22 - Sekelebat Tatapan

188 7 0
                                    

"Anggit, di mana kamu?"

Dipa merasa marah dan kesal bukan kepalang. Dia merasa ditipu habis-habisan. Sudah jauh-jauh dari Jakarta ke Semarang, ternyata nol besar yang didapatnya.

Sepanjang perjalanan ke hotel, Dipa tidak bisa menghubungi informannya sama sekali. Nomor ponselnya tidak aktif, dan lelaki itu sama sekali tidak muncul di Semarang, membuat Dipa semakin yakin bahwa dia telah ditipu. Tidak sedikit uang yang sudah ditransfernya pada informan sialan itu, dan sudah dua bulan sama sekali tidak memberikan hasil yang diinginkannya.

"Dia hanya mau uangku saja," gerutu Dipa kesal. Berkali-kali dia memukul setir, namun percuma saja. Uangnya tidak akan kembali dan Anggit tidak akan tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Awas kau!" maki Dipa pada informannya yang entah saat ini ada di mana. Bisa jadi dia sedang menertawakan Dipa dari kejauhan, atau malah sedang menguntitnya saat ini dan hendak memeras uangnya lagi.

Ponselnya berdering.

Dipa melirik ponsel dan melihat Papa Kusumo menelpon. Dia sedang menyetir, dan sebaiknya menepikan mobil. Papanya pasti sangat membutuhkan dia di hari Minggu seperti ini. Jadi sebaiknya dia meluangkan lebih banyak waktu untuk sekedar berbincang di telepon, agar Papanya tidak curiga dengan apa yang sedang dilakukannya di Semarang.

"Halo? Dipa? Kamu di mana sekarang?"

Dipa menelan ludah. Dia yakin, Papa menelpon atas permintaan Bunda Jana. "Aku sedang di luar kota, Pa. Ada acara dengan teman-teman."

"Kamu ke Semarang? Urusan teman apa urusan bisnis, hah?"

Gawat. Papa Kusumo sepertinya sedang tidak enak hati. Nada bicaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya. Jadi, tidak ada gunanya berbohong dalam situasi ini. Meski nanti dia harus menutupi dengan kebohongan selanjutnya.

"Yaaa ... aku di Semarang sekarang, Pa. Nanti agak siang baru pulang."

"Ada apa kamu ke Semarang?"

"Ke rumah teman."

Dipa membuka pintu mobil, lalu menyandarkan diri di badan mobil. Dia harus membuktikan pada Papanya kalau dia sedang berada di jalan, sehingga suara lalu lalang kendaraan terdengar jelas.

"Kamu ada hubungan apa dengan Sartono?"

Deg!

"Sar ... to ...no?" Dipa gelagapan sendiri.

"Iya, Dia teman Papa. Barusan dia menelpon katanya kamu ke rumahnya."

"Ak-aku ti ..."

"Kau mau bohong? Dia mengirim Papa rekaman CCTV kamu di depan rumahnya. Kau ada hubungan dengan Sartono apa dengan istrinya? Jangan sampai membuat Papa malu, Dipa! Kau ada hubungan apa dengan Mila? Sampai sekarang Sartono belum menemukan siapa brondong yang kabur dengan istrinya. Jadi, jangan sampai kau ada kaitannya dengan urusan Mila."

"Apaa?" Dipa hanya bisa mendelik. Bagaimana mungkin dia bisa terjebak dengan Mila, Sartono dan Papanya? Dan brondong yang entah siapa.

Dasar informan kurang ajar!

Dipa hampir saja membanting ponsel karena kesal, ketika sebuah bus berhenti dan menurunkan penumpang di dekatnya.

"Dipa! Kembali ke Jakarta, sekarang!"

Dipa belum sempat menjawab perintah Papanya, ketika bus di hadapannya mulai bergerak pelan. Masalahnya adalah, tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata seorang perempuan yang duduk di tepi jendela bus. Dan tentu saja dia sangat mengenal wajah cantik perempuan itu. Wajah yang sudah dicarinya dua bulan ini.

Beberapa detik, namun sudah membuat dadanya serasa hendak meledak.

"Anggit!" seru Dipa.

Bus di hadapannya bergerak semakin cepat dan meninggalkan kepulan asap. Dipa berusaha mengejar bus tersebut, tapi lajunya semakin kencang.

"Sialan!" maki Dipa ketika tidak bisa mencapai bus yang dikejarnya. Dia segera berlari kembali ke mobilnya, melempar ponsel ke dalam mobil begitu saja, meski dia sayup-sayup mendengar suara Papanya memanggil.

"Maaf, Pa. Tapi aku harus mengejar Anggit!" Dipa bergegas melajukan mobilnya di jalan raya. Badan bus di kejauhan tampak jelas di matanya. Dia tidak boleh kehilangan bus dan Anggit di dalamnya.

***

Anggit menelan ludah. Dia kembali melihat gestur Dipa di luar bus. Lelaki itu bersandar di mobilnya dan sedang menelepon. Bisa-bisanya dia mengamati gestur itu dengan cermat, seolah dia merindukan mantan suaminya itu.

"Dipa ..." geramnya kesal, sembari meremas ujung bajunya. Sembari memukul-mukul kepalanya, Anggit mencoba untuk tidak melongok ke luar jendela lagi.

"Sadar, Nggit. Sadaaar. Kamu itu halu. Haluuuu!" Anggit berusaha mengkonfirmasi pada dirinya sendiri, bahwa dia sedang berhalusinasi, karena kekurangan nutrisi. Jadinya mengkhayalkan melihat Dipa di setiap tempat, karena secara alamiah, janin di rahimnya pasti merindukan ayahnya.

"Kau akan tetap bersama ibu, sayang. Tidak ada ayah, tidak ada nenek atau kakek. Mereka semua jahat."

Anggit menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.

"Stop! Stop! Ada penumpang!" teriak kondektur di bagian belakang.

"Nanggung ini, ada polisi di depan! Gak bisa berhenti!" sahut sopir.

"Dia lari itu ngejar!"

Bus berusaha mengeram, tapi ada polisi di depan memberi tanda untuk jalan terus. Akhirnya bus berjalan lagi. Anggit iseng berdiri, hendak pindah posisi bangku di depan. Dia menoleh ke belakang, dan melihat ada orang yang berlari-lari mengejar bus. Dan orang itu adalah orang yang disangkanya Dipa tadi.

Anggit tertegun.

"Apa benar dia Dipa? Dia mengejar bus ini? Mengejarku?"

Anggit masih berada di posisinya, berdiri menghadap ke belakang. Dan rasa penasarannya, membuatnya memutuskan untuk pindah ke bangku belakang. Penumpang bus memang sedang lengang, jadi tidak masalah dia pindah ke bangku mana saja.

Anggit duduk di bangku paling belakang. Tapi dia memutar badan dan melihat ke belakang bus. Di kejauhan, dia melihat lelaki yang diduganya Dipa, berlari menuju mobilnya. Dan tak lama berselang, dia melihat mobil itu sudah memasuki badan jalan.

"Apa benar dia Dipa? Aku tidak berhalusinasi?"

Anggit kembali duduk, lalu memejam mata. Mengingat-ingat beberapa detik tatapannya dengan lelaki itu. Sangat singkat, tapi membuatnya berhalusinasi bahwa lelaki itu adalah mantan suaminya. Jika memang benar dia tidak berhalusinasi, dia harus membuktikan sesuatu.

"Tapi apa pentingnya buatku?"

Anggit bimbang. Lelaki yang mirip Dipa saja sudah membuatnya kacau, apalagi bila memang benar Dipa. Mantan suaminya itu pasti akan menghinakannya lagi bila mereka bertemu. Bagaimanapun juga, status sosial mereka seperti pucuk gunung dan dasar jurang. Tak akan pernah bisa bertemu di lembah yang damai dan menyenangkan.

Anggit kembali menoleh ke belakang. Mobil yang ditandainya tadi, ada di deretan mobil yang cukup panjang. Bila bus ini berhenti, baik itu menurunkan atau menaikkan penumpang, maka mobil itu akan bisa menyalip dengan cepat.

Anggit lalu mendekati kondektur.

"Mas, dekat sini ada pasar, gak?"

"Ada mbak, sebentar lagi. Mau turun pasar? Bukannya tadi mau ke Cirebon?"

Anggit menggeleng. "Turun pasar saja. Tidak jadi."

Anggit berjalan ke bagian depan bus dan berpesan pada sopir untuk menurunkan di pasar. Benar saja, tak berapa lama, bus melewati pasar yang tidak seberapa besar, namun cukup ramai aktifitas dan orang-orang di sekitarnya.

Anggit segera turun, lalu masuk ke dalam kerumunan orang. Mengambil tempat berdiri tersembunyi di belakang penjual es. Tak berapa lama, mobil yang ditandainya tadi melintas tidak seberapa jauh dari tempatnya berdiri.

Dan lelaki di dalam mobil itu, sepertinya sedang mencari sesuatu. Dia membuka kaca jendela mobilnya, lalu memindai sekeliling pasar. Bus berjalan lambat karena terkendala aktivitas pasar, demikian juga mobil yang mengikutinya.

Anggit mengamati lekat-lekat lelaki di belakang kemudi. Dia lelaki yang beberapa detik bertatapan dengannya, mengejar bus dan sekarang celingak celinguk mencari sesuatu.

"Dipa ..." Anggit hanya mendesis sembari meremas ujung bajunya.

Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang