Anggit tidak mengira benturan dengan tamu perusahaan membuat bahunya terasa pegal. HIngga keesokan harinya, dia malah mulai agak kesulitan mengangkat tangan. Memang benturan dengan tamu perusahaan itu cukup keras, hingga Anggit sempat merasa ngilu–meski rasa ngilu itu baru dirasakan setelah dia melepaskan diri dari lelaki itu.
Yang masih menjadi pertanyaan baginya adalah siapa lelaki tampan itu. Sorot matanya teduh, membuat Anggit merasa nyaman. Terlebih dengan segala beban fisik dan pikirannya, dia seolah berada di tempat yang nyaman dan terlindungi.
"Aku merasa aman saat melihat dia, kenapa ya?"
Anggit termangu sembari memijat bahunya pelan-pelan. Semalam sudah digosoknya bagian yang terasa pegal dengan minyak untuk menghangatkan, namun masih terasa.
"Kenapa kamu?"
Anggit menoleh. Seorang pegawai membawa berkas untuk difotocopy. "Pegal saja, Mbak."
"Oh, bisa fotocopy ini sekarang? Terus kamu bagi untuk setiap bagian. Ini catatannya."
Anggit mengangguk. Dia bangkit dari bangku lalu mengambil berkas dari tangan pegawai tersebut.
"Aku ambil satu jam lagi."
Setelah pegawai itu berlalu, Anggit membaca berkas yang hendak difotocopy. Rupanya surat pengajuan pelayanan kesehatan ke Rumah Sakit. Sepertinya Jana Group menjalin kerja sama dengan tamu-tamu dari Rumah Sakit kemarin, untuk pemeriksaan rutin kesehatan semua pekerjanya.
Menilik jumlah yang harus difotocopy, sepertinya semua staff dan pegawai dari CEO sampai pegawai rendah seperti dirinya akan mendapatkan hak yang sama.
"Itu artinya aku harus mengisi blanko ini juga, dan menulis nama lengkapku di situ."
Sembari menjalankan mesin fotocopy, Anggit membaca blanko pengajuan itu. Setiap pegawai harus mengisi biodata lengkap dan status kesehatannya.
"Status perkawinan? Hmm .. aku janda cerai hidup berarti. Terus, kondisi kesehatan, apa harus aku tulis hamil? Gawat, ini ada nama suami pula. Kalau mereka tahu aku mantan istri Dipa, bisa dipecat aku dari sini. Mantan suamiku saja mengusirku, dia tinggal memerintahkan si Anita genit itu untuk memPHK aku tanpa pesangon."
Anggit menghela napas panjang, tiba-tiba perut bagian bawahnya terasa nyeri. Perjalanan ke Semarang kemarin cukup menguras pikiran dan tenaganya, dan dia masih merasa kurang istirahat.
"Baik-baik kamu ya sayang," gumam Anggit sembari mengelus perutnya.
Anggit mencoba merebahkan diri di sudut ruangan yang disiapkannya. Tersembunyi di belajang meja, jadi dia bisa bila ada yang memasuki ruangannya karena bisa melihat dari kolong meja. Sementara suara mesin fotocopy berbunyi, dia dianggap sedang bekerja.
Sembari menanti nyeri di bagian bawah perutnya mereda, Anggit berusaha memejam mata sebentar. Setidaknya akan membuat badannya lebih rileks.
Tiba-tiba ponselnya berdering, membuyarkan niatnya untuk beristirahat sejenak. Sebuah nomor asing. Ragu, Anggit hanya menatap nomor asing yang tertera di layar ponsel dan tidak menjawab panggilannya.
"Siapa ini? Kalau pegawai perusahaan harusnya telpon ke telpon ruangan."
Anggit tidak banyak menyimpan nomor orang lain. Hanya Bu Mayang, beberapa rekan kerja yang dekat dengannya sewaktu menjadi Office Girl. Juga pemilik tempat kontrakannya.
Deringan ponselnya berhenti. Namun lima detik kemudian berdering lagi, dengan nomor yang sama.
"Berarti panggilan penting," gumam Anggit. "Apakah kelinci putih? Tapi tidak mungkin, dia hanya akan menghubungiku lewat email. Notaris di Semarang juga, hanya kuberi email, bukan nomor ponsel."
Meski ragu, Anggit memutuskan menjawab panggilan.
"Halo? Dengan Anggit yang bekerja di Jana Grup?"
"Ya, benar. Dengan siapa ini?"
Terdengar tawa pelan menunjukkan rasa lega, mungkin karena tidak salah sambung.
"Kemarin kita bertemu di Jana Grup, di depan ruang meeting."
Anggit terkesiap. Lelaki tampan itu! Bagaimana bisa dia memiliki nomor ponselnya?
"Bu Mayang memberikan nomor ini, ternyata benar."
Anggit perlahan bangkit dari rebahannya, lalu menuju mesin fotocopy yang tidak lagi berbunyi. Kertasnya habis. Anggit merasa heran, kenapa Bu Mayang bisa memberikan nomornya pada orang asing semudah itu? Biasanya dia akan meminta izin pada Anggit. Pada anak buahnya yang lain juga demikian, semisal ada staff yang meminta nomor.
"Ada perlu apa ya?" tanya Anggit sembari melirik ke arah pintu. Dia memang sempat melihat Bu Mayang berbicara dengan lelaki yang menabraknya, saat Anggit menata hidangan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Anggit sedikit merasa kedua orang itu sama-sama melihat ke arahnya–meski dia tidak terlalu memperdulikannya. Karena dia harus bergegas keluar ruangan, agar tidak bertemu dengan Dipa.
"Kemarin saya belum sempat minta maaf karena telah menabrak anda. Saya jadi kepikiran. Benar anda tidak apa-apa?"
Anggit terdiam. Lelaki itu siapa sih? Kenapa dia menjadi begitu perhatian padanya, padahal hanya bertabrakan saja. Anggit mengelus bahunya sendiri yang masih terasa pegal. Sepertinya lelaki itu merasa kalau benturan mereka agak keras, dan dia khawatir Anggit terluka.
"Saya tidak apa-apa."
"Syukurlah. Saya agak khawatir, karena Bu Mayang cerita kalau anda sering sakit."
Anggit menelan ludah. Apaan sih Bu Mayang? Kok bisa cerita seperti itu pada orang asing seperti lelaki yang menelponnya ini? Dalam satu hari, bisa ribuan atau jutaan orang bertabrakan bahu di dunia ini, apa mesti harus sampai tahu kondisi kesehatannya?
"Kalau anda merasa kurang sehat, bisa langsung ke Rumah Sakit untuk memeriksakan kesehatan, tidak perlu menunggu mengisi surat pengajuan dari Jana Grup."
Anggit mencoba menganalisa sederhana saja. Lelaki di seberang telepon itu, sepertinya memberi perhatian padanya–karena tidak sengaja membuatnya hampir terjatuh.
"Hm, sebentar. Boleh saya tahu anda siapa?"
"Saya dokter Arjuna. Kita pernah bertemu waktu serah terima donor organ Bu Minah."
Anggit menelan ludah. Pantas saja, dia sok kenal dengan dirinya.
***
Anggit membaca kartu kesehatan dengan logo Jana Grup dan namanya tertera dengan jelas. Hari ini jadwal staff dan pegawai di lantainya untuk memeriksakan kesehatan, dengan pembagian jam. Anggit meminta jadwal sepulang kerja, jadi bisa langsung pulang setelah memeriksakan diri. Dan saat antrian, dia sengaja memilih urutan paling belakang.
"Keluhan?" tanya petugas berpakaian serba putih di hadapannya, tanpa menatapnya. Tangannya sibuk menyalin data di kartu kesehatan Anggit ke buku besarnya.
"Mual dan muntah."
Petugas itu mengangkat wajah. "Mual dan muntah. Hamil?"
Anggit mengangguk.
"Berapa bulan?"
"Dua bulan setengah."
Petugas itu menyerahkan kartu kesehatan Anggit. "Langsung masuk ke ruangan dokter ya, mumpung pasien tinggal satu. Ruangan nomor tujuh."
Anggit mengangguk, lalu menuju ruangan yang ditunjuk. Tepat saat dia berada di depan pintu nomor tujuh, pintu itu terbuka dan seorang pasien yang hamil besar baru saja selesai diepriksa.
"Berikut, silakan masuk!" seru suara dari dalam ruangan.
Anggit meraih handel daun pintu yang belum tertutup, lalu masuk dan langsung berhadapan dengan meja dokter yang mengarah ke pintu. Dokter yang dimaksud sedang berbicara dengan perawat. Dan ketika Anggit sudah menutup pintu, dokter kandungan itu menoleh padanya.
"Anggit?" tanya lelaki berbaju serba putih itu dengan nada terkejut
Anggit mendelik. Dokter tampan itu ternyata dokter kandungan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri MOST WANTED
RomanceUsia pernikahan Dipa dan Anggit hanya satu pekan saja. Demi mendapatkan hak waris perusahaan, Mama Dipa memaksa Dipa untuk menikah dengan Anggit--anak pembantunya. Namun kemudian memerintahkan Dipa untuk menceraikan Anggit, agar bisa menikahi Melis...