3. Tiga

207 43 7
                                    

"Dokter bilang kamu juga harus dirawat, Gwen... Beberapa tulang kamu retak, dokter butuh kontrol sampai kondisi kamu lebih baik. Jangan keras kepala, dengerin apa kata dokter dan—"

Langkah Gwen akhirnya berhenti setelah keluar dari ruang pemeriksaan. Gadis itu menghadap ibunya yang mengerjar langkahnya dari belakang. Bersitatap dengan dua ekspresi wajah yang kontras. Raut khawatir yang terpampang di wajah ibunya jelas tidak berpengaruh sama sekali bagi Gwen. Gadis itu tidak memperlihatkan sesuatu yang perlu dikhawatirkan sama sekali.

"Ma, yang butuh perhatian sekarang itu Amora. Amora belum sadar sejak dia masuk rumah sakit. Sementara aku? Mama lihat sendiri, kan? Aku masih hidup, aku masih bisa jalan, lihat dan bicara sama Mama. Apa yang perlu Mama khawatirin?"

"Gwen..."

"Gwen baik-baik aja, Ma. Mama nggak perlu khawatirin Gwen. Energi Mama pasti udah habis buat khawatir sama keadaan Amora setiap saat." Gwen kembali berbalik, meneruskan langkahnya yang terhenti. "Dan Gwen nggak mau nambahin lebih banyak lagi." Gumam gadis itu pelan, ucapan yang sepertinya memang hanya diperuntukan pada dirinya sendiri.

"Gwen beli makanan dulu, Mama belum makan dari semalam, kan?" Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan yang tidak membutuhkan jawaban ibunya untuk Gwen bertindak.

Dijawab atau tidak, toh Gwen tetap pergi, tetap meninggalkan ibunya yang tidak bisa menahan putri sulungnya itu untuk kembali bersikap keras kepala.

"Biar saya susul Mbak Gwen, Bu. Minta Mbak Gwen untuk tetap di sini dan saya yang beli—"

"Nggak usah Pak Najib. Biarin Aja. Mungkin Gwen butuh waktu buat sendiri. Nanti biar saya yang bujuk Gwen lagi untuk ikutin apa kata dokter. Kalau Gwen memang nggak mau dirawat seenggaknya dia harus minum obat, luka-lukanya pasti sakit, dan dia sengaja nggak nunjukin itu di depan saya."

Pak Najib yang sejak semalam juga berada di rumah sakit tidak beranjak kemana pun karena khawatir akhirnya diam, menuruti apa yang dikatakan majikannya itu agar tidak mempersulit keadaan.

"Pak Najib juga sebaiknya istirahat, cari sarapan. Bapak juga nggak makan apa-apa sejak temani kami semalaman di sini, kan?"

"Tapi, Bu. Saya..."

"Nggak apa-apa, Pak. Bapak pulang juga nggak apa-apa, kok. Toh saya nggak akan pakai mobil atau minta diantar kemana-mana. Saya harus tetep ada di deket Amora sampai Amora sadar, biar Amora nggak bingung waktu buka mata nanti dan merasa dia ada di tempat asing."

Pak Najib masih terlihat keberatan, tapi wajah majikannya yang benar-benar tulus mempersilakan dirinya pergi akhirnya membuat Pak Najib pergi undur diri dari sana, tentu dengan pesan bahwa bos-nya itu bisa menghubunginya kapan pun kalau memang dirinya dibutuhkan.

***

"Ra, mau sampai kapan kamu tidur terus? Nggak kangen sama Kakak? Nggak mau peluk Kakak, gitu? Kakak jauh-jauh pulang buat kamu lho..." Gwen menggengam tangan Amora yang tergeletak tak berdaya di sisi tubuhnya.

Gadis itu kini berjaga di samping ranjang Amora, menemani adiknya setelah mempersilakan ibunya untuk menggunakan waktu untuk menyantap makan siang.

Bagaimana pun mereka harus tetap waras, bagaimana pun mereka harus tetap sehat agar saat Amora bangun gadis itu tidak harus merasa melewatkan apa pun. Keluarga mereka memang sudah hancur, tapi setidaknya dari kehancuran itu ada yang masih bisa mereka pertahankan, tidak berempat—tapi cukup jika hanya mereka bertiga. Mama, Gwen dan Amora, itu sudah lebih dari cukup. Mereka tidak lagi butuh yang lain. Terutama pengkhianat yang sudah membuat semuanya hancur dan mengakibatkan Amora terbaring di ranjangnya.

"Kakak langsung terbang dari Cali begitu denger kabar kamu tahu, Ra. Masa bodoh meski Kakak ada ujian sekalipun. Toh kayaknya setelah ini juga Kakak nggak bisa balik ke Stanford. Nggak akan balik kalau nggak pastiin kamu sama Mama baik-baik aja."

Pengantin PesananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang