28 - Nyonya Erika Murka

238 7 0
                                    

"Apa? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?"

Suara teriakan Nyonya Erika menggema sampai ke lantai satu. Dua orang pembantunya bergegas menyingkir ke dapur sebelum menjadi sasaran pelampiasan kemarahan majikannya. Bahkan meskipun mereka sudah berada di dapur, suara histeris Nyonya Erika masih terdengar. Entah dia sedang berbicara dengan siapa di telepon, yang pasti siapapun di seberang sana telah membuatnya murka.

Dipa baru saja memarkir mobil di garasi dan dia juga memahami situasi dengan cepat. Pasti mamanya baru saja mendapat informasi dari Om Komang. Sebelum pulang dari kantor, Om Komang menelpon Dipa, memberitahu tentang satu hal dan meminta pendapat Dipa–apakah Nyonya Erika perlu diberitahu atau tidak.

"Dipaaaa!"

Dipa membeku sejenak di depan pintu. Menyadari bahwa Mamanya sudah mengetahui kedatangannya dan bersiap memuntahkan lahar kemarahan padanya. Padahal menurut Dipa, itu hanya masalah sepele, makanya dia menyilakan Om Komang memberitahu Nyonya Erika.

Dipa tak hendak naik ke lantai dua, karena dia yakin mamanya akan berlari turun karena sudah mendengar suara mobilnya. Dan benar saja, tak berapa lama Dipa melihat wajah memerah Mamanya menuruni tangga dengan tergesa.

"Kau ... kau tahu, kan?" tuding Nyonya Erika. Dia mengarahkan telunjuknya ke muka anak satu-satunya. Dipa bergeming, menatap mamanya sejenak dan memasang tampang tanpa dosa.

"Tahu apa, Ma?"

"Kamu ke Semarang kan?"

Dipa terdiam sejenak. Dia memang pamit pada mamanya pergi Semarang untuk bertemu dengan "teman lama"–meski rencananya gagal total. Dia tidak menemukan Anggit sebagaimana informasi yang didapatnya.

"Iya, Mama sudah tahu, kan?"

Dipa menghempas badannya ke sofa. Melepas sepatu dan kaos kaki, lalu merebahkan diri. Bersikap santai, seolah tidak ada gunung meletus di hadapannya. Melihat tingkah anaknya yang sama sekali tidak merasa bersalah, Nyonya Erika tidak bisa lagi menahan murkanya.

"Dipa! Kau dengar Mama, tidak?" semburnya sembari berkacak pinggang di sebelah anaknya.

"Dari tadi aku mendengarkan, Ma," ucap Dipa santai, lalu perlahan duduk. Meski Mamanya tak pernah mengajarkan bagaimana bersopan santun pada orang yang lebih tua, tapi bagi Dipa Mamanya adalah orang yang harus dihormati dan tidak boleh diabaikan. Meski banyak hal yang dia merasa tidak cocok dengan keinginan Mamanya.

Termasuk urusan Anggit.

"Kamu ke Semarang, dan tanah itu dijual pada orang lain."

"Tanah?"

"Tanah yang sudah lama Mama incar sejak kamu masih SMA. Kamu lupa kalau kamu pernah Mama bawa ke sana?"

Dipa berpura-pura mengingat-ingat. Tentu saja dia ingat tanah sengketa itu. Bahkan masih ingat tulisan besar yang terpampang jelas, TANAH SENGKETA. Sengketa tanah itu rupanya sudah diselesaikan dengan damai, kemudian tanah itu pun dijual oleh pemiliknya. Sayang sekali, Nyonya Erika terlambat mengetahui, jadi tanah itu lebih dulu menjadi milik orang lain.

Dan hal itu terjadi bertepatan dengan Dipa ke Semarang, untuk mencari Anggit.

"Kenapa memang tanah itu?"

"Kamu ke Semarang, kenapa kamu tidak beli tanah itu. Kamu kan tahu di mana tempatnya? Memangnya kamu ke Semarang bertemu siapa?"

"Teman."

"Teman siapa?"

Dipa menghembus napas. "Teman SMA. Aku mau mengundang mereka ke acara pernikahanku."

"Oh ..."

Suara Nyonya Erika melunak. Sepertinya kemarahannya perlahan menyurut. Dia lalu duduk di sebelah Dipa.

"Kau jadi menikahi wanita itu?"

"Kenapa memangnya? Dia pacarku, kan?"

Nyonya Erika menatap wajah Dipa. Teringat pada video yang direkamnya di hotel Jana. Video perselingkuhan Melisa dengan lelaki lain. "Ya, aku tahu. Tapi ... apa sudah kau pikirkan dengan matang?"

Dipa menghela napas panjang. "Papa dan Bunda Jana belum akan membalik nama Jana Grup menjadi namaku, bila aku masih berstatus jomblo. Urusan warisan itu sudah selesai di Om Komang. Surat warisnya sudah terbit. Tapi untuk balik nama, Bunda Jana memberi syarat itu."

Nyonya Erika menelan ludah. Merasa bahwa dia terlalu terburu-buru memutuskan Dipa harus bercerai dengan Anggit. Lagipula, anak pembantu itu tidak diperlukan lagi, karena nenek sihir itu mau membubuhkan tanda tangan di surat pernyataan waris. Sekarang, mustahil menyuruh mereka kawin lagi. Yang paling masuk akal adalah Dipa menikah dengan Melisa.

Tapi ... Melisa tidak jauh lebih baik dari dirinya dulu saat hendak merebut Kusuma dari Bunda Jana. Lebih tepatnya, mereka berdua sama-sama bejat.

"Kenapa Mama jadi ragu?" tanya Dipa heran. "Urusan tanah itu berarti bukan rejeki kita. Lagipula jauh di Semarang, apa untungnya buat Mama.

"Sebenarnya, ada kisah masa lalu di tanah itu."

"Jangan bilang itu dulu tanah mantan pacar Mama. Aku sudah tahu dari Om Komang. Makanya Mama sangat ingin membeli tanah itu, kan?"

Nyonya Erika terdiam. Dia punya banyak sekali mantan pacar. Namun pemilik tanah di Semarang itu adalah mantan cinta pertamanya, lelaki tempatnya menyerahkan diri untuk pertama kali. Di tanah itu. Lebih tepatnya, di sebuah bangunan kosong di atas tanah itu, yang kini sudah roboh.

Dan mantan terindahnya itu meninggal dunia ketika Dipa masih duduk di bangku SMA. Sebelum meninggal, dia mengirim sebuah surat padanya, agar bisa memiliki tanah tersebut dengan membeli dari keluarganya–agar cinta mereka abadi.

Sungguh klise. Tapi kalau sudah bicara soal cinta pertama, siapa yang tidak akan sakit hati bila tanah itu akhirnya dibeli orang lain.

"Aku akan mencari pembelinya. Bahkan bila harus bersujud di depannya, akan aku lakukan."

Dipa geleng-geleng kepala. Mamanya menjadi tidak logis kalau sudah berurusan dengan harta.

***

Nyonya Erika nekad berangkat ke Semarang. Memaksa Dipa mengantarkan, agar Kusumo memberikan ijin padanya untuk ke luar kota. Meski sepanjang jalan Dipa memasang tampang mahal senyum, Nyonya Erika tidak peduli.

Dia harus bertemu dengan notaris yang mengurus balik nama tanah itu. Dengan begitu, nama pembeli tangan pertama tanah warisan keluarga mantan pacarnya bisa segera diketahuinya.

"Kalau dia tidak mau menjual bagaimana? Apa Mama tetap akan bersimpuh memohon seperti pengemis?"

"Kau tidak usah ikut campur urusan itu. Mama tahu apa yang harus Mama lakukan untuk mendapatkan tanah itu kembali. Suatu saat kau akan mengerti kenapa Mama melakukannya."

Dipa manggut-manggut. "Yang jelas bukan untuk Jana Grup, bukan untuk Papa dan bukan untukku. Ya kan?"

Nyonya Erika membuang pandangan ke luar mobil. Baginya, tanah itu adalah tanah kenangan. Berapapun harga jualnya, dia akan membayarnya. Bila pun uangnya tidak mencukupi, Dipa akan mendapatkan uang itu untuknya.

Namun seketika murkanya kembali bangkit ketika Notaris dan perwakilan keluarga pemilik tanah sebelumnya selaku ahli waris–sudah ada di hadapannya dan memberikan jawaban yang tidak diinginkannya.

"Wanita itu tidak ingin semua orang tahu siapa dia."

"Apa? Apa alasannya? Kenapa harus pakai rahasia segala?"

Notaris dan ahli waris itu mengangguk serempak, membuat Dipa mengernyit alis. Dua orang itu begitu kompak, tapi terlihat tidak natural sama sekali.

"Memangnya orang mana dia?" sergah Nyonya Erika.

"Dia dari Jakarta. Sama dengan anda."

Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang