26 - Hamil Tanpa Suami

264 8 0
                                    

Dokter Arjuna tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya ketika Anggit duduk berseberangan meja dengannya. Antara terkejut dan senang, Anggit bisa dengan jelas melihat di sepasang mata lelaki yang menabraknya di depan ruang meeting. Bahkan dia masih merasakan pegal di bahunya.

"Saya tidak menyangka kalau anda bekerja di Jana Group," ucap dokter Arjuna membuka pembicaraan, yang sama sekali tidak ada hubungan dengan profesinya sebagai seorang dokter.

Anggit hanya mengangguk. Tiba-tiba saja dia merasa tidak nyaman bila dokter kandungan setampan dokter Arjuna akan memeriksanya. Apalagi, dia seorang janda. Wanita hamil tanpa memiliki suami. Sebenarnya bukan karena tidak peduli dengan anggapan lelaki itu padanya, tapi dia hanya merasa risih saja. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini, selain mengikuti saja alurnya. Bila dia memberikan respon yang tidak wajar, bisa jadi akan ada laporan ke Jana Grup–dan itu sangat beresiko baginya.

"Ada keluhan dengan kehamilan anda? Saya baru mengetahui kalau ternyata anda hamil," ucap dokter Arjuna sembari membaca buku catatan dengan logo Jana Grup yang diserahkan Anggit pada perawat tadi.

Lah, kalau tidak hamil untuk apa aku masuk ke ruangan ini? Anggit hanya membatin dan menatap dokter di hadapannya.

"Apa waktu kita tabrakan kemarin tidak apa-apa?"

Anggit menggeleng.

"Benar anda tidak apa-apa?"

Mereka bertatapan sejenak, lalu Anggit menunduk dan mengangguk.

"Coba saya periksa dulu kandungannya."

"Eh, tidak usah!" tukas Anggit segera. "Saya baik-baik saja."

Hening beberapa detik. Dan Anggit menyadari bahwa dia telah salah menjawab. Dia tidak boleh memberikan respon tidak wajar, atau akan menjadi tanda tanya besar pada para petugas. Mengaku hamil tapi tidak mau diperiksa.

"Saya tahu bagaimana anda kemarin hampir saja jatuh, saya hanya ingin memastikan bahwa kandungan anda baik-baik saja. Silahkan naik ke tempat tidur. Mbak, tolong dibantu ya." Dokter Arjuna terdengar sedikit memaksa.

Perawat yang berjaga di dalam ruangan itu lalu menyilakan Anggit untuk naik ke tempat tidur. Tempat tidur yang dimaksud berada di balik tirai, membatasi meja dokter Arjuna dengan ruangan sempit yang hanya berisi tempat tidur dan sebuah alat dengan monitor. Dengan canggung Anggit menurut saja.

"Bajunya diangkat," perintah perawat itu ketika Anggit sudah berbaring. "Sampai di atas perut. Celana juga, sampai di bawah perut."

Anggit diam saja tidak merespon. Sebenarnya dia bingung apa harus buka-bukaan seperti itu di hadapan lelaki tampan yang sedang berada di balik tirai. Seumur hidup, baru Dipa yang membuka bajunya dan mengetahui semua lekuk tubuhnya. Anggit merasa tidak nyaman bila harus membuka baju hingga ...

"Sudah siap?" tanya dokter Arjuna dari balik tirai.

Karena Anggit tidak merespon permintaan perawat, maka perawat itu pun membuka baju Anggit dan menurunkan celananya, membuat Anggit menjengit. Dia memegang tangan perawat itu sembari menatapnya, hendak mengatakan bahwa dia tidak perlu melakukan hal itu. Namun niatnya tertunda ketika tirai disibak dan dokter Arjuna sudah berada di sisi tempat tidur.

Anggit merasa mukanya memerah. Dia lalu mengalihkan pandangan ke tembok, sembari menahan napas. Pasrah.

Sejurus kemudian, Anggit merasakan perutnya diolesi benda yang kental dan dingin, membuatnya kembali menjengit.

"Rileks saja, tidak sakit kok," ucap dokter Arjuna dengan suara lembut dan dalam. Memahami bila Anggit sedang tegang. Pasien yang pertama kali hamil memang biasanya seperti Anggit.

Anggit memejam mata. Dan sebuah benda logam menyentuh perut bagian bawah, berjalan pelan di atas gel dingin tadi. Sedikit menekan perut bagian bawahnya, tapi tidak terasa sakit. Beberapa saat, tidak ada percakapan, hanya dokter Arjuna yang mengotak atik mesin di sebelah tempat tidur.

"Hm, bagus, Sehat. Makannya gimana?"

"Tidak selera ..."

"Saya kasih vitamin nanti."

Selesai memeriksa Anggit, dokter Arjuna kembali ke tempatnya, lalu perawat membersihkan perut Anggit. Ragu, Anggit kembali ke tempat duduknya kembali setelah memastikan bajunya sudah terkancing semua dan dokter Arjuna tengah menulis resep untuknya.

"Ini vitamin bisa diambil di apotik. Di usia kandungan anda, saya sarankan untuk tidak bekerja terlalu berat. Anda di bagian apa tadi? OB?"

Anggit menggeleng. "Sudah pindah. Ke bagian fotocopy."

Dokter Arjuna mengangguk. Anggit menerima resep dari dokter Arjuna dan berdiri dari tempat duduknya.

"Bulan depan kembali lagi untuk kontrol kandungan."

Anggit mengangguk dan sedikit membungkuk memberi hormat.

"Saya tunggu," ucap dokter Arjuna, tanpa melepas tatapannya dari Anggit. Perawat di sebelahnya mengamati tingkah dokter Arjuna dan merasa heran. Tidak seperti biasanya, ada dokter yang bersedia menunggu kedatangan pasiennya.

Anggit menarik napas panjang sembari memejam mata ketika sudah berada di luar ruangan. Setidaknya dia bisa mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai di Rumah Sakit ini, meski tentu saja standarnya adalah standar pegawai rendahan. Tidak seperti ...

"Dipa." Anggit menelan ludah. CEO Jana Grup itu melintas sekitar sepuluh meter di depannya, bersalipan dengan beberapa pengunjung Rumah Sakit yang mayoritas berpakaian pegawai Jana Grup. Sepertinya dia hendak memastikan semua pegawainya benar-benar mendapat pelayanan kesehatan sesuai dengan kontrak kerjasama.

Anita tampak berlari-lari kecil mengikuti langkah lebar Dipa. Anggit hanya mendecih melihat keduanya, lalu bergegas mencari jalan keluar agar tidak bertemu dengan mantan suaminya.

***

"Bagaimana hari ini?" Dipa menerima berkas dari petugas Rumah Sakit dan menyerahkan pada Anita yang berada di sebelahnya. "Pastikan semua pegawai yang jadwalnya hari ini datang semua."

"Semua berjalan lancar, Pak!" ucap Kepala Rumah Sakit. "Terima kasih sudah mempercayakan pelayan kesehatan semua pegawai Jana Grup di Rumah Sakit Rosana. Kami akan melakukan yang terbaik untuk semua pegawai Jaga Grup."

Dipa manggut-manggut. "Bulan depan akan ada ulang tahun Jana Grup. Semua pegawai Jana Grup harus dalam kondisi prima, karena kami akan mengadakan banyak kegiatan sosial."

"Kami akan mendukung sepenuhnya."

Dipa dan Kepala Rumah Sakit bersalaman sebelum berpisah. Anita menyerahkan berkas kembali pada Kepala Rumah Sakit.

"Semua hadir?" tanya Dipa.

"Semua hadir, Pak," ucap Anita. "Malah ada satu orang yang langsung rawat inap karena ternyata radang usus buntu. Dan satu lagi, hamil muda dengan masa kerja kurang dari satu tahun."

"Hamil muda?" tanya Dipa heran. "Bukankah ada ketentuan kalau pegawai baru tidak boleh hamil sebelum lima tahun masa kerja?"

Dipa melangkah keluar diikuti Anita yang membayanginya ibarat dayang-dayang setia.

"Nyonya Jana sempat akan merevisi ketentuan itu, Pak. Terkait ada pengunduran diri besar-besaran tahun lalu."

Dipa ingat kejadian itu. Kejadian ekstrim yang membuat Bunda Jana terkapar di Rumah Sakit dan dokter baru mengeluarkan diagnosa yang selama ini diminta untuk dirahasiakan oleh Bunda Jana sendiri. Kanker hati.

Dipa mengangkat dagu, menunjukkan siapa dirinya yang harus dihormati. "Aku akan konsultasikan dengan Bunda Jana, bukankah aku sekarang yang jadi CEO. Pegawai yang belum lima tahun bekerja, belum teruji keloyalannya pada perusahaan. Apalagi kalau wanita yang punya bayi."

Anita mengangguk-angguk setuju. Di benaknya sudah tersusun rencana untuk mendapatkan perhatian dan dukungan Dipa, yaitu mendepak sebuah nama yang tercantum di list paling akhir. Petugas fotocopy bernama Anggit.

Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang