"Sepertinya pekan ini dan pekan-pekan berikutnya, kita akan super sibuk," keluh Bu Mayang. Dia tampak tidak bersemangat menyantap nasi bungkus jatah makan siang. Kali ini dia menemani Anggit makan siang di rooftop.
Anggit tidak merespon keluhan Bu Mayang. Dia tahu beberapa hari terakhir aktivitas para OB di luar hari-hari biasa. Taman-taman dibersihkan, banyak barang yang diangkut ke gudang dan diganti dengan yang baru. Anggit merasa tidak enak bila bertemu dengan rekan-rekan OB yang lain, karena dia seolah diuntungkan berada di bagian fotocopy. Tidak perlu bekerja overtime seperti para OB yang lain.
"Untunglah kau sudah pindah ke fotocopy," ucap Bu Mayang sembari melirik nasi Anggit yang sepertinya tidak berkurang, padahal miliknya sudah hampir habis. "Kau masih mual? Tidak enak makan? Katanya kemarin dikasih vitamin sama dokter?"
Anggit mengangguk. Meski minum vitamin, dia tetap tidak berselera makan, meski mualnya sudah mulai berkurang. "Entahlah, bayi ini seolah tidak mau tahu kondisiku."
Bu Mayang menghabiskan makan siangnya, lalu menarik nasi bungkus Anggit. "Sini, daripada dibuang."
Anggit diam saja, membiarkan Bu Mayang menyantap jatah makan siangnya. Dia malah menyandarkan punggung ke tandon air sembari menatap Hotel Jana di seberang sana. Saat dokter Arjuna memeriksa bagian bawah perutnya, dia teringat pada Dipa. Dipa juga melakukan hal yang sama padanya saat mereka bermalam di Hotel Jana. Dan Anggit merasakan sensasi yang tidak jauh berbeda kemarin.
"Bu, aku boleh bertanya sesuatu?"
"Apa itu?"
"Apa hukumnya kalau dokter kandungan itu laki-laki dan dia megang-megang badan kita. Padahal, itu kan harusnya dipegang oleh ..."
Bu Mayang segera menyahut, "Suami? Kau kan tidak punya suami. Tidak usah berpikir macam-macam. Mereka hanya dokter yang harus memeriksa pasien. Tapi eh ..."
Anggit menelan ludah. Ya, seharusnya dia tidak berpikir aneh-aneh, karena dia janda hamil yang sudah dicerai oleh Dipa. Untuk apa dia membutuhkan suami saat memeriksakan diri ke dokter Arjuna? Toh, anak di kandungannya bila terlahir juga tidak akan diakui oleh Nyonya Erika dan putra tercintanya.
"Memangnya, dokter kandungannya cakep?"
"Lumayan."
"Hm, masih bujang?"
Anggit mengendik bahu. Andai masih bujang, Anggit juga tidak akan mengejar-ngejarnya seperti Anita mengejar-ngejar Dipa. Semua orang di gedung ini sudah memaklumi tingkah sekretaris CEO itu.
"Oia, omong-omong soal suami, habis ini pasti ada yang akan meradang." Bu Mayang terkekeh senang. Mulutnya yang penuh dengan makanan tampak mengembung dan dia nyaris tersedak. "Akan ada pernikahan heboh, saking hebohnya bisa-bisa Anita memecat semua pegawai."
Anggit mengernyit kening. Dia dan Bu Mayang seperti punya telepati saja. Memikirkan hal yang sama.
"Memangnya siapa yang akan menikah?"
"Apa kau tidak tahu? Kita bersih-bersih taman, memindahkan banyak barang, mengubah layout ruangan, untuk apa coba? Karena CEO kita mau menikah."
Anggit tersedak ludahnya sendiri. Sampai terbatuk-batuk. Dia bergegas menenggak minumannya sampai habis. Untung saja Bu Mayang tidak terlalu memperhatikannya, asyik menghabiskan makan siang milik Anggit.
"Ka-pan?"
"Bulan depan mungkin. Atau minggu depan. Belum ada yang tahu. Kudengar calon istrinya sedang sibuk ke sana ke mari. Si artis itu, tahu kan?"
Anggit mengangguk. Kalau si Melisa dia sudah tahu sejak dia dan Dipa bercerai. Nyonya Erika menyebut nama wanita itu. Dan selang tidak lama dari itu, kedua orang itu bertunangan dan diumumkan di media. Saat itu, Anggit tak begitu peduli karena rasa bencinya pada Dipa sudah sampai di ubun-ubun.
Kini, dengan kehamilan yang semakin bertambah usianya, tiba-tiba dia merasa membutuhkan seorang lelaki untuk mendampinginya. Saat dia tersiksa dengan emesis yang berkepanjangan dan melemahkan tubuhnya, dia butuh seseorang untuk bersandar dan mendengar keluh kesahnya. Bukan orang lain seperti Bu Mayang yang hanya sekedar berempati padanya.
Tanpa sadar, sudut matanya mengeluarkan bulir bening yang langsung diketahui oleh Bu Mayang.
"Kenapa? Pengin kawin juga?" seloroh Bu Mayang sambil menyenggol bahu Anggit.
Anggit menggeleng. "Gak mau. Bikin sakit hati."
"Kenapa? Tidak semua lelaki jahat seperti mantan suamimu."
"Dia jahat warisan, Bu. Mamanya juga jahat. Dia sengaja menyuruh ibuku mengawinkan aku dengan anaknya, supaya bisa dapat warisan! Setelah dapat warisan, aku diceraikan begitu saja. Bahkan mereka menjual rumahku. Rumah satu-satunya milikku!" Akhirnya tercetus juga sepenggal kisah hidup Anggit pada Bu Mayang.
"Hah? Sejahat itu?"
Anggit mengusap air matanya yang semakin menderas. Dadanya serasa hendak meledak karena emosi. Kalau mau dibuat ala sinetron, dia bisa membuat skenario datang ke pernikahan Dipa sembari memamerkan perut buncitnya. Bahwa Dipa tidak lagi perjaka, tapi sudah menanam benih di perutnya. Itupun kalau dia mengaku masih perjaka pada Melisa.
"Aku tidak akan pernah memaafkan lelaki brengsek itu. Mereka semua keluarga gila harta!"
Bu Mayang menepuk bahu Anggit. "Keluarkan semua, Anggit. Aku rasa kamu selama ini memendam sakit hatimu, sehingga menjadi tidak selera makan. Bila kamu sayang sama bayimu, teriakkan saja isi hatimu, kebencianmu pada lelaki brengsek itu. Biar kebrengsekannya tidak menular ke anakmu."
Bu Mayang menarik tangan Anggit, membuatnya berdiri. Lalu menariknya ke tepi rooftop. "Ayo, teriak saja di sini. Tidak akan ada yang mendengar. Keluarkan semua kebencianmu.
Anggit mengangguk. Dia bersiap berteriak sembari membusungkan dada. Biar semua orang tahu, betapa jahatnya ayah dari janin dalam kandungannya.
"Satu , dua, tiga ..."
"Anggit!"
Sontak kedua orang itu menoleh ke belakang, ke arah pintu rooftop yang terbuka. Seorang OB berdiri di sana dengan wajah panik.
"Bu Anita mencarimu. Sepertinya dia sedang murka!"
***
Anggit hanya menunduk selama Anita menghujaninya dengan kata-kata yang tidak dimengertinya. Wanita itu–seperti dugaan Bu Mayang–stress dengan berita pernikahan Dipa. Padahal yang berhak stress harusnya Anggit–mantan istri si CEO yang sedang mengandung anaknya. Dia mencerocoskan aturan-aturan perusahaan yang tidak dipahami Anggit.
"Lihat saja, bila kerjamu tidak beres, pimpinan akan mendepakmu. Kamu belum lima tahun tapi sudah HA-MIL!"
Anggit tersentak. Dia melirik ke luar ruangannya, dan beberapa pegawai tampak mendengar teriakan kata terakhir Anita, dan menatapnya tak percaya.
:"Kamu hamil kecelakaan apa di luar nikah? Oh itu sama saja, kan?"
Anggit mendongak dan menatap Anita yang wajahnya tampak mengerikan di mata Anggit. Wanita ini marah-marah tidak jelas, seolah kehamilannya adalah aib perusahaan. "Saya menikah, bahkan masih ada surat nikahnya. Surat cerai saya juga ada. Anda mau melihatnya? Saya yakin anda akan terkejut nanti."
"Tidak usah!" tukas Anita ketus."Aku hanya memperingatkan kamu. Jangan sampai fotocopy satu lembar saja sampai satu minggu."
Anggit meraih kertas milik Anita yang dititipkan tadi pagi. Lalu membalik kertas itu dan menunjukkan tulisan di belakangnya pada Anita. "Anda menulisnya 10.000 kali. Apa saya harus selesaikan dalam satu hari? Mending saya resign hari ini."
Anita merampas kertas dari tangan Anggit. Dia memang menuliskan 10.000 kali saking kesalnya dia saat membaca koran tadi pagi. Dipa akan menikah dengan artis itu, bulan depan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri MOST WANTED
RomansaUsia pernikahan Dipa dan Anggit hanya satu pekan saja. Demi mendapatkan hak waris perusahaan, Mama Dipa memaksa Dipa untuk menikah dengan Anggit--anak pembantunya. Namun kemudian memerintahkan Dipa untuk menceraikan Anggit, agar bisa menikahi Melis...