1. Satu

608 68 5
                                    

"Mana Papa?" Masih dengan napas memburu gadis itu berhampiri ibunya yang bergerak gelisah dengan raut wajah kacau di depan pintu IGD.

Melihat kedatangan putrinya membuat sang ibu terlihat sedikit lebih lega, meski pusat kekhawatirannya saat ini masih berada di titik tanya, tapi setidaknya bagi seorang ibu, melihat satu putri lainnya tiba dalam keadaan baik-baik saja setelah mendengar berita yang membuat mereka ada di sana, adalah sesuatu yang tetap patut disyukuri.

"Mana Papa, Ma?!" Tanya gadis itu lagi, kali ini dengan suara yang naik.

Mendengar itu membuat sang ibu terlihat makin kacau. Matanya yang semula hanya berkaca-kaca kini sudah menciptakan genangan di pelupuknya. Wanita itu pada akhirnya hanya menggeleng kecil menahan dirinya untuk tidak menangis, karena dia sadar benar ketika air matanya turun, maka akan sulit untuk dihentikan.

"Mbak Gwen—"

"Dia bahkan nggak dateng setelah dengar anaknya masuk IGD karena percobaan bunuh diri? Hng?" Suara gadis yang dipanggil Gwen itu bergetar. Bergetar karena emosinya yang menguasainya semakin besar.

"Gwen, Papa belum tahu soal kondisi Amora. Mama udah coba hubungin, tapi—"

"Itu tetep buktiin kalau dia nggak peduli, Ma! Dia nggak peduli bahkan walaupun udah Mama coba hubungin! Dia nggak peduli dengan apa yang terjadi sama kita bahkan meski kondisi anaknya sekarat! Dia nggak peduli padahal jelas-jelas dia yang ciptain semua situasi macam! Dia sama sekali nggak peduli!"

Wanita paruh baya di hadapannya itu menggeleng, mencoba untuk menyangkal apa yang dikatakan putri tertuanya. Bukan menyangkal untuk dirinya, tapi menyangkal agar putrinya itu tidak menilai ayahnya sendiri dengan anggapan yang gegabah macam itu.

"Nggak, Sayang. Nggak gitu... Mungkin Papa memang lagi sibuk aja makanya..." Sang Ibu melangkah mendekat, mencoba untuk meraih putrinya agar dapat dia tenangkan. Hanya saja nampaknya Gwen tidak berkenan akan hal itu hingga sebelum sang ibu menyentuhnya Gwen sudah lebih dulu melangkah mundur, menjauh.

"Sibuk?" Timpal Gwen sarkas. Gadis itu menunjukan senyum remeh yang menggambarkan bahwa alasan yang baru saja didengarnya terdengar seperti lelucon. "Tengah malam begini, sibuk? Sibuk macam apa yang Mama maksud? Sibuk sama perempuan itu?!"

"Gwen..." Ibunya mulai merasa panik, reaksi putrinya itu jelas sudah tidak menggambarkan bahwa putri sulungnya itu dalam keadaan yang baik-baik saja.

"Oke kalau sibuk." Gwen mengangguk kecil, berkali-kali dengan beberapa langkah yang diambilnya mundur. "Biar aku yang bikin dia nggak sibuk. Biar dia ke sini meski aku harus seret dia supaya dia lihat akibat dari kelakuannya itu kayak apa!" Gadis itu berbalik, lantas meninggalkan ibunya dengan langkah tergesa.

Napasnya memburu karena emosi, kedua tangannya mengepal dengan urat-urat yang timpul di punggung tangannya. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam penuh luka. Gadis itu berjalan terus tanpa mampu dihentikan, bahkan dengan seruan ibunya yang berusaha untuk menahan kepergiannya.

"Gwen! Nggak—Nak! Gwen!"

"Bu, Ibu tunggu di sini aja temenin Mbak Amora, biar saya yang kejar Mbak Gwen..."

Wanita paruh baya itu mengangguk, penuh harap menitipkan putri tertuanya pada pria yang sudah bertahun-tahun kerja dengan keluarganya itu.

"Tolong ya, Pak Najib. Tolong tahan Gwen, sebisa mungkin jangan sampe Gwen..." Wanita itu tidak mampu meneruskan ucapannya, membiarkan supir pribadinya itu cepat mengejar Gwen sebelum sosoknya hilang entah kemana.

Dan memang benar saja, Gwen dengan langkah cepatnya sudah tiba di parkiran, membuka pintu mobilnya tergesa bahkan membanting benda itu setelah dirinya ada di dalam. Dengan emosi yang menguasai diri, gadis itu mengemudikan mobilnya dengan tenaga penuh.

Pengantin PesananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang