"A-apa maksud lo dengan istri yang sekaligus bisa donorin hatinya buat Liam, Rick?"
"Sakti, lo diem. Nggak usah ngomong hal yang nggak masuk akal macam ini sama Erick. Kalian pulang aja deh sana." Liam berdiri menarik Erick dan Sakti bangun dari posisi duduk mereka.
"Nggak. Lo harus dengerin omongan dulu, Liam. Ini bukan kriminal! Y-ya seenggaknya kalau nggak ketahuan. Lagi pula kita nggak akan cari sembarangan orang, bukan juga maksa orang untuk mau lakuin itu buat lo. Tapi kita kasih mereka penawaran yang tentu nggak merugikan pihak seberang. Atau, kalau mau lebih alus lagi, ya lo beneran aja cari istri, istri yang memang akan sama lo sampai tua, tapi kriterianya yang golongan darah dan atribut lainnya cocok untuk jadi donor hati buat lo, Liam."
Liam mengabaikan ucapan Erick itu, menggeleng tidak habis pikir dengan ide gila sahabatnya itu.
"Pulang, Rick. Please. Gue mulai pusing dengan adanya kalian di sini. Jadi sebaiknya kalian pulang, oke?"
Melihat Liam yang memang sudah terlihat enggan menanggapi kehadiran Erick dan Sakti, Erick mencoba memaklumi pria itu. Yah, apa yang Erick katakan jelas bukan sesuatu yang mudah untuk dipikir memang. Bukan sesuatu hal yang ringan untuk dijawab dengan "Ya" atau "Tidak" seperti yang mungkin Erick atau Sakti inginkan.
Erick menyerah, setidaknya untuk saat ini. Pria itu berencana akan membujuk Liam melakukan transplantasi dengan cara apa pun, karena Erick jelas tidak akan rela Liam menyerah begitu saja.
"Liam, coba dengerin apa yang Erick bilang dulu. Sampai selesai, baru nanti--"
"Nggak apa-apa, Sak. Kita pulang. Kasih kesempatan buat Liam mikir apa yang gue omongin, sekaligus pertimbangin hal itu. Gue yakin Liam pasti cuma butuh waktu."
"Nggak. Nggak. Gue nggak akan mikirin omong kosong kalian itu. Jadi jangan ngarep apa-apa soal ini." Liam menutup pintu rumahnya begitu berhasil mengeluarkan kedua sahabatnya itu dari sana.
Pria itu menarik napas panjang, menghembuskannya pelan terdiam untuk beberapa detik di sana dengan kesunyian yang mengelilingi. Sunyi yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama, tapi entah kenapa kali ini terasa lebih dingin.
"Istri pendonor? Apa Erick bener-bener udah gila?" Gumam Liam sebelum meninggalkan tempatnya terdiam dan membereskan berkas catatan medisnya dan kembali ke kamar.
Ada banyak hal yang Liam pikirkan, saking banyaknya, kadang pria itu sebenarnya tidak ingat dengan jelas apa saja yang sebenarnya ia pikirkan dan mengapa juga memikirkannya.
***
Sialnya, meski sudah berusaha dilupakan sekalipun, Liam masih saja memikirkan ucapan Erick. Saat mandi, saat berbaring di kamarnya, saat sarapan, bahkan di sela-sela pekerjaannya, bisa-bisanya ucapan sahabatnya itu melintas di kepala.
"Ck, sial Erick." Liam mengumpat, melempar bundel kertas di tangan yang tengah ia baca di meja kerja ketika ucapan dokter itu terlintas di benaknya lagi. Pria itu menghembuskan napas, melirik jam di dinding ruang kerjanya yang sudah menunjukkan pukul 8 malam.
Sudah waktunyya makan malam, dan Liam melewatkan hal itu lagi karena terlalu fokus bekerja. Kadang di saat seperti ini Liam teringat ucapan Erick maupun Sakti yang mengatakan bahwa dirinya sakit karena pola hidupnya yang berantakan, mungkin sebagian benar, tapi Liam tidak setuju dijika dibilang sakitnya 100 persen memang karena pola hidupnya. Sakti dan Erick jelas memiliki pola hidup yang sama kacaunya, terlebih Erick yang seorang dokter spesialist, jam tidurnya sudah jelas sangat berantakan sekali. Yah, kelebihan dokter satu itu hanya tidak terlalu bergantung pada alkohol jika pikirannya sedang kritis, karena menurutnya kondisi pasiennya yang kritis jauh lebih penting.
Liam berdiri, merenggangkan tubuhnya yang baru terasa kaku setelah berjam-jam duduk tidak ingat waktu. Perutnya mungkin sedikit lapar, tapi Liam tidak pernah begitu memperhatikan kondisi perutnya. Dia hanya butuh kopi, begitu pikirnya selama ini.
Berjalan ke arah jendela di ruangannya, Liam memperhatikan deretan kemacetan Ibukota yang seolah berada di bawah kakinya. Lampu-lampu malam berkelip menciptakan pemandangan yang indah dari gedung tinggi tempat Liam berada, sepi yang Liam rasakan saat melihat kerlap-kerlip itu cukup menghibur, kontras dengan orang-orang di bawah sana yang sepertinya sudah kesal dengan kemacetan yang tidak juga kunjung berakhir.
Entah dari mana, ketika pikirannya berkelana, di depan wajah Liam melintas raut dan wajah seseorang begitu saja. Bahkan perasaan bertanya-tanya apa yang sedang sosok itu lakukan membuat Liam lupa dengan keadaan sekitar.
"Dia nggak jadi dipecat, kan? Udah gue bayar mahal tuh manager, awas aja kalau gue tahu dia dipecat." Gumam Liam tanpa sadar, mengeluarkan isi kepalanya begitu saja dalam bentuk suara.
"Si keras kepala itu, mau sampai kapan dia kerja serabutan kayak gitu. Sampai mati juga nggak akan bisa bayar hutang-hutang ayahnya kalau kayak gitu kerjanya." Ucap Liam lagi, mengingat percakapan yang tidak sengaja didengarnya kemarin.
"Ish, urusan gue apa? Terima kasih aja nggak karena udah gue bantuin." Liam berusaha menyingkirkan lintasan pikiran mengenai Gwen, iya Gwen Alexandra Hartono yang bisa dengan kebetulan bertemu dengan Liam beberapa kali.
Pria itu kembali ke mejanya, membereskan semua pekerjaan dan berencana untuk meneruskannya di rumah. Tubuhnya sudah lelah hari itu, butuh untuk meluruskan punggung di kasur barang sebentar. Iya, Liam berencana untuk langsung pulang hari ini, dibanding mencari kesenangan lain di luar sana.
***
"Gue nggak dipecat? Yakin lo, Mas?" Suara Gwen terdengar tidak percaya, melalui sambungan teleponnya Gwen sedang bicara dengan Boby, rekan kerjanya di bar.
Itu masih jam 8, masih jam kerja Gwen di family restoran sebelum nanti shift-nya habis jam 10 malam. Setelah dari family restoran Gwen baru melanjutkan pekerjaannya di bar sampai pagi buta besok.
Tapi di tengah waktunya mengambil jeda istirahat yang sebentar, Gwen tiba-tiba diberi kabar yang tidak bisa dirinya percaya. Gwen tidak dipecat? Setelah kekacauan dan kerugian dan kekacauan yang sudah dilakukannya kemarin? Sungguh tidak bisa dipercaya.
"Iya, makanya hari ini lo jangan lupa masuk pokoknya. Mumpung si Bos lagi baik. Jangan mancing emosi dia dengan lo telat dateng ya. Awas aja lo."
"Nggak, nggak akan. Tapi bentar dulu, kenapa?"
"Huh? Apanya yang kenapa?"
"Y-ya kenapa gue nggak dipecat? Bukannya si Bos strick banget? Bulan lalu ada karyawan kita yang juga berantem sama pelanggan karena udah dibikin hamil langsungg dipecat."
Terdengar desahan panjang disambungan teleponnya, dari Boby, siapa lagi?
"Mana gue tahu, Neng. Intinya kemarin itu setelah jam kerja lo selesai dan gue coba ngomong sama si Bos bilangnya ngobrol hari ini aja. Gue pikir karena dia udah kesel banget dan capek mungkin, nggak mau lebih emosi dengerin gue belain lo. Dan mungkin jeda sehari beneran berpengaruh sama emosi dia, buktinya pas gue coba ngomong soal lo, dia cuma bilang lo disuruh jangan sampe telat masuk kerja hari ini."
Ekspresi bersemangat Gwen seketika hilang, Gwen merasa ada yang tidak beres dari ucapan rekannya itu. "Eeyyy... itu sih jangan-jangan karena si Bos mau ngomong sama gue empat mata. Ya dia nggak mau marah-marah di depan lo kali, kan bukan lo yang salah. Daripada buang-buang energi makanya dia tahan sampe ketemu gue nanti, sekalian ngasih tahu gue udah nggak boleh kerja bahkan juga mungkin minta ganti rugi kerusakan."
"No, Gwen! Duh nih anak nggak percaya banget sih? Gue juga tadinya ragu kayak lo, naruh asumsi sampai sejauh itu. Tapi si Bos bilang beneran lo nggak bakal dipecat, dan soal kekacauan yang lo bikin juga udah diganti rugi sama orang lain, 5 kali limpat malah. Makanya lo nggak akan dipecat, orang yang ganti rugi itu juga bilang sama Bos kalau jangan sampe pecat lo, kalau nggak nanti bakal dituntut sebagai pelanggaran hak pekerja."
"Hah?"
"Huh?"
"G-ganti rugi? Siapa yang ganti rugi buat kekacauan yang gue bikin? 5 kali lipat pula, gila kali ya tuh orang? Enak banget buang-buang duit kayak gitu."
"Nah, itu juga yang gue heran. Lo nggak ngasih tahu gue kalau punya Sugar Daddy ya?"
"MAS! Gila lo ya? Gue kan udah bilang--"
"Iya, iya... sorry. Bercanda, Gwen. Gue tahu kok walau lo terpaksa kerja di tempat hiburan malam tapi nggak akan mau terima kerjaan yang ngarah ke sana. Paham. Paham. Bercanda. Maaf ya kalau tersinggung."
Tidak, sebenarnya Gwen tidak merasa tersinggung sama sekali, hanya kaget Boby bisa berpikir sampai sana, meski Gwen sendiri bingung siapa yang membantunya dengan cara gila seperti itu.
"Ya tapi, terus siapa yang..."
"Gue juga nggak tahu, kalau lo mau tahu tanya aja sendiri ke si Bos. Seinget gue si Bos cuma nyebut namanya sekali, Luwis? Leuvi? Lia? Liam? Ah entahlah gue nggak inget. Udah dulu ya, gue mau siap-siap buat buka nih. Inget jangan terlambat! Bye!"
Sambungan diputus tanpa menunggu jawaban dari Gwen. Gadis itu menjauhkan ponselnya dari telinga, dengan degup jantung yang berpacu.
"Liam." Nama itu jelas Gwen ingat, meski mungkin dia hanya mendengarnya sekali kemarin dari mulut Camila. Tapi Gwen yakin itu nama pria yang bicara panjang lebar dengannya kemarin, pria yang...
Kenapa pria itu membantunya? Kenapa pria itu harus repot-repot mengeluarkan uang untuk membantu Gwen? Kenapa? Sialnya, meski ditanya berapa kali pun, Gwen sama sekali tidak mendapatkan jawabannya. Hingga suara rekan kerjanya di family restoran memanggil Gwen untuk meminta bantuannya.
Hal terakhir yang muncul di kepala Gwen sebelum pikirannya diambil alih pekerjaan adalah, bagaimana caranya Gwen mengembalikan pertolongan Liam? Dan berapa banyak yang harus Gwen bayar? Sial, kalau seperti ini hutangnya hanya akan semakin bertambah dan tidak habis-habis. Hutang yang bahkan sejak awal tidak pernah dikehendakinya._____________
Sisanya bisa dibaca di Innovel Sa_Saki, di sana juga gratis kok! Mohon dukungannya yaaaa selamat membaca :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pesanan
Romance"Jangan bilang lo nyuruh gue untuk main kotor dan nyari pendonor dari pasar gelap--" "Nggak sejauh itu, Liam. Dan... mungkin nggak sekotor itu juga." Mendengar ucapan itu jelas dahi Liam berlipat lebih dalam. "Gue tahu ini nggak pantes keluar dari m...