4 - Surat Warisan

253 12 0
                                    

Lelaki botak bernama Komang itu adalah Pengacara keluarga Kusumo. Dia mempersiapkan banyak berkas untuk ditandatangani oleh Dipa dan Anggit. Sekilas Anggit membaca beberapa tulisan yang tercetak dengan huruf kapital di berkas-berkas itu. Isinya membuatnya kemudian memahami ambisi Nyonya Erika selama ini.

Surat pernyataan waris atas sebuah perusahaan, yang sepertinya Anggit tidak asing dengan namanya. PT.Jana Haga. Dia berusaha mengingat di mana pernah mendengar nama itu, tapi Om Komang tidak memberinya kesempatan untuk membaca. Puluhan tanda tangan sudah dibubuhkan Anggit dan Dipa di sana.

Sementara Papa Kusumo dan Nyonya Jana mengamati keduanya dari arah tempat tidur pasien.

"Kapan Akta warisnya jadi, Mang?" tanya Papa Kusumo memecah keheningan. Hening yang hanya dihiasi suara berkas surat waris yang dibuka halaman demi halaman sejak tadi.

"Sekitar dua bulan, paling lambat. Tapi aku akan mengusahakan secepatnya," sahut Om Komang. Sebagai sahabat baik Kusumo sekaligus Pengacara pribadi selama bertahun-tahun, dia selalu mengusahakan segala urusan birokrasi semua perusahaan Kusumo selesai lebih cepat dari timeline normal.

"Sekalian balik nama?" tanya Kusumo lagi.

"Balik nama perusahaan ke Mas Dipa, baru bisa aku lakukan setelah sertifikat asli perusahaan selesai. Kau yakin sertifikat itu tidak ada di brankas, atau ada di Bank dan belum kau ambil? Seingatku kau pernah"

Kusumo mendesah panjang. Urusan birokrasi ini sebenarnya bisa dipangkasnya dengan uang. Tapi dia tidak ingin Dipa mengambil pelajaran dengan uang sebagai solusi segala persoalan. "Jana akan mengingatnya dengan baik, mungkin setelah pengobatan di luar negeri selesai."

Anggit melirik Papa mertuanya, yang menciumi rambut istrinya lembut. Sementara Nyonya Jana tampak cukup lelah menunggu, dia lalu mengubah posisinya dari duduk menjadi berbaring. Anggit begitu iba melihatnya. Kalau saja dia boleh memilih, dia akan memilih Nyonya Jana sebagai mertuanya. Wanita itu tampak sangat lemah. Anggit yakin bila dia diperkenankan merawatnya--setidaknya senyum akan tersungging di bibir pucatnya.

Ibunya selalu berkata, Anggit lebih cocok jadi perawat daripada OB yang tugasnya hanya menyapu dan mengepel. Karena bila bapak dan ibunya sakit, mereka merasa sangat nyaman dirawat oleh Anggit yang sangat telaten.

Namun nasib tidak berpihak pada Anggit, meski dia sangat ingin masuk Akademi Perawat. Selepas SMA, dia hanya bisa bekerja sebagai OB di sebuah perusahaan, sejak dia dan ibunya hanya hidup berdua saja.

"Semua sudah selesai," ucap Om Komang sembari membereskan berkas di atas meja kecil. Memasukkannya ke dalam tasnya, lalu menatap Anggit dan Dipa bergantian. "Kurasa kalian sudah bisa berbulan madu sekarang. Aku tidak akan merepotkan kalian dengan tanda tangan lagi."

Anggit meremas ujung bajunya, Dipa hanya meliriknya. Jangankan bulan madu, Anggit saja tidak diboyongnya ke rumah. Gadis itu tetap tinggal bersama ibunya atas titah Nyonya Erika. Dan Dipa hanya datang satu kali, di malam pertama. Itupun hanya untuk menegaskan status Anggit yang hanya berada di atas kertas.

"Bulan madu, ya? Aku tidak sempat memikirkannya, Om," ucap Dipa tanpa menoleh pada Anggit, namun meraih tangan istrinya ke pangkuan dan menggenggamnya.

"Benarkah?" goda Komang. "Kulihat kalian memang tidak sempat melakukannya. Pasti Nyonya Erika selalu mengusik kalian berdua. Kalau begitu, terimalah hadiah dariku."

Komang menjulurkan selembar kertas. Dipa melirik Anggit yang menggigit bibir dan semakin kencang meremas ujung bajunya. Wanita itu tampaktegang, dan lagi-lagi menggigit ujung bibir. Dipa hanya meliriknya.

***

"Bagaimana? Kau mendapatkan warisan perusahaan? Yang mana? Kapan kau memilikinya? Tidak perlu menunggu Nenek Sihir itu mati, kan?"

Dipa menatap raut wajah penuh rasa ingin tahu mamanya. Wanita yang melahirkannya itu tampak sangat bersemangat. Sejatinya, dia selalu bersemangat, meski selalu berada di posisi kedua, dan tak pernah diperkenankan untuk berada di sisi Kusuma saat berada di hadapan publik. Dia selalu terpinggirkan dan hanya bertugas untuk membesarkan Dipa--demi sebuah pengakuan bahwa Kusuma dan Jana mempunyai seorang anak kandung--yang akan mewarisi semua harta Kusuma dan Jana kelak.

"Seperti yang mama inginkan."

"Benarkah? Tidak sia-sia usaha mama selama ini. Kau memang anak mama yang luar biasa, Dipa. Tanpa kamu, apalah artinya mama di dunia ini. Di mata Papamu, di mata nenek sihir itu."

"Ma, aku sudah melakukan yang mama inginkan. Menikahi anak pembantu itu. mendapatkan warisan, yang kelak aku bisa membaginya dengan mama. Sekarang, bisakah aku minta sesuatu dan mama harus mengabulkannya?"

Pendar gembira di sepasang mata bermaskara lentik Nyonya Erika masih belum pudar, dan Dipa harus mendapatkan janji dari mamanya saat ini. Sebelum dia berubah pikiran dengan cepat.

"Katakan! Apakah kau ingin membuat surat wasiat bahwa Anggit tidak akan menerima sepeserpun? Itu mudah bagi Mama. Kau tahu kan kalau Om Komang ada di pihak mama, sampai kapanpun. Atau kau mau menjadikan Melisa istrimu? Tidak, jangan istri kedua. Aku tahu kau mencintainya, jadi jadikan dia istri pertama. Itu artinya, kau harus menceraikan Anggit hari ini juga."

Dipa menggeleng. "Aku tidak minta itu."

"Lalu apa?"

"Aku ingin, Mama jangan memanggil Bunda Jana dengan nenek sihir lagi. Dia sudah memberikan apa yang mama inginkan."

Nyonya Erika sontak berubah air mukanya. "Kau meminta semesta meledak dan ..."

"Itu tidak sulit bagi Mama, kan? Bukankah Mama memanggilnya Nyonya Jana bila bertemu Bunda?"

Nyonya Erika bangkit dari duduknya sembari berkacak pinggang. Tiba-tiba dia merasa suhu ruangan meningkat dengan cepat, membuatnya gerah. Sampai kapanpun, dia tak akan bisa menggantikan posisi istri pertama yang selalu mendapat limpahan cinta seutuhnya dari Kusuma. Dia hanya istri kedua yang bertugas melahirkan dan membesarkan anak, dengan fasilitas rumah mewah dan pelayan yang melayani dia dan anaknya.

Tidak lebih seperti seorang istri simpanan yang diakui secara hukum.

"Aku tidak akan melakukannya!" sergah Nyonya Erika kesal.

Dipa tersenyum sekilas, lalu beranjak meninggalkan ruangan. "Kalau begitu, aku mau pergi dulu."

"Kemana? Jangan bilang kau ke rumah Anggit. Ingat, Melisa ..."

Dipa tidak menoleh, hanya mengendik bahu. Dia langsung melompat ke atas motor dan melaju ke rumah Anggit. Dia sudah memberikan hadiah pada ibunya, kini dia akan mengambil hadiahnya.

Meski Nyonya Erika sudah mewanti-wanti untuk menyentuh Anggit satu malam saja, atau kalau tidak Dipa akan terikat dengan Anggit dan akan sulit melepasnya.

Nyonya Erika menatap punggung anaknya yang sudah menjauh. Lintasan wajah Anggit membuatnya teringat pada nasibnya dulu. Ketika Nyonya Jana melamarnya menjadi istri kedua Kusuma dengan selembar surat perjanjian dengan Komang sebagai saksi. Berisi segala peraturan yang harus disepakatinya, atau dia akan didepak dari rumah mewah ini.

Perlakuannya pada Minah, tak lebih dari menunjukkan pada dunia bahwa dia bisa melakukan hal yang lebih baik dari Nenek Sihir itu. Membeli anaknya dengan kompensasi pelunasan hutang dan jaminan warisan untuk Dipa. Setelah itu mendepaknya.

"Bukankah aku lebih jahat darimu, Jana?" desis Nyonya Erika sembari memejam mata, merasakan perih dadanya kembali terulang saat menandatangani surat perjanjian dengan Jana. Pelunasan semua hutangnya pada Jana, sekaligus anak yang harus dilahirkannya dari Kusuma. 

Mantan Istri MOST WANTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang