"Lo bohongin gue ya, Sak?" Erick memutar kepalanya menghadap Sakti yang berdiri di depan sofa. Di samping Erick ada Liam yang duduk bersandar dengan pose pasrah, pria itu tidak melakukan apa pun ketika Erick memeriksa keadaannya.
"Bohong kenapa? Memangnya gue ngapain? Baguskan gue kabarin lo pas Liam lagi kenapa-kenapa."
Helaan napas lelah keluar dari mulut Erick.
"Liam lagi nggak kenapa-kenapa kok. Lo yang lebay apa gue yang memang ngelewatin sesuatu?"
"Huh? Serius? Liam nggak kenapa-kenapa? Tapi tadi..."
"Gue kan udah bilang gue nggak kenapa-kenapa." Liam akhirnya buka suara, tidak ingin terjadi pertikaian di rumahnya.
"Terus kenapa nih anak ngabarin gue?" Tanya Erick menunjuk ke arah Sakti, meski matanya tertuju pada Liam.
Liam mengangkat bahu, Sakti yang merasa disudutkan terlihat tak puas cemberut dan bereaksi berusaha melindungi dirinya sendiri.
"Ya karena tadi pas di club muka dia kelihatan serius gitu, diajak ngomong juga diem aja. Gimana gue nggak ngeri coba? Gue kirakan dia kenapa-kenapa makanya gue panggil lo--"
"Ya, ya, ya. Makasih kalau gitu, sorry udah bikin lo khawatir. Gue pikir lo becanda mau panggil Erick, tahunya dia beneran ke sini."
"'Club?" Suara yang dua orang itu sedang bicarakan kembali terdengar, kali ini dengan nada yang cukup dingin. "Lo, ke club?"
Ups, sesuatu yang diam-diam mereka tutupi nyatanya harus terbongkar sendiri.
"Liam?!"
"I do, why?"
"Why? lo masih tanya gue kenapa? Udah gue bilang stop konsumsi alkohol meski kepala lo rasanya mau meledak sekalipun! Itu cuma bakal memperparah--"
"Nyatanya memang udah terlanjur separah itu." Potong Liam cepat, tidak ingin membuat dirinya ditipu daya oleh harapannya sendiri. Hasil pemeriksaan sudah tertera jelas, dan Liam tidak akan lagi denial mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan berlagak di luar sana bahwa dirinya akan sembuh.
"Huh, apa maksud lo?"
Liam malas menjelakan, melempar wajahnya dari perhatian Erick dan berpaling ke arah lain. Sementara Sakti yang juga baru teringat sesuatu mengambil duduk di single sofa yang justru di arah Liam memalingkan wajahnya.
"Itu juga yang mau gue tanyain. Omongan kita berdua tadi belum selesai karena lo keburu ngurusin masalah si Gwen."
"Gwen? Siapa lagi itu?"
Sakti dengan cepat meletakan jari telunjuknya ke depan mulut, menatap Erick sambil berdesis panjang. "Ssstt... bukan itu yang penting sekarang."
"Tapi--"
"Lo bilang apa tadi? Soal hasil update check up lo di Korea. Ugh... apa ya tadi dia bilang, duh otak gue kok--Ah! Transplant, Liam tadi ngomong soal transplantasi hati."
Raut wajah Erick sudah benar-benar serius, sejak tadi sebenarnya, sejak Sakti menyinggung hasil check up yang Liam jalani di kampung halamannya minggu lalu.
"Serius? Coba gue lihat hasil check up-nya."
"Kasih lihat lo hasil check up-nya nggak berarti bakal jadi lebih baik, kan?"
"Gue bilang sini gue lihat, Liam! Biar gue yang mastiin dengan mata gue sendiri."
Shit. Temannya ini kalau sudah ngotot akan sesuatu susah sekali dibantah, dan entah kenapa Liam juga tidak berani menantangnya kali ini.
Pria itu lantas berdiri, meninggalkan kedua sahabatnya di ruang tamu rumah mewah itu dan berjalan ke kamarnya di lantai dua. Memasuki kamar yang serba cream miliknya, Liam masih meletakan semua peralatannya sama seperti ketika meninggalkannya di sana minggu lalu ketika baru kembali dari Seoul. Di atas koper yang terbuka, Liam mengambil amplop berlogo rumah sakit dan huruf hangeul yang tertera di atasnya. Menarik napas dan menghembuskannya sesaat, Liam terdiam di sana, sebelum kembali ke lantai dasar rumahnya dengan membawa amplop itu di tangan.
Tangan Liam terulur menyerahkannya di depan wajah Erick yang mendongak ketika pria itu kembali, mengalihkan matanya yang semula tertuju pada Liam dan berpindah pada amplop yang Liam sodorkan.
Erick mengambilnya, membuka amplop itu dan membaca setiap lembaran laporan yang tertulis di sana. Untuk beberapa hal memang tertulis dalam huruf hangeul yang Erick tidak mengerti, tapi selebihnya Erick jelas mengandalkan pengetahuan medisnya hingga bisa membaca seluruh laporan itu.
"Seburuk itu? Pasti masih ada cara lain, kan?" Sakti yang tidak mengerti prihal medis jelas dibuat bertanya-tanya, terlebih dengan wajah serius Erick dan jeda hening yang dirasanya cukup lama. Dari mereka bertiga, Sakti jelas yang paling merasa buta mengenai keadaan Liam yang sebenarnya, jadi Sakti merasa tidak tenang saja.
"Kenapa kalian yang lebih murung dari pada gue sih? Gue tahu pada akhirnya bakal sampai ke tahap ini, jadi--"
"Jangan sembarangan kalau ngomong, seolah-olah udah pasrah sama semuanya dan lo nggak akan sembuh gitu? Nggak gitu, Liam. Dr. Kim bilang lo harus transplantasi, kan? Apa salahnya dijalanin? Lo nggak akan mati cuma gara-gara perut lo dibedah."
Liam mendengus, mendengar jabaran kalimat Erick yang lebih terdengar seperti seseorang yang sejak menasehati seorang remaja.
"Dengan jadiin orang lain sebagai korban lainnya?"
Kerutan di dahi Erick bertumpuk. "Apa maksud lo jadiin orang lain sebagai korban lainnya? Gue pikir lo jelas udah lebih dari tahu, kalau transplantasi hati nggak kayak transplantasi jantung yang pindahin satu-satunya jantung orang lain dan jadiin jantung itu punya lo. Jelas nggak--"
"Iya, memang nggak. Tapi gue harus bertarung dengan orang-orang lain yang lebih butuhin sebongkah hati itu untuk hidup mereka. Gue bisa ngomong kayak gini justru karena gue udah lebih dari cukup tahu soal penyakit gue sendiri."'
Erick sudah membuka mulut hendak menimpali, tapi ternyata suara Sakti lebih cepat terdengar.
"Apa maksud lo bertarung sama orang-orang lainnya yang lebih butuhin? Lo juga jelas butuh!"
"Sak--"
"Gue tahu ucapan lo mengarah kemana, dan kalau lo nggak mau cheating dengan menyela antrian prioritas penerima donor hati, lo kan bisa cara sodara atau kerabat lo dan minta mereka untuk donorin hati mereka buat lo, Liam. Itu nggak akan bikin mereka cacat, toh pada akhirnya ukuran hati yang di potong untuk transplant akan kembali keukurannya semula. Jadi lo nggak perlu--"
"Dan lo pikir mereka bakal bersedia dengan cuma-cuma jadi pendonor buat gue? Are you kidding me?"
"Liam."
"Yang ada mereka akan dengan senang hati lihat gue mati lebih cepet."
"Liam!"
"That's the fact, Erick. Jangan delusional ketika lo tahu keadaan keluarga gue kayak apa. Alasan gue sembunyiin penyakit gue selama ini pun, lo jelas tahu kenapa."
Erick tidak bisa menyangkal. Dirinya jelas tahu, begitu pula dengan Sakti. Alasannya pergi jauh dari rumah, alasannya enggan kembali ke tanah kelahirannya kalau bukan untuk urusan bisnis atau kesehatannya, alasannya kenapa bergabung keperkumpulan mahasiswa Indonesia di Stanford, alasannya bisa berbahasa Indonesia dengan lancar meski wajahnya jelas lebih kental Asia Timurnya, dan alasan mengapa mereka pada akhirnya menjadi sahabat untuk beberapa waktu yang lama. Erick jelas tahu semua cerita di balik itu, dan pada akhirnya tidak mampu mengatakan apa-apa.
"Kalau mereka memang nggak mau! Biar gue atau Erick yang jadi pendonor buat lo. Lo pikir sekian lama kita temenan nggak--"
"Nggak bisa, Sak. Hati kita nggak cocok buat Liam." Potong Erick, menunduk setelah menghentikan ucapan Sakti.
"Huh? Kenapa?"
"Gue udah pernah check untuk jaga-jaga kalau hal kayak gini bener-bener terjadi."
Sakti masih terlihat tidak mengerti, "Itukan lo, gue--"
"Gue juga udah check lo waktu lo check up kesehatan akhir tahun lalu."
"L-lo apa?"
"Man, kalau pun kalian cocok, gue nggak akan minta kalian untuk lakuin itu buat gue."
"Kenapa nggak? Kalau cocok, gue yang malah bakal lakuin apa pun bahkan meski lo ngelarang gue sekalipun." Sakti kesal mendengar ucapan Liam, seolah dirinya tidak berharga untuk menerima pertolongan.
"Sakti..."
"Kalau gitu kita cari aja orang lain yang cocok dan bisa jadi pendonor buat lo." Erick menyela, mengangkat kepalanya setelah sejak tadi diam entah memikirkan apa.
"Rick, gue kan udah bilang."
"Bukan dari daftar penerima donor, atau dari keluarga lo yang kayak bangke semua itu."
Sepasang mata Liam melebar, sementara Sakti sudah menunggu dengan pose yang lebih serius, menunggu kelanjutan solusi yang terlintas di kepala Erick.
"Jangan bilang lo nyuruh gue untuk main kotor dan nyari pendonor dari pasar gelap--"
"Nggak sejauh it, Liam. Dan... mungkin nggak sekotor itu juga."
Mendengar ucapan itu jelas dahi Liam berlipat lebih dalam.
"Gue tahu ini nggak pantes keluar dari mulut dokter yang punya etika dan hukumnya sendiri. Tapi tolong anggap ini keluar dari mulut temen lo yang peduli dan sayang sama lo, Liam."
"Nggak, Erick. Jangan ngorbanin sumpah profesi lo cuma buat gue!" Liam menentang keras.
"Ini nggak akan ngelanggar apa pun, nggak akan ngorbanin siapa pun, nggak akan ngerugiin siapa pun, asal semuanya berjalan lancar dan nggak ada yang bocorin hal ini keluar."
"Apa, Rick? Apa pun bakal gue bantu asal Liam nggak kayak orang sekarat yang bakalan ninggalin kita selama-lamanya."
"Sakti." Liam memberikan panggilan peringatan, yang jelas diabaikan oleh kedua sahabatnya.
"Kita cari istri sekaligus yang bisa donorin hatinya buat Liam." Ucap Erick tenang, meski dengan nada dan ekspresi wajah sangat serius.
"Kita, what? Are you crazy?!" Liam berseru, tidak percaya dengan apa yang didengarnya._______________
Kelanjutannya bisa baca di Innovel Sa_Saki
Selamat membaca :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pesanan
Romance"Jangan bilang lo nyuruh gue untuk main kotor dan nyari pendonor dari pasar gelap--" "Nggak sejauh itu, Liam. Dan... mungkin nggak sekotor itu juga." Mendengar ucapan itu jelas dahi Liam berlipat lebih dalam. "Gue tahu ini nggak pantes keluar dari m...