20 - Nyaris Ditemukan

194 11 0
                                    

"Kau di mana?" suara Kusuma terdengar tidak senang dan bernada tinggi. Dipa sudah hapal nada tinggi itu, karena kerap digunakan pada Mamanya. Banyak hal yang akhir-akhir ini diketahuinya bahwa Papa dan Mama-nya tidak seharmonis Papa dan Bunda Jana. Mungkin karena status Mama-nya sebagai istri kedua yang tentu saja selalu dinomorduakan.

Tapi Dipa tak pernah ambil pusing dengan masalah yang kerap dikeluhkan Mamanya itu. Karena Mamanya juga cuek bahkan cenderung tak peduli. Terlebih, Dipa juga mendapatkan kasih sayang yang lebih dari Bunda Jana daripada Mamanya sendiri. Bunda Jana jauh lebih lembut dan perhatian daripada Nyonya Erika yang lebih sering ketus dan ambisius.

Dipa sedikit menyesal kenapa tadi refleks mengangkat telepon dari Papanya. Karena menyetir sendiri, dia tidak sempat memperhatikan nama yang tertera di ponsel.

"Aku ... ke luar kota."

"Ke luar kota? Ke mana?"

"Semarang."

Tidak terdengar suara di seberang, membuat Dipa sedikit heran. Bukankah sebelumnya, Papanya terdengar sedikit emosi karena tidak mendapati Dipa di rumah. Weekend ini seharusnya dia menemui Nyonya Jana sebagaimana yang dijanjikannya. Tapi informasi keberadaan Anggit tidak bisa diabaikannya begitu saja. Jadi lebih baik dia tidak memberitahu siapapun, atau akan terdengar oleh Mamanya.

"Ada perlu apa?" suara Kusumo melunak.

"Ada reuni dengan beberapa teman," ucap Dipa terpaksa berbohong. "Aku akan kembali besok. Apa Papa ada keperluan denganku?"

"Tidak. Bunda ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin disampaikan, tapi bisa ditunda. Kalau sudah pulang, kau sebaiknya ke Bunda dulu sebelum ke Mamamu."

"Bunda Jana minta oleh-oleh apa?"

Tidak terdengar jawaban untuk beberapa detik. Dipa tak hendak menghentikan laju mobilnya di jalan tol ini, karena dia harus mengejar waktu agar bisa sampai di alamat yang dituju besok pagi. Informasi yang diterimanya, entah kenapa kali ini terasa begitu kuat di feelingnya, daripada informasi sebelumnya. Dia tak pernah seyakin ini, pada setiap informasi yang dia dapatkan tentang keberadaan Anggit.

"Tidak ada," jawab Kusuma. "Pulanglah dengan selamat."

Dipa mematikan sambungan telepon. Pastinya Bunda Jana akan menyampaikan informasi yang penting padanya. Sehingga menelpon malam-malam seperti ini. Jam yang seharusnya beliau beristirahat.

Dipa sampai di hotel yang dibookingnya, dan mendapatkan kamar 207. Dia hanya punya waktu tiga jam untuk memejam mata dan besok pagi menuju alamat yang dikirim oleh informan yang disewanya. Bahwa Anggit bekerja pada seorang pengusaha kelapa sawit. Semoga saja, pengusaha itu belum berangkat ke Kalimantan dan membawa Anggit.

Waktu tiga jam yang tersedia, ternyata tidak membuat Dipa bisa memejam mata. Kepalanya disibukkan dengan lintasan ingatan bersama Anggit. Apalagi saat ini dia menginap di kamar hotel. Meski hotel yang berbeda, tapi tetap mengingatkannya pada malam pertama yang dilaluinya bersama Anggit. Semalaman dia bersama istrinya, dan dia memaki dirinya kenapa setelah berpisah dengan Anggit dia baru merasa bahwa dirinya telah terikat begitu kuat pada Anggit.

Hanya dalam satu malam, Anggit telah membuatnya mabuk kepayang. Kalau saja ketika itu dia bisa lari dari Mamanya, pasti dia sudah membawa Anggit pergi jauh.

***

Anggit membuka mata. Merasa perutnya tiba-tiba memberontak hendak memuntahkan isinya. Padahal masih dini hari. Biasanya dia muntah setelah matahari terbit. Mungkin karena kelelahan setelah perjalanan yang cukup jauh, fisiknya tidak bisa bekerjasama dengan pikirannya.

Anggit berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan kuning kental di toilet. Dia yakin, suaranya terdengar sampai ke kamar sebelah, karena dia tak sempat menutup pintu kamar mandi. Anggit tergeletak lemas di kamar mandi, namun dia berusaha untuk merangkak keluar dan meraih telepon di kamar. Tenggorokannya terasa panas dan mulutnya pahit, karena yang dimuntahkannya tadi hanya asam lambung.

"Mbak, bisa minta tolong ..." bisiknya pada resepsionis di bawah.

"Ya bu, ada yang bisa saya bantu?"

"Apa saya bisa minta air hangat? Saya sedang tidak sehat."

"Baik, kami kirim segera. Kamar 208 ya?"

Anggit menutup telepon, lalu menyandar lemas di dinding. Ingatannya tertuju pada Dipa, lelaki yang telah menyebabkannya tersiksa seperti ini. Kalau dia tidak hamil, pasti tidak mengalami emesis seperti saat ini. Kebenciannya pada lelaki itu semakin menguat dari hari ke hari, seiring dengan derita hamil muda yang dialaminya. Muntah setiap pagi, tidak bisa makan apapun kecuali sangat sedikit. Anggit merasa banyak bajunya menjadi longgar karena berat badannya mulai menurun.

"Kau akan menyesal suatu hari nanti Dipa, karena membiarkan aku terlantar seperti ini."

Terdengar ketukan di pintu. Anggit merangkak menuju pintu dan membuka daun pintu. Pelayan hotel di luar kamar dibuat terkejut melihat kondisinya.

"Ya Tuhan, anda tidak apa-apa, Bu?"

Anggit langsung tergeletak lemas. Pelayan hotel itu panik, lalu berteriak memanggil Petugas Kebersihan yang sedang mengepel lantai di ujung lorong. Situasi menjadi sedikit gaduh. Petugas Kebersihan memanggil temannya yang lain dan bersama dengan pelayan hotel membopong Anggit ke tempat tidur.

***

Dipa yang belum bisa memejam mata, mendengar keributan di luar kamar. Dia bergegas turun dari tempat tidur dan membuka pintu. Melihat beberapa pelayan hotel dan petugas kebersihan yang berkerumun di kamar sebelah.

"Ada apa, Mbak?" tanya Dipa. Pintu di depan kamar Dipa juga terbuka, dan penghuninya juga keluar karena mendengar kegaduhan yang tidak biasa di dini hari.

"Ini ada yang pingsan, Pak."

"Apa dokter sudah dipanggil?" tanya Dipa.

"Ibunya sedang hamil pak, hanya kelelahan. Kami sudah menanganinya. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya!"

Dipa mengangguk, lalu kembali ke dalam kamar. Dia tadi memang sayup-sayup mendengar ada orang yang muntah-muntah dari kamar sebelah. Rupanya penghuninya wanita yang sedang hamil. Untunglah pelayan hotel sigap dan segera membantu. Dia teringat Hotel Jana, juga pasti akan melakukan hal yang sama terhadap penghuni hotel yang sedang sakit. Teringat Hotel Jana, Dipa teringat kamar hotel yang tidak boleh dipesan siapapun kecuali oleh dirinya. Sepertinya, untuk mengenang Anggit, lebih baik berada di kamar hotel yang pernah mereka tinggali semalaman.

Sementara Anggit di kamar sebelah sudah dibaringkan di tempat tidur. Pelayan hotel telah membalur badannya dengan minyak kayu putih. Setelah minum air hangat, dia menjadi lebih nyaman. Petugas Kebersihan sudah keluar dari kamar semua, tinggal pelayan hotel yang sebelumnya ditelpon Anggit.

"Ibu apa perlu ditelponkan suami atau keluarganya?" tanya pelayan hotel setelah melihat Anggit tampak sangat pucat. "Atau perlu kami sediakan makanan agar tidak mual lagi?"

Anggit menggeleng. "Tidak ada yang bisa ditelpon, mbak. Semua orang meninggalkan saya. Semua orang membenci saya."

Pelayan hotel merasa iba pada Anggit. Sepertinya penghuni kamar ini sedang mengalami masalah keluarga yang cukup berat, selain kondisi hamil muda yang sudah cukup berat. Dia lalu menyelimuti Anggit. "Bila ada yang diperlukan, telpon saja ya. Malam ini saya tugas jaga, jadi tidak usah sungkan."

Anggit tidak menjawab. Kepalanya terasa berat. Dia hanya memejamkan mata rapat-rapat setelah mengucap terima kasih dengan lirih.

Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang