung. Membiarkan ibunya menyelimuti tubuhnya yang dingin.

"Aku bersumpah Dipa," teriak Anggit dalam hati. "Kau akan menyesal, hingga memohon dan berlutut di hadapanku."

Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang