2. Bertemu Nyonya Jana

316 13 2
                                    

Sepanjang selasar Rumah Sakit, Dipa menggenggam tangan Anggit. Atas perintah Nyonya Erika, tentu saja.

"Dia istrimu sekarang, Dipa. Pegang tangannya," ucap wanita paruh baya di hadapan Dipa dan Anggit. "Aku tidak ingin Nenek Sihir itu tidak percaya kalian berdua sudah menikah."

Dipa melirik Anggit yang hanya menunduk sembari meremas ujung baju. Sejak mereka resmi menjadi suami istri dua jam yang lalu, tak ada sepatah katapun keluar dari lisan Anggit. Dia hanya mengangguk canggung, lalu mengikuti Dipa dan mamanya masuk ke dalam mobil.

Sepanjang perjalanan, Anggit bungkam seribu bahasa. Dan Dipa juga tidak berkeinginan untuk membuka pembicaraan dengan istrinya--meski dia tahu seharusnya dia melakukannya, setidaknya untuk berkenalan. Hanya saja saat ini pikirannya dipenuhi oleh seraut wajah cantik yang menghiasi papan iklan di jalan-jalan yang mereka lalui.

Melisa pasti meradang bila tahu dia sudah menikah. Namun sesuai janji mama-nya, dia boleh menceraikan Anggit setelah mendapatkan perusahaan yang dimiliki Nyonya Jana--si Nenek Sihir. Wanita itu tak akan bisa bertahan lebih lama lagi dengan kanker hati yang dideritanya. Kabar terakhir yang didengar Dipa, Papa-nya akan membawa istri pertamanya itu untuk berobat ke luar negeri.

"Dengar Dipa, kalau kau sudah menjadi CEO, jangan gila kerja seperti Nenek Sihir. Aku tidak mau kau terkena penyakit seperti dia." Nyonya Erika berbicara dengan penuh semangat. "Bagiku, tidak masalah tidak memiliki saham secuil pun di perusahaan Papa-mu. Asalkan kamu akan mendapatkan segalanya."

Pembicaraan antara ibu dan anak yang sejak tadi menjadi berita gratis di telinga Anggit, memaksa Anggit untuk memahami dengan keluarga seperti apa dia bergabung saat ini. Dia tidak yakin akan bisa bertahan dengan mertua seperti Nyonya Erika. Tangan Dika yang menggenggam tangannya, entah kenapa terasa sangat panas--hingga ketika lelaki itu melonggarkannya, Anggit merasa sangat lega.

"Kita akan bertemu dengan istri pertama Papa Dipa, Anggit. Kau harus menyapanya dengan sopan." Nyonya Erika berucap tanpa menoleh pada anak dan menantunya. Lalu membuka pintu kamar, dan masuk ke dalamnya. Dipa mengikutinya setelah melepas genggaman tangannya pada Anggit.

Sembari menghela napas dalam--Anggit melangkah masuk ke ruangan rawat inap yang lebih besar dari rumahnya. Hawa sejuk menerpa dan aroma harum Lavender--jauh dari bau identik rumah sakit--menggoda hidungnya. Dari dulu Anggit menyukai aroma Lavender.

Nyonya Erika menghentikan langkah, demi melihat suaminya berdiri di sebelah bed. Nyonya Jana alias istri pertama Kusuma alias si Nenek Sihir terbaring lemah di tempat tidur pasien dengan mata terpejam rapat. Nyonya Erika mundur beberapa langkah ketika Kusuma memberi kode--menyuruhnya untuk keluar. Ya, tentu saja sebagai lelaki dia tidak akan mengumpulkan istri pertama dan istri kedua di ruangan yang sama.

Mengetahui situasinya, Dipa menarik tangan mamanya dan membawanya keluar. Lalu menutup pintu, meski mama-nya membeliak marah tanpa suara. Hal itu lebih baik daripada Nyonya Jana mengusirnya.

"Siapa yang datang?"

Suara lemah Nyonya Jana membuat Dipa bergegas meraih tangan Anggit dan membawanya mendekati tempat tidur. Istri pertama Papa adalah wanita nomor satu yang harus dihormati dan diprioritaskan, melebihi mama kandungnya sendiri. Sejak kecil, aturan dari Papanya tidak boleh dibantah. Dipa harus bisa menempatkan diri sebagai anak kandung Nyonya Erika, sekaligus anak kesayangan Nyonya Jana.

"Kau sudah menikah, anakku? Mana istrimu?"

Pertama kali mendengar suara Nyonya Jana, Anggit tidak percaya bahwa dia adalah nenek sihir yang menakutkan. Wanita itu membuka matanya yang keriput dan menghulurkan tangannya yang gemetar. Perlahan, Anggit menyambutnya dan mengecup punggung tangan wanita itu dengan hormat.

"Siapa namamu? Kau cantik sekali dengan baju pengantinmu," puji Nyonya Jana. Anggit terkesiap. Bahkan ibu mertua dan suaminya tidak memujinya sama sekali.

"Anggit, Nyonya."

Nyonya Jana yang semula berbaring, memberi kode pada suaminya untuk mengubah posisinya menjadi duduk. Dia mengembang senyum lemah. Nampak jelas ekspresi wajahnya seperti menahan sakit yang amat sangat. Papa Kusuma yang berdiri di seberang tempat tidur memindai Anggit dan Dipa bergantian, dengan tatapan yang dipenuhi beribu pertanyaan. Entah apa yang ada dalam pikiran benak lelaki sepuh dengan separuh rambut sudah memutih itu. Apakah dia mengetahui bagaimana istri mudanya menggelari istri tuanya?

Anggit menunduk dalam. Apalagi sepasang suami istri di hadapannya itu, menatapnya tanpa jeda. Seolah mereka ingin mengetahui dengan detil siapa dirinya. Nyonya Jana menghulurkan tangan ke arah Anggit, dan Anggit perlahan menyambutnya. Telapak tangan wanita itu terasa kering dan dingin. Namun genggamannya terasa hangat bagi hangat. Dan rasa hangatnya menjalar hingga ke dadanya. Menciptakan magnet untuk membuat Anggit mengingat wajah dan menatap sepasang mata keriput di Kedua alis Nyonya Jana bertaut, lalu dia menoleh ke arah suaminya.

Kedua orang itu saling berbicara dengan tatapannya. Sejurus kemudian, Nyonya Jana melepas tangan Anggit dan meraih kedua tangan suaminya, dan Kusuma segera merengkuh bahu istrinya dalam dekapannya. Nyonya Jana menenggelamkan wajahnya di pelukan suaminya. Dia tampak sangat lelah.

Kusuma mengelus lembut rambut istrinya yang sebagian sudah memutih sama dengan dirinya. Di ujung elusannya, Kusuma tertegun karena mendapati banyak helaian rambut rontok di tangannya.

Anggit menoleh ke arah Dipa, yang tampak terkesiap, sama dengan dirinya. Elusan selembut itu, merontokkan rambut Nyonya Jana. Anggit membekap mulutnya, namun kemudian Dipa menarik tangannya. Menggenggam erat tangan Anggit yang tiba-tiba mulai gemetar.

Pantas saja Nyonya Erika tak henti-henti berujar Nenek Sihir ini sebentar lagi akan berkalang tanah. Rupanya kanker hati yang dideritanya sudah sangat parah. Sudah pasti kemoterapi yang dijalani wanita ini telah membuat tubuhnya meluruh sedikit demi sedikit.

"Aku ingin bertemu dengan orang tuamu, Anggit," ucap Nyonya Jana kemudian. Lalu dia mendongak menatap suaminya. "Sebelum kita berangkat ke Tiongkok."

Kusuma mengangguk. "Dipa, bawa istrimu pulang. Besok pagi, kalian ke sini lagi. Bawa ibu Anggit. Dan katakan pada mama-mu, untuk mengurus semuanya dengan Om Komang. "

Dipa mengangguk setengah membungkuk. Anggit melihat bahwa Dipa sangat menghormati Papa-nya dan Nyonya Jana. "Kami pamit, Bunda."

Anggit ikut-ikutan membungkuk memberi hormat. Sepertinya Papa Kusuma dan Bunda Jana--panggilan itu terdengar lembut di telinga Anggit daripada Nyonya--tidak ingin diganggu. Bunda Jana masih tetap mendekap suaminya, membelakangi Anggit dan Dipa.

Dipa menarik tangan Anggit, keluar dari kamar.

Dan Nyonya Erika yang sudah menunggu di kursi, seketika melompat begitu melihat Dipa dan menantunya. Dia menggamit lengan anaknya dan menariknya menjauhi Anggit. "Dipa? Bagaimana? Apa Nenek Sihir itu sudah mati?"

Dipa menepis tangan mama-nya. "Bunda belum mati, Ma."

"Jangan sebut Bunda! Kau tahu aku tidak suka itu!" geram Nyonya Erika.

Dipa menghela napas. "Nyonya Jana masih hidup, Ma. Dan Papa menyuruh mama menghubungi Om Komang untuk mengurus semuanya."

"Komang?" tanya Nyonya Erika tak percaya. "Komang si Pengacara?"

Dipa melangkah meninggalkan mamanya yang tampak kegirangan, hingga melompat-lompat kecil mengiringi langkahnya. "Tentu saja Komang akan mengurus semuanya Dipa. Sudah kuduga, melihatmu sudah menikah, dia akan segera membuat surat wasiat untukmu. Dia tidak punya alasan lain, apalagi malaikat maut sudah tak sabar menjemputnya."

"Mama!" Dipa berteriak kesal dan menghentikan langkah. "Kenapa mama sangat ingin Nyonya Jana mati? Apa mama tidak kasihan pada Papa kalau Nyonya Jana mati?"

"Jadi kau tidak kasihan sama mama selama ini, hah?"

Anggit hanya menatap ibu dan anak itu berjalan di depannya. Dipa tak lagi meladeni ibunya yang mengomel sepanjang jalan, menyumpahi Nyonya Jana.


Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang