Bu Mayang menggenggam tangan Anggit yang terasa begitu dingin. Mereka berdua berada di sebuah ruangan, menunggu petugas dari Rumah Sakit. Sudah setengah jam berlalu, namun tak seorangpun muncul membuka pintu. Membuat tangan Anggit semakin dingin saja.
Bu Mayang menelisik wajah Anggit yang sembab. Matanya bengkak dan kelopaknya berkantung hitam. Dia tak pernah bertanya lebih jauh tentang kehidupan pribadi Anggit. Karena memposisikan sebagai Kepala Bagian Kebersihan–dia berusaha untuk tegas pada anak buahnya. Beberapa kesalahan, tak bisa ditolerirnya.
Tapi pada Anggit, dia memberikan banyak toleransi. Seperti melihat dirinya di masa lalu, yang mengawali bekerja di perusahaan ini saat usianya sebaya Anggit. Jatuh bangun, asam garam, hinaan dan pujian telah menjadikannya berada di posisi saat ini. Dan pada Anggit, kini dia ingin menunjukkan bahwa gadis itu bisa seperti dirinya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bu Mayang, berusaha menghangatkan tangan Anggit Wanita muda di hadapannya seolah manusia yang akan kehilangan nyawa. Benar-benar terpuruk dalam duka yang mendalam..
Anggit mengangguk pelan. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab dengan tegas, karena semua orang tahu, dia bukan tidak apa-apa dengan peristiwa yang sudah menimpanya. Saat ini, Anggit merasa berada di titik terendah dalam hidupnya, hingga rasanya dia sulit bernapas.
"Semalam kau sesak napas?"
Anggit menggeleng. Itu karena dia menangis terlalu keras, hingga kesulitan bernapas. Semua teman di bagian Cleaning Service dikerahkan Bu Mayang untuk membantu mengurus jenazah Minah, sejak keluar dari Rumah Sakit sampai dimakamkan. Bu Minah mengalami kecelakaan saat hendak berangkat ke pasar.
"Kau tidak mengabari ... mantan suamimu?" tanya Bu Mayang hati-hati.
Anggit membungkuk, dan meletakkan keningnya di meja. Bu Mayang menarik napas panjang. "Lelaki memang bisa lebih jahat dari Voldemort."
Bu Mayang berusaha menghibur Anggit. Meski tidak tahu Voldemort itu siapa, tapi kata anaknya, dia adalah penyihir paling jahat.
"Siapa Nenek Sihir paling jahat?" tanya Anggit tanpa mengangkat wajah dari atas meja.
"Kurasa Nenek Sihir di Hansel dan Gretel. Dia membesarkan anak manusia hanya untuk dimakan. Itu tindakan paling keji, menurutku." Bu Mayang jadi teringat buku dongeng yang pernah dibelinya.
"Itulah mantan mertua," ucap Anggit sambil perlahan mengangkat wajah. "Seharusnya aku ceburkan dia di kuali, merebusnya sampai lunak dan memberikannya pada anjing."
Bu Mayang menelan ludah. Suara Anggit terdengar berat, dengan kemarahan tertahan. Wanit ini telah mengalami hal berat dalam hidupnya, membuat dada Bu Mayang bergetar. Terlebih ketika Anggit menoleh ke arahnya, menatap dengan sepasang mata penuh dendam. "Dia harus membayar semua yang dilakukannya padaku."
"Anggit, kau bisa bersandar padaku. Anggap aku pengganti ibumu."
Anggit mendengus pelan, mengusap ingus encer dari hidungnya. Sepertinya dia berusaha menghentikan tangisnya hari ini juga, untuk selamanya.
Dia menoleh ke pintu yang terbuka dan seorang lelaki berpakaian serba putih memasuki ruangan didampingi seorang perempuan–sepertinya petugas administrasi.
"Anggit Nova Saraswati?" tanya lelaki berbaju putih yang langsung duduk di kursi seberang Anggit. Sejenak dia menatap Anggit yang juga menatapnya dengan tatapan mata aneh. "Anda putri tunggal Ibu Aminah Purwanti?"
Anggit tidak menjawab. Dia hanya menatap badge nama di baju lelaki di hadapannya.
dr Arjuna.
Dari penampilan, Anggit sudah bisa menilai dr. Arjuna adalah orang kaya seperti Dika. Wajahnya tampan, menarik, kulitnya bersih dan arloji di tangannya tampak mahal. Anggit mendecih pelan. Pertama kali melihat Dipa, kesan yang didapatnya tidak jauh berbeda dengan dr. Arjuna.
Dan sialnya, dia jatuh cinta pada Dipa yang sudah mencampakkannya. Dan hal itu sekarang membuatnya tak lagi mengijinkan matanya untuk melihat lelaki setipe Dipa.
"Benar demikian, Nona Anggit?" tanya dr. Arjuna demi tidak mendapat dari Anggit. Bu Mayang mencolek punggung tangan Anggit.
"Dia bukan Nona lagi," ucap Bu Mayang. "Dia sudah janda."
"Oh," ucap dr. Arjuna spontan, lalu menyadari reaksi terkejut kecilnya. "Maaf."
"Suaminya minggat."
Anggit melirik Bu Mayang dan berucap sinis, "Apa lagi yang harus diceritakan?"
Bu Mayang menelan ludah, setelah mendapat tatapan tajah Anggit. Sementara dr Arjuna menangkap tatapan tajam Anggit pada Bu Mayang, merasa ada yang berbeda pada wanita di hadapannya. Sebagai seorang anak yang mendadak kehilangan ibunya, dia tidak hanya tampak berduka. Tapi marah dan dendam seolah menjadi aura di sekelilingnya.
Ada apa dengan wanita ini? Dr. Arjuna tidak ingin mengamati lebih lanjut. Dia lalu meraih berkas dari tangan wanita di sebelahnya, lalu membukanya di hadapan Anggit.
"Sebagai dokter yang pertama kali menangani pasien atas nama Ibu Aminah Purwanti, saya berkewajiban menjelaskan beberapa hal terkait almarhum. Dan saya hanya membutuhkan tanda tangan anda sebagai nama yang ditulis Ibu Aminah di ini."
"Apa itu?" tanya Bu Mayang, lalu mendekatkan diri, hingga bisa ikut membaca berkas di hadapan Anggit.
"Sepekan sebelum kematian Ibu Aminah, beliau mendonorkan organnya."
"Apa?" Anggit terkejut bukan kepalang. Mendonorkan organ? Hal yang sama sekali tidak terpikir olehnya, ibunya akan berbuat senekad itu."Ibu ... menjual ginjalnya?"
Dr. Arjuna menggeleng. "Rencananya demikian. Tapi beliau keburu meninggal karena kecelakaan. Jadi saat kecelakaan itu terjadi, beliau dibawa ke Rumah Sakit dalam kondisi masih hidup."
"Lalu?"
"Sesuai kesepakatan, organ yang didonorkan sudah kami ambil dan sudah dicangkokkan pada penerima donor."
Anggit terngaga. Teringat perkataannya sepekan kemarin, yaitu dia membutuhkan uang dalam jumlah besar untuk melaksanakan niatnya. Dan ibunya nekad menjual organnya pada penerima donor.
"Jadi, jenazah ibunya ..." Bu Mayang mencoba memahami, dan langsung dijawab dengan anggukan oleh dr. Arjuna.
"Mohon maaf, karena kondisi jenazah sebagian sudah hancur karena kecelakaan. Tapi organ yang didonorkan dalam keadaan baik. Kami masih belum sempat menyampaikan pada Nona Anggit, jadi baru hari ini kami minta untuk menandatangani beberapa berkas. Juga ... menerima sejumlah dana yang diberikan oleh penerima donor."
Anggit masih syok, belum bisa berpikir jernih. Bu Mayang pun berinisiatif mengambil alih situasi. "Begini, dokter. Maaf sebelumnya, saya atasannya di tempat kerja, dan dia kini sendiri, tidak punya siapa-siapa. Jadi, saya akan membantu sebisanya. Jadi, apa yang harus dilakukan Anggit sekarang?"
"Ada nomor rekening Nona Anggit?"
"Rekening?"
Dr. Arjuna mengarahkan telunjuknya ke barisan terakhir angka sebelum tanda tangan. "Uang sejumlah ini, lebih baik ditransfer ke rekening."
Bu Mayang melongo melihat sejumlah angka yang tertera. Anggit mendelik, dan sekujur badannya lemas seketika. Bibirnya gemetar dan memanggil ibunya berkali-kali. Bu Mayang hanya bisa memeluk kepala anak buahnya yang terkulai itu.
Tanpa disadari oleh keempat orang dalam ruangan, bayangan seorang lelaki di luar ruangan, meninggalkan tempatnya berdiri sejak tadi, setelah mengintip dan menguping pembicaraan di dari pintu yang setengah terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri MOST WANTED
RomanceUsia pernikahan Dipa dan Anggit hanya satu pekan saja. Demi mendapatkan hak waris perusahaan, Mama Dipa memaksa Dipa untuk menikah dengan Anggit--anak pembantunya. Namun kemudian memerintahkan Dipa untuk menceraikan Anggit, agar bisa menikahi Melis...