23 - Dipa Putus Asa

200 8 0
                                    

Dipa seperti orang gila lepas di jalanan. Bisa-bisanya dia menyalip bus yang dinaiki Anggit, dan menghentikannya dengan menyilangkan mobil di tengah jalan. Sopir bus membunyikan klakson hingga melengking panjang saking terkejutnya.

"Anggit! Anggit!"

Dipa menyusuri lorong bus dan memindai dengan cepat setiap penumpang, diiringi makian sopir dan kondektu.

"Mana dia? Mana perempuan yang duduk di sini tadi?"

Penumpang yang tidak seberapa banyak saling menggumam dan menatap Dipa dengan tatapan merasa terganggu.

"Mas ... mas... mobilmu itu!" ujar kondektur kesal sembari menarik-narik lengan baju Dipa. "Kalau mau naik, minggirkan dulu mobilnya!"

"Perempuan di sini tadi, mana dia?" tanya Dipa mulai panik karena tidak mendapatkan Anggit di dalam bus.

"Banyak perempuan di sini tadi."

"Yang ..."

Dipa putus asa. Dia menjambak rambutnya sendiri. Dia sangat yakin, tadi dia melihat Anggit. Dan Anggit juga melihat ke arahnya.

"Dia pasti turun. Turun di mana?"

Kondektur itu mencoba mengingat sesuatu. Sopir membunyikan klakson melengking lagi, dan para penumpang mulai tidak sabar. Mengomel dan memaki-maki.

"Dia turun di pasar!"

Kondektur akhirnya memahami Dipa, melihat kepanikannya. Dan teringat tentang seorang wanita yang minta diturunkan di pasar, padahal baru saja naik bus dengan tujuan Cirebon dan sudah membayar.

Dipa bergegas turun, masih diiringi makian banyak orang. Memutar balik mobilnya dan kembali ke pasar. Seingatnya tadi, di pasar dia memang tidak bisa menyalip bus ini karena lalu lintas memadat.

"Anggit, jangan pergi!" teriak Dipa dalam hati. Dia tidak tahu, bagaimana Anggit bisa berada di Semarang. Mungkin dia punya kerabat di sini yang menampungnya. Bisa jadi, informasi yang didapatnya benar, hanya salah tempat saja. Nyasar ke Pak Sartono. Mungkin Anggit memang pernah bekerja di sana, melamar pekerjaan di sana. Hanya saja situasi Pak Sartono sedang pelik saat ini–jadi Dipa tidak mungkin meneruskan pencarian di sana.

Sesampai di depan pasar, Dipa memarkir mobilnya di tempat yang mudah terlihat. Melihat keramaian pasar, dia semakin putus asa. Tapi dia yakin bisa menemukan Anggit di pasar ini. Perempuan seperti Anggit pasti hendak berbelanja urusan dapur, tidak lebih dari itu.

Maka Dipa pun berusaha menenangkan diri, menyusuri setiap kios dan lorong-lorong pasar. Sesekali menunjukkan foto Anggit pada para pedagang, siapa tahu mereka baru saja melihat Anggit di sana.

***

Anggit sudah duduk di bus yang berbeda dari sebelumnya. Menghembus napas panjang, lalu meneguk air mineral sampai tandas satu botol ukuran tanggung. Sedikit kesal karena harus kehilangan tiket, tapi lega karena bisa menghindari Dipa.

"Ada urusan apa dia di Semarang?" batin Anggit. Pasti urusan tanah yang diincar oleh Nyonya Erika. Bukankah ibu dan anak itu sama-sama gila harta? Menjadikannya sebagai alat hanya untuk mendapatkan warisan.

Yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa timelinenya bisa bersamaan dengan Dipa. Anggit mengeluarkan ponsel. Ponsel yang baru dibelinya sepeninggal ibunya. Keluarga Kusumo tidak akan bisa melacaknya, bila ternyata ada urusan warisan yang belum selesai dan membutuhkan dirinya. Lagipula, Anggit tidak mau berurusan dengan mereka lagi.

"Jadi, dia ke Semarang pasti bukan untuk mencariku. Kalau memang iya, dia sudah melakukannya di Jakarta."

Anggit membuka pesan. Tidak ada pesan satupun. Karena dia memang tidak banyak menyimpan nomor orang lain. Hanya nomor Bu Mayang dan beberapa rekan kerjanya. Dia bukan orang penting.

Bus sudah berada di luar kota Semarang. Anggit memaksakan diri untuk memejam. Meski kelebatan tatapan Dipa tadi masih terus mengusiknya, namun akal sehatnya menyuruhnya untuk beristirahat. Tubuhnya terasa sangat lelah, dan yang diinginkannya saat ini hanya merebahkan diri di kamar kontrakannya.

Bus yang dinaiki Anggit berhenti di terminal Pekalongan. Seorang lelaki yang mengenakan masker dan topi pet yang cukup dalam naik ke dalam bus. Berjalan pelan dan berhenti di bangku Anggit.

Anggit duduk sendiri. Lelaki itu memindai seisi bus yang sedang menunggu penumpang di terminal. Tidak terlalu banyak penumpang, jadi dia bisa memilih bangku mana saja yang masih kosong. Namun dia memilih duduk di sebelah Anggit. Duduk dengan pelan, agar tidak membangunkan Anggit.

Anggit yang merasa ada penumpang lain duduk di sebelahnya, sedikit beringsut ke jendela dan memeluk erat tas di pangkuannya. Namun masih memejam mata.

Tak berapa lama, bus bergerak ke luar terminal. Lelaki di sebelah Anggit mengeluarkan ponsel, berpura-pura membaca pesan. Namun setelahnya, mengambil posisi tersembunyi untuk mengambil foto Anggit yang masih tidur.

Foto itu kemudian dikirim pada seseorang.

"Aku bersamanya."

Pesan dibalas. "Pastikan dia sampai di Jakarta."

***

"Anda yakin dia ada di Semarang?"

Dipa mengangguk. "Sangat yakin."

Polisi di hadapannya melirik Dipa sekilas, lalu melanjutkan menulis di buku besarnya. Dia lalu mengamati foto Anggit di tangannya. Foto yang sudah dicetak oleh Dipa, untuk keperluan melapor ke polisi.

"Sejak kapan menghilangnya?"

"Tepat dua bulan yang lalu."

"Ada alasan kenapa dia pergi dari rumah?"

Dipa terdiam. Dia menjadi bimbang, karena Anggit sudah diceraikannya. Lebih tepatnya mereka dipaksa bercerai oleh Mama. Meski Dipa menandatangani surat perceraian itu, tapi jujur di dalam hatinya dia sangat menyesal telah melakukannya. Dan semakin hari, dia semakin tidak tenang karena Anggit tak kunjung berhasil ditemukannya.

Meski sudah menyewa orang untuk mencari, tapi nihil. Mungkin polisi bisa menjadi satu-satunya jalan untuk menemukan Anggit.

"Kalian bertengkar?"

Dipa menggangguk, lalu menggeleng. "Tidak seperti itu. Eh ... Mama meminta aku menceraikan dia."

"Oh."

Dipa menatap polisi separuh baya di hadapannya. Lelaki itu seketika menangkup kedua tangan di hadapan dagu. Menyadari bahwa pelapor di hadapannya bukan sekedar melapor kehilangan istri, tapi juga anak Mama yang tidak berdaya.

"Anda tidak mau menceraikan dia?"

"Saya ... tidak bisa membantah Mama."

"Oh." Polisi itu kembali manggut-manggut. "Dan Anda tidak bisa melaporkan Mama anda tentu saja."

Dipa menggaruk kepalanya sendiri. Sepertinya dia salah melapor ke polisi, tapi dia tak punya cara lain untuk menemukan Anggit.

"Jadi, laporannya bukan istri yang meninggalkan rumah lagi. Harus saya ubah." Polisi itu mencoret catatannya sendiri. "Diganti, janda yang menghilang."

"Pak ... tapi ..."

"Hm? Bagaimana? Benar kan?"

Dipa menarik napas panjang, putus asa. Rasanya laporan ini menjadi mustahil, karena dia tidak ada lagi hubungan dengan Anggit.

"Bapak bisa membantu saya menemukan Anggit?"

Bapak polisi itu tersenyum samar. "Ada KTP mantan istri anda?"

"Saya ... tidak punya."

"Oh iya, anda kan sudah ber-ce-rai."

Dipa menelan ludah. Kata terakhir yang diucapkan lelaki di hadapannya, seolah menegaskan statusnya yang tidak layak sebagai pelapor.

"Kecuali dia membawa kabur harta anda. Saya tambahi, pencuri di laporan saya. Janda pencuri yang cantik jelita. Bagaimana?"

Dipa menggeleng. Sepertinya ini tidak akan berhasil.

Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang